Penjelasan mengenai implementasi kewenangan camat dan tupoksi kecamatan berdasarkan PP 19 tahun 2008 oleh MP.Kristoporus Dawi (Fak. Polpem-IPDN 2010)
A. Pendahuluan
Pembangunan Daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan spritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu, pembangunan daerah juga bertujuan mengembangkan potensi alam, ekonomi, sosial budaya, maupun rohaniah dan mental agar diperoleh daya guna dan hasil guna yang optimal untuk memantapkan dan memperkokoh keberadaan daerah.
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka terjadi perubahan terhadap sistem pemerintahan nasional. Perubahan sistem pemerintahan nasional tersebut terlihat pada asas pemerintahan, yakni adanya perubahan asas yang semula bersifat sentralisasi menjadi asas yang bersifat desentralisasi. Desentralisasi ditandai dengan adanya otonomi daerah di mana kabupaten dan kota diberi wewenang untuk membangun daerahnya masing-masing dan mengembangkan potensi wilayahnya untuk menunjang pelaksanaan pembangunan di daerah kabupaten/ kota tersebut.
Perubahan sistem pemerintahan dari yang sentralistik ke desentralistik, tetap disertai dengan rasa tanggung jawab untuk sama-sama bisa memajukan bangsa Indonesia secara umum. Bukan untuk saling bersikap egois dan individualistis karena dengan semua sumber daya yang dimilikinya, sehingga melupakan bahwa Indonesia tetap merupakan suatu negara kesatuan. Dengan adanya perubahan ini bukan berarti pusat lepas tanggung jawab sepenuhnya terhadap daerah. Pembinaan dari pusat tetap ada. Artinya pusat di sini berperan sebagai fasilitator dan dinamisator pembangunan. Bahkan bagi daerah yang sumber dayanya kurang, peran pusat begitu besar dalam menyokong pelaksanaan roda pemerintahan dan pembangunan di daerah tersebut. Pemberian titik berat otonomi pada pemerintah kabupaten/ kota erat kaitannya dengan fungsi pemerintah daerah sebagai penyedia pelayanan kepada masyarakat dan pelaksana pembangunan, di samping sebagai pembina kestabilan sosial, politik, ekonomi dan kesatuan bangsa.
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Otonomi yang diberikan kepada daerah kabupaten dan kota dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proposional. Artinya, pelimpahan tanggung jawab akan diikuti oleh pengaturan, pembagian, pemanfaatan, dan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Otonomi nyata adalah keleluasan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan, serta tumbuh dan hidup berkembang di daerah.
Dampak pelaksanaan otonomi daerah sangat besar. Adanya pelimpahan kewenangan pada pemerintahan daerah (Pemda), membuat Pemda lebih leluasa dan kreatif dalam membangunan daerah. Pembagian urusan wajib dan pilihan sebagaimana yang diatur dalam PP38/2007 memberikan batasan yang jelas, sehingga pembangunan daerah dapat disesuaikan dengan karakteristik masing-masing daerah.
Sasaran utama otonomi daerah adalah pendekatan pelayanan kepada masyarakat. Urusan-urusan yang dapat diselesaikan didaerah menjadi tanggung jawab dari pemda bersangkutan. Masyarakat tidak lagi berurusan di pusat. Jadi rentang kendali (span of control) lebih pendek. Dengan begitu diharapkan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasan daerah untuk menyelenggarakan pemerintah yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenangan di bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Kewenangan di bidang lainnya meliputi: kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, Sistem Administrasi Negara dan Lembaga Perekonomian Negara, pembinaan dan pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM), pendayagunaan Sumber Daya Alam (SDA) serta teknologi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional.
B. Pembahasan
Kecamatan merupakan perangkat daerah yang dibentuk berdasarkan Perda. Sebagai perangkat daerah organisasi Kecamatan dipimpin oleh seorang Camat yang melaksanakan sebagian urusan otonomi daerah yang dilimpahkan Bupati dan tugas-tugas umum pemerintahan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah organisasi Kecamatan menjadi ujung tombak pelayanan masyarakat. Hal ini disebabkan Kecamatan menjadi penyambung kebijakan pemda dengan masyarakat luas. Kebijakan otonomi daerah merupakan suatu itikad baik pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kecamatan sebagai unsur perangkat daerah memiliki peran vital dalam keberhasilan otonomi daerah.
Fungsi-fungsi koordinatif dan pembinaan pada level desa dan kelurahan menjadi tanggung jawab Kecamatan. Oleh sebab itu pengembangan lembaga Kecamatan menjadi hal yang urgen untuk dilaksanakan.
Kecamatan adalah wilayah kerja Camat selaku Perangkat Daerah/Kota. Ada perbedaan mendasar pengertian Kecamatan dari UU No 5/74 dengan UU 32/2004. Dalam UU 5/74 Kecamatan merupakan perangkat wilayah dalam rangka pelaksanaan dekonstrasi. Sedangkan Kecamatan menurut UU 32/2004 adalah perangkat daerah. Oleh karena itu Kecamatan menerima sebagian wewenang yang dilimpahkan oleh Kepala Daerah. Disamping itu Kecamatan adalah sebagai koordinator dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan umum.
Dari penjelasan diatas dapat dilihat Kecamatan memiliki keunikan khusus. Dimana Kecamatan menjadi koordinator di wilayah kerjanya dengan melaksanakan sebagian pelimpahan wewenang dari Kepala Daerah (Bupati/Walikota). Hal ini berarti ada dua tugas utama Kecamatan yaitu sebagai pelayan masyarakat dan melakukan pembinaan wilayah.
Tugas pembinaan wilayah dilakukan dengan melakukan koordinasi pemerintahan terhadap seluruh instansi pemerintah di wilayah kecamatan, penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban, penegakan peraturan perundang-undangan, pembinaan penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan, serta pelaksanaan tugas pemerintahan lainnya yang belum dilaksanakan oleh pemerintahan desa/kelurahan dan/atau instansi pemerintah lainnya di wilayah kecamatan. Tugas ini berat karena dalam UU 32/2004 kedudukan desa tidak berada dibawah Kecamatan dan memiliki otonomi sendiri dalam melaksanakan pemerintahannya. Oleh karena itu harus ada penegasan dari Pemda dalam bentuk perda atau keputusan Kepala Daerah yang memperkuat institusi Kecamatan dalam melakukan pembinaan terhadap pemdes.
Maksimalnya peran dan fungsi Kecamatan dapat dilihat dari pelaksanaan kedua tugas di atas. Dari segi pelayan masyarakat, pihak Kecamatan menjalankan sebagian wewenang yang diberikan oleh Pemda. Hal ini sesuai dengan esensi azaz desentralisai di mana ada pelimpahan sebagian wewenang kepada level pemerintahan di bawah untuk mendukung tugas-tugas pemerintahan yang lain. Berarti pemda menyerahkan sebagian tangung jawab kepada kecamatan. Manfaat yang diterima masyarakat adalah rentang pelayanan pendek sehingga pelayanan yang diterima bisa cepat dan berkualitas. Permasalahan yang timbul adalah tidak adanya pelimpahan wewenang dari pemda kepada kecamatan. Sehingga fungsi Kecamatan menjadi mandul.
Permasalahan ini timbul karena beberapa faktor. Adanya ego sektoral antar bidang pemerintahan adalah salah satu faktor penyebab. Pelimpahan wewenang pada pihak Kecamatan harus disertai dengan personil dan pembiayaan yang cukup. Hal ini seringkali menimbulkan kecemburuan pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lain. Karena dengan begitu wewenang dan tanggung jawab SKPD berkurang. Padahal apabila setiap urusan atau tindakan pemerintah daerah pada level Kecamatan menjadi tanggung jawab Kecamatan, maka hal ini akan mempermudah tugas-tugas dari Pemda.
Urusan-urusan yang sifatnya lintas Kecamatan itu menjadi porsi dari Pemda melalui Dinas dan Badan atau SKPD yang dipercayakan menanganinya. Dalam hal ini koordinasi antar Kecamatan tetap harus dilaksanakan. Dengan demikian diharapkan pelayanan kepada masyarakat lebih cepat, karena orang tidak perlu datang lagi ke pusat Kabupaten.
Untuk pelaksanaan tugas pembinaan wilayah, pihak Kecamatan merupakan koordinator di wilayah kerjanya. Agar tugas ini bisa berjalan maksimal, perlu adanya dukungan dana dan persponil dari pemda. Berarti pengalokasian dana dalam APBD untuk SKPD Kecamatan harus diperbesar. Selain itu kemampuan aparat Kecamatan dalam melakukan pembinaan harus didukung oleh sumber daya yang baik juga baik sarana maupun prasarana pendukung. Pemberian insentif khusus (PP 59/2007) untuk aparat Kecamatan juga dapat perangsang peningkatan kerja pegawai Kecamatan. Dalam hal penempatan pegawai Kecamatan, hendaklah diperhatikan latar belakang pendidikan, juga hubungan sosiokultutal dengan masyarakat setempat. Hal ini penting karena kekhususan dari Kecamatan itu sendiri.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan pada Pasal IV menjelaskan secara jelas Kedudukan, Tugas dan Wewenang Camat.
Camat menyelenggarakan tugas umum pemerintahan yang meliputi:
a. mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;
a) mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam perencanaan pembangunan lingkup kecamatan dalam forum musyawarah perencanaan pembangunan di desa/kelurahan dan kecamatan;
b) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap keseluruhan unit kerja baik pemerintah maupun swasta yang mempunyai program kerja dan kegiatan pemberdayaan masyarakat di wilayah kerja kecamatan;
c) melakukan evaluasi terhadap berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat di wilayah kecamatan baik yang dilakukan oleh unit kerja pemerintah maupun swasta;
d) melakukan tugas-tugas lain di bidang pemberdayaan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
e) melaporkan pelaksanaan tugas pemberdayaan masyarakat di wilayah kerja kecamatan kepada bupati/walikota dengan tembusan kepada satuan kerja perangkat daerah yang membidangi urusan pemberdayaan masyarakat.
b. mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum;
a) melakukan koordinasi dengan kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Tentara Nasional Indonesia mengenai program dan kegiatan penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum di wilayah kecamatan;
b) melakukan koordinasi dengan pemuka agama yang berada di wilayah kerja kecamatan untuk mewujudkan ketenteraman dan ketertiban umum masyarakat di wilayah kecamatan; dan
c) melaporkan pelaksanaan pembinaan ketenteraman dan ketertiban kepada bupati/walikota.
c. mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan;
a) melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah yang tugas dan fungsinya di bidang penerapan peraturan perundang-undangan;
b) melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah yang tugas dan fungsinya di bidang penegakan peraturan perundang-undangan dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
c) melaporkan pelaksanaan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan di wilayah kecamatan kepada bupati/walikota.
d. mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum;
a) melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah dan/atau instansi vertikal yang tugas dan fungsinya di bidang pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum;
b) melakukan koordinasi dengan pihak swasta dalam pelaksanaan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; dan
c) melaporkan pelaksanaan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum di wilayah kecamatan kepada bupati/walikota.
e. mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan;
a) melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di bidang penyelenggaraan kegiatan pemerintahan;
b) melakukan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan dengan satuan kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di bidang penyelenggaraan kegiatan pemerintahan;
c) melakukan evaluasi penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan; dan
d) melaporkan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan kepada bupati/walikota.
f. membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan;
a) melakukan pembinaan dan pengawasan tertib administrasi pemerintahan desa dan/atau kelurahan;
b) memberikan bimbingan, supervisi, fasilitasi, dan konsultasi pelaksanaan administrasi desa dan/atau kelurahan;
c) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kepala desa dan/atau lurah;
d) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perangkat desa dan/atau kelurahan;
e) melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan di tingkat kecamatan; dan
f) melaporkan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan di tingkat kecamatan kepada bupati/walikota.
g. melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan.
a) melakukan perencanaan kegiatan pelayanan kepada masyarakat di kecamatan;
b) melakukan percepatan pencapaian standar pelayanan minimal di wilayahnya;
c) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat di kecamatan;
d) melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat di wilayah kecamatan;
e) melaporkan pelaksanaan kegiatan pelayanan kepada masyarakat di wilayah kecamatan kepada Bupati/Walikota.
Camat melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati/walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah, yang meliputi aspek:
a.perizinan;
b.rekomendasi;
c.koordinasi;
d.pembinaan;
e.pengawasan;
f.fasilitasi;
g.penetapan;
h. penyelenggaraan; dan
i. kewenangan lain yang dilimpahkan.
Pelaksanaan kewenangan camat mencakup penyelenggaraan urusan pemerintahan pada lingkup kecamatan sesuai peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Pelimpahan sebagian wewenang bupati/walikota kepada Camat dilakukan berdasarkan kriteria eksternalitas dan efisiensi.
Yang dimaksud dengan "eksternalitas" adalah kriteria pelimpahan urusan pemerintahan dengan memperhatikan dampak yang timbul sebagai akibat dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat internal kecamatan, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan camat.
Yang dimaksud dengan "efisiensi" adalah kriteria pelimpahan urusan pemerintahan dengan memperhatikan daya guna tertinggi yang dapat diperoleh dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan dilingkup kecamatan. Apabila urusan pemerintahan lebih berdayaguna ditangani oleh kecamatan, maka urusan tersebut menjadi kewenangan camat.
C. Penutup
Sejalan dengan dikeluarkannya undang-undang yang mengatur tentang otonomi daerah baik pada UU nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU nomor 32 Tahun 2004, maka implementasi kebijakan otonomi daerah telah mendorong terjadinya perubahan, baik secara struktural, fungsional maupun kultural dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu perubahan yang sangat esensial yaitu menyangkut kedudukan, tugas pokok dan fungsi kecamatan yang sebelumnya merupakan perangkat wilayah dalam kerangka asas dekonsentrasi, berubah statusnya menjadi perangkat daerah dalam kerangka asas desentralisasi. Sebagai perangkat daerah, Camat dalam menjalankan tugasnya mendapat pelimpahan kewenangan dari dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota.
Sebagaimana dijelaskan pada bagian pembahasan mengenai kewenangan kecamatan serta tugas pokok dan fungsi kecamatan secara detail, namun dalam pelaksanaannya dilapangan masih banyak kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi ataupun pemerintah kabupaten/kota yang tidak sesuai. Hal ini dapat dilihat dari keecilnya wewenang yang diberikan kepada kecamatan dalam melaksanakan tugasnya di kecamatan. Seharusnya pelimpahan wewenang yang besar pada kecamatan akan dapat memberikan sumbangan yang besar pada pembangunan daerah baik secara fisik maupun sumber daya manusianya.
Melihat dari permasalahan tersebut, maka penulis menarik suatu kesimpulan bahwa kewenangan yang diberikan kepada kecamatan seharusnya lebih besar agar pelayanan publik kepada masyarakat dapat dilaksanakan dengan baik dan pembangunan baik sumber daya manusia maupun pembangunan fisik dapat dengan cepat terwujud. Sehingga sudah selayaknya seorang camat dalam menjalankan tugasnya pantas menggunakan tanda jabatan khusus sebagai perpanjangan tangan Bupati/Wali Kota di daerah kerjanya.
Senin, 29 Maret 2010
ETIKA BIROKRASI
Makalah tentang Etika Birokrasi ini merupakan hasil tugas mata kuliah Etika Pemerintahan semester III Fakultas Politik Pemerintahan IPDN tahun 2009 kelas F-6, oleh MP. Kristoporus Dawi.
A. PENDAHULUAN.
Berbicara tentang Etika Birokrasi dewasa ini menjadi topik yang sangat menarik dibahas, terutama dalam mewujudkan aparatur yang bersih dan berwibawa. Kecenderungan atau gejala yang timbul dewasa ini banyak aparat birokrasi dalam pelaksanaan tugasnya sering melanggar aturan main yang telah ditetapkan. Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan sangat terkait dengan moralitas dan mentalitas aparat birokrasi dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan itu sendiri yang tercermin lewat fungsi pokok pemerintahan , yaitu fungsi pelayanan, fungsi pengaturan atau regulasi dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Jadi berbicara tentang Etika Birokrasi berarti kita berbicara tentang bagaimana aparat Birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi tugasnya sesuai dengan ketentuan aturan yang seharusnya dan semestinya, yang pantas untuk dilakukan dan yang sewajarnya dimana telah ditentukan atau diatur untuk ditaati dilaksanakan.
Menjadi permasalahan sekarang ini bagaimana proses penentuan Etika dalam Birokrasi itu sendiri, siapa yang akan mengukur seberapa jauh etis atau tidak, bagaimana dengan kondisi saat itu dan tempat daerah tertentu yang mengatakan bahwa itu etis saja di daerah kami atau dapat dibenarkan, namun ditempat lain belum tentu. Dapat dikatakan bahwa Etika Birokrasi sangat terpergantung dari seberapa jauh melanggar di tempat atau daerah mana, kapan dilakukannya dan pada saat yang bagaimana, serta sangsi apa yang akan diterapkan sangsi social moral ataukah sangsi hukum, semua ini sangat temporer dan bervariasi di negara kita sebab terkait juga dengan aturan, norma, adat dan kebiasaan setempat.
Dalam penulisan ini kami akan mencoba membahas tentang apa yang dimaksudkan dengan Etika, mengapa kita memerlukan Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dari mana Etika Birokrasi dibentuk dan sejauhmana peraturan Kepegawaian dapat menjadi bagian dari penerapan Etika Birokrasi di negara kita.
B. Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ethes” berarti kesediaan jiwa akan kesusilaan, atau secara bebas dapat diartikan kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan. Dalam pengertian kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan sebetulnya tercakup juga adanya kesediaan karena kesusilaan dalam dirinya minta minta ditaati pula oleh orang lain.
Aristoteles juga memberikan istilah Ethica yang meliputi dua pengertian yaitu etika meliputi Kesediaan dan Kumpulan peraturan, yang mana dalam bahasa Latin dikenal dengan kata Mores yang berati kesusilaan, tingkat salah saru perbuatan (lahir, tingkah laku), Kemudian perkataan Mores tumbuh dan berkembang menjadi Moralitas yang mengandung arti kesediaan jiwa akan kesusilaan1. Dengan demikian maka Moralitas mempunyai pengertian yang sama dengan Etika atau sebaliknya, dimana kita berbicara tentang Etika Birokrasi tidak terlepas dari moralitas aparat Birokrasi penyelenggara pemerintahan itu sendiri.
Etika dan moralitas secara teoritis berawal dari pada ilmu pengetahuan (cognitive) bukan pada efektif. Moralitas berkaitan pula dengan jiwa dan seamangat kelompok masyarakat. Moral terjadi bila dikaitkan dengan masyarakat, tidak ada moral bila tidak ada masyarakat dan seyogyanya tidak ada masyarakat tanpa moral2, dan berkaitan dengan kesadaran kolektif dalam masyarakat. Immanuel Kant, teori moralitas tidak hanya mengenai hal yang baik dan yang buruk, tetapi menyangkut masalah yang ada dalam kontak social dengan masyarakat, ini berarti Etika tidak hanya sebatas moralitas individu tersebut dalam artian aparat birokrasi tetapi lebih dari itu menyangkut perilaku di tengah-tengah masyarakat dalam melayani masyarakat apakah sudah sesuai dengan aturan main atau tidak, apakah etis atau tidak.
Menurut Drs.Haryanto, MA. Bahwa Etika merupakan instrumen dalam masyarakat untuk menuntun tindakan (perilaku) agar mampu menjalankan fungsi dengan baik dan dapat lebih bermoral.3 Ini berarti Etika merupakan norma dan aturan yang turut mengatur perulaku seseorang dalam bertindak dan memainkan perannya sesuai dengan aturan main yang ada dalam masyarakat agar dapat dikatakan tindakannya bermoral.
Dari beberapa pendapat yang menegaskan tentang pengertian Etika di atas jelaslah bagi kita bahwa Etika terkait dengan moralitas dan sangat tergantung dari penilaian masyarakat setempat, jadi dapat dikatakan bahwa moral merupakan landasan normative yang didalamnya mengandung nilai-nilai moralitas itu sendiri dan landasan normative tersebut dapat pula dinyatakan sebagai Etika yang dalam Organisasi Birokrasi disebut sebagai Etika Birokrasi.
C. Alasan Pentingnya Etika Dalam Birokrasi.
Ketika kenyataan yang kita inginkan jauh dari harapakan kita, maka pasti akan timbul kekecewaan, begitulah yang terjadi ketiga kita mengharapkan agar para aparatur Birokrasi bekerja dengan penuh rasa tanggungjawab, kejujuran dan keadilan dijunjung, sementara yang kenyataan yang terjadi mereka sama sekali tidak bermoral atau beretika, maka disitulah kita mengharapkan adanya aturan yang dapat ditegakkan yang menjadi norma atau rambu-rambu dalam melaksanakan tugasnya. Sesuatu yang kita inginkan itu adalah Etika yang yang perlu diperhatikan oleh aparat Birokrasi tadi.
Ada beberapa alasan mengapa Etika Birokrasi penting diperhatikan dalam pengembangan pemerintahan yang efisien, tanggap dan akuntabel, menurut Agus Dwiyanto,4 bahwa :
pertama masalah – masalah yang dihadapi oleh birokrasi pemerintah dimasa mendatang akan semakin kompleks. Modernitas masyarakat yang semakin meningkat telah melahirkaan berbagai masalah – masalah publik yang semakin banyak dan komplek dan harus diselesaikan oleh birokrasi pemerintah. Dalam memecahkan masalh yang berkembang birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan – pilihan yang jelas seperti baik dan buruk. Para pejabat birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan yang sulit, antara baik dan baik, yang masing – masing memiliki implikasi yang saling berbenturan satu sama lain.
Dalam kasus pembebasan tanah, misalnya pilihan yang dihadapi oleh para pejabat birokrasi seringkaali bersifat dikotomis dan dilematis. Mereka harus memilih antara memperjuangkan program pemerintah dan memperhatikan kepentingan masyarakatnya. Masalah – masalah yang ada dalam “grey area “seperti ini akan menjadi semakin banyak dan kompleks seiring dengan meningkatnya modernitas masyarakat. Pengembangan etika birokrasi mungkin bisa fungsional terutama dalam memberi “ policy guidance” kepada para pejabat birokrat untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
Kedua, keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi. Dinamika yang terjadi dalam lingkungan tentunya menuntut kemampuan birokrasi untuk melakukan adjustments agar tetap tanggap terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Kemampuan untuk bisa melakukan adjustment itu menuntut discretionary power yang besar. Penggunaan kekuasaan direksi ini hanya akan dapat dilakukan dengan baik kalau birokrasi memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai besarnya kekuasaan yang dimiliki dan implikasi dari penggunaan kekuasaan itu bagi kepentingan masyarakatnya. Kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai kekuasaan dan implikasi penggunaan kekuasaan itu hanya dapat dilakukan melalui pengembangan etika birokrasi.
Walaupun pengembangan etika birokrasi sangat penting bagi pengembangan birokrasi namun belum banyak usaha dilakukan untuk mengembangkannya. Sejauh ini baru lembaga peradilan dan kesehatan yang telah maju dalam pengembangan etika ,seperti terefleksikan dalam etika kedokteran dan peradilan. Etika ini bisa jadi salah satu sumber tuntunan bagi para professional dalam pelaksanaan pekerjaan mereka. Pengembangan etika birokrasi ini tentunya menjadi satu tantangan bagi para sarjana dan praktisi administrasi publik dan semua pihak yang menginginkan perbaikan kualitas birokrasi dan pelayanan publik di Indonesia.
Dari alasan yang dikemukakan di atas ada sedikit gambaran bagi kita mengapa Etika Birokrasi menjadi suatu tuntutan yang harus sesegera mungkin dilakukan sekarang ini, hal tersebut sangat terkait dengan tuntutan tugas dari aparat birokrasi tiu sendiri yang seiring dengan semakin komplesnya permasalahan yang ada dalam masyarakat dan seiring dengan fungsi pelayanan dari Birokrat itu sendiri agar dapat diterima dan dipercaya oleh masyarakat yang dilayani, diatur dan diberdayakan.
Untuk itu para Birokrat harus merubah sikap perilaku agar dapat dikatakan lebih beretika atau bermoral di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, dengan demikian harus ada aturan main yang jelas dan tegas yang perlu ditaati yang menjadi landasan dalam bertindak dan berperilaku di tengah-tengah masyarakat.
D. Darimana Etika Birokrasi Dibentuk.
Terbentuknya Etika Birokrasi tidak terlepas dari kondisi yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan, sesuai dengan aturan, norma, kebiasaan atau budaya di tengah-tengah masyarakat dalam suatu komunitas tertentu. Nilai-nilai yang ada dan berkembang di dalam masyarakat mewarnai sikap dan perilaku yang nantinya dipandang etis atau tidak etis dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan yang merupakan bagian dari fungsi aparat birokrasi itu sendiri.
Di negara kita yang masih kental budaya paternalistik atau tunduk dan taat kepada Bapak atau pemimpin pemerintahan yang juga merupakan pemimpin birokrasi, sehingga sangat sulit bagi masyarakat untuk menegur para aparat Birokrasi bahwa yang dilakukannya itu tidak etis atau tidak bermoral, mereka lebih banyak diam dan malah manut saja melihat perilaku yang adan dalam jajaran aparat birokrasi.
Dalam kondisi seperti di atas, inisiatif penetapan Etika bagi aparat Birokrasi atau penyelenggara pemerintahan hampir sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Dimana pemerintah atau organisasi yang disebut birokrasi merasa paling berkuasa dan merasa dialah yang mempunyai kewengan untuk menentukan sesuatu itu etis atau tidak bagi dirinya menurut versi atau pandangannya sendiri, tanpa mempedulikan apa yang aturan main di dalam masyarakat. Permasalahan ini sangat rumit karena Etika Birokrasi cenderung diseragamkan melalui peraturan Kepegawaian yang telah diatur dari Birokrasi tingkat atas atau pemerintah pusat, sementara dalam pelaksanaan tugasnya dia berada di tengah-tengah masyarakat, yang jadi pertanyaan sekarang apakah yang dikatakan Etis menurut peraturan kepegawaian yang mengetur Aparat Birokrasi dapat dapat dikatakan Etis pula dalam masyarakat ataupun sebaliknya.
Menurut Drs. Haryanto,MA dalam makalahnya mengatakan bahwa : Adalah sulit untuk menyetujui atau tidak mengenai perlunya Etika tersebut diundangkan secara formal. Etika sebagaimana telah dikatakan sebelumnya sangat terkait dengan moralitas yang mana di dalamnya memiliki pertimbangan-pertimbangan yang jauh lebih tinggi tentang apa yang disebut sebagai ‘kebenaran dan ketidakbenaran’ dan ‘kepantasan dan ketidakpantasan’.5
Dalam menyikapi pelaksanaan Etika Birokrasi di Indonesia sering dikaitkan dengan Etika Pegawai Negeri yang telah diformalkan lewat ketentuan dan peraturan Kepegawaian di negara kita, sehingga terkadang tidak menyentuh permasalahan Etika dalam masyarakat yang lebih jauh lagi disebut moral. Di sini tidak akan dipermasalahkan Etika Birokrasi itu diformalkan atau tidak tetapi yang terpenting adalah bagaimana penerapannya serta sangsi yang jelas dan tegas, ini semua mambutuhkan kemauan baik dari Aparat Birokrasi itu sendiri untuk mentaatinya.
Pelaksanaan Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, sebagaimana telah disinggung di atas perlu diperhatikan perihal sangsi yang menyertainya, karena Etika pada umumnya tidak ada sangsi fisik atau hukuman tetapi berupa sangsi social dalam masyarakt, seperti dikucilkan, dihujat dan yang paling keras disingkirkan dari lingkukgan masyarakat tersebut, sementara bagi Aparat Birokrasi sangat sulit, karena masyarakat enggan dan sungkan (budaya Patron yang melekat).
Begitu rumit dan kompleksnya permasalahan pemerintahan dewasa ini membuat para aparat birokrasi mudaj tergelincir atau terjerumus kedadalam perilaku yang menyimpang belum lagi karenan tuntutan atau kebutuhan hidupnya sendiri, untuk itu perlu adanya penegasan paying hukum atau norma aturan yang perlu disepakati bersama untuk dilakukan dan diayomi dengan aturan hukum yang jelas dan sangsi yang tegas bagi siapa saja pelanggarnya tanpa pandang bulu di dalam jajaran Birokrasi di Indonesia, seiring dengan itu oleh Paul H. Douglas dalam bukunya “Ethics in Government” yang dikutip oleh Drs. Haryanto, MA,6 tentang tindakan-tindakan yang hendaknya dihindari oleh seorang pejabat pemerintah yang juga merupakan aparat Birokrasi, yaitu :
- Ikut serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan jabata kedinasan.
- Menerima segala sesuatu hadiah dari pihak swsta pada saat ia melaksanakan transaksi untuk kepentinagn dinas.
- Membicarakan masa depan peluang kerja diluar instansi pada saat it berada dalam tugas-tugas sebagai pejabat pemerintah.
- Membocornakan informasi komersial atau ekonomis yang bersifat rahasia kepada pihak-pihak yang tidak berhak.
- Terlalu erat berurusan dengan orang-orang diluar instansi pemerintah yang dalam menjalankan bisnis pokoknya tergantung dari izin pemerintah.
Dengan demikian jelas bahwa Etika Birokrasi sangat terkait dengan perilaku dan tindakan oleh aparat birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi dan kerjanya, apakah ia menyimpang dari aturan dan ketentuan atau tidak, untuk itu perlu aturan yang tegas dan nyata, sebab berbicara tentang Etika biasanya tidak tertulis dan sangsinya berupa sangsi social yang situasional dan kondisional tergantung tradisi dan kebiasaan masyarakat tersebut.
Untuk itu kami mencoba merekomendasikan mengenai Kode Etik Birokrasi mengacu kepada ketentuan Peraturan kepegawaian bagi Pegawai Negeri di Indonesia yang notabenen merupakan Aparat Birokrasi itu sendiri.
E. Peraturan Kepegawaian Sebagai Bagian Dari Penerapan Etika Birokrasi.
Berbicara tentang Etika Birokrasi tidak dapat dipisahkan dari Etika Aparatur Birokrasi itu sendiri karena ketika kita Etika Birokrasi didengungkan secara tertulis memang belum diuraikan dengan jelas namun secara eksplisit Etika Birokrasi telah termuat dalam peraturan Kepegawaian yang mengatur para aparat Birokrasi (Pegawai negeri) itu sendiri, yang mana kita tahu bahwa Birokrasi merupakan sebuah organisasi penyelenggara pemerintahan yang terstruktur dari pusat sampai kedaerah dan memiliki jenjang atau tingkatan yang disebut hirarki. Jadi Etika Birokrasi sangat terkait dengan tingkah laku para apata birokrasi itu sendiri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Aparat Birokrasi secara kongrit di negara kita yaitu Pegawai Negeri baik itu Sipil maupun Militer, yang secara Organisatoris dan hirarkis melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing sessuai aturan yang telah ditetakan.
Etika Birokrasi merupakan bagian dari aturan main dalam organisasi Birokrasi atau Pegawai Negeri yang secara structural telah diatur aturan mainnya, dimana kita kenal sebagai Kode Etik Pegawai Negeri, yang telah diatur lewat Undang-undang Kepegawaian. Kode Etik yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) disebut Sapta Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia ( Sapta Prasetya KORPRI) dan dikalangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) disebut Sapta Marga7.
Dengan sendirinya Kode Etik itu dibaca secara bersama – sama pada kesempatan tertentu yang kadang –kadang diikuti oleh suatau wejangan dari seorang pimpinanupacara disebut inspektur upacara ( IRUP ), maksudnya adalah untuk menciptakan kondisi – kondisi moril yang menguntungkan dalam organisasi yang berpengalaman dan mempertumbuhkan sikap mentalyang diperlukan, juga untuk menciptakan moral yang baik. Kode Etik tersebut biasanya dibaca dalam upacara bendera, upacara bulanan atau upacara ulang tahun organisasi yang bersangkutan, dan upacara – upacara nasional.
Setiap organisasi, misalnya PNS atau TNI dan lain-lain ada usaha untuk membentuk Kode Etik yang lebih mengikat atau mengatur anggotanya agar lebih beretika dan bermoral. Namun sampai sekarang belum diketahui sampai seberapa jauhnya dan juga belum dapat dipantau secara jelas dari perbuatan seseorang apakah yang bersangkutan melanggar Etika atau Kode Etik atau tidak, karena belum jelas batasannya dan apa sangsinya, sehingga benar-benar dapat dipergunakan sebagai ukuran atau criteria untuk menilai perilaku atau tingkah laku aparat Birokrasi sehingga disebut beretika atau tidak.
Tetapi apapun dan bagaimanapun maksud yang hendak dicapai dengan membentuk, menanamkan Kode Etik tersebut adalah demi terciptanya Aparat Birokrasi lebih jujur, lebih bertanggung jawab, lebih berdisiplin, dan lebih rajin serta yang terpenting lebih memiliki moral yang baik terhindar dari perbuatan tercela seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan lain-lain.
Agar tercipta Aparat Birokrasi yang lebih beretika sesuai harapan di atas, maka perlu usaha dan latihan ke arah itu serta penegakkan sangsi yang tegas dan jelas kepada mereka yang melanggar kode Etik atau aturan yang telah ditetapkan. Dalam hubungannya dengan Kode Etik Pegawai Negeri yaitu dengan betul-betul menjiwai, menghayati dan melaksanakan Sapta Pra Setya Korpri, serta aturan-aturan kepegawaian yang telah ditentukan atau ditetapkan sebagai aturan main para aparat Birokrasi.
Adapun aturan-aturan pokok yang melekat pada seorang Pegawai Negeri atau Aparat Birokrasi yang dapat dijadikan acuan Kode Etiknya dapat dilihat sebagai berikut :
Aturan mengenai Pembinaan Pegawai Negeri Sipil
Untuk menjamin terselenggaranya tugas-tugas umum pemerintahan secara berdayaguna dan berhasilguna dalam rangka usaha mewujutkan masyarakat adil dan makmur baik material maupun spiritual, dimana diperlukan adanya Pegawai Negeri sebagai unsure aparatur negara yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, bersih, berwibawa bermutu tinggi dan sadar akan tugas serta tanggungjawabnya. Dlam hubungan ini Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 telah meletakkan dasar yang kokoh untuk mewujutkan Aparat Birokrasi atau PNS seperti dimaksud di atas dengan cara mengatur kedudukan, kewajiban bagi Aparat Birokrasi sebagai salah satu kewajiban dan langkah usaha penyempurnaan aparatur negara di bidang kepegawaian.
Aturan menegnai kedudukan Pegawai Negeri sipil
Pegawai Negeri sipil adalah unsure aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang dengan kesetiaan dan ketaatan kepada pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah, menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, pelayanan kepada masyarakat, mengatur masyarakat atau regulasi dan memberdayakan masyarakat. Kesetiaan dan ketaatan penuh tersebut mengandung pengertian bahwa pegawai negeri berada sepenuhnya dibawah aturan yang telah ditentukan.
Penghargaan Pegawai Negeri sipil
Kepada Pegawai negeri dapat diberikan penghargaan apabila telah menunjukkan kesetiaan dan prestasi kerja dan memiliki etika kerja yang baik, dianggap berjasa bagi negara dan masyarakat perlu diberikan penghargaan kepada Pegawai Negeri yang bersangkutan berupa tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa yang secara otomatis kenaikkan gajinya sesuai pangkat, dengan harapan agar menjadi contoh kepada yang lain dalam melaksanakan tugas.
Keanggotaan Pegawai negeri dalam Partai Politik
Untuk menjaga netralitas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya agar lebih beretika dan bermoral, supaya terhindar dari kepentingan partai politik, maka sebaiknya Pegewai Negeri yang bersangkutan memundurkan diri demi menjaga moralitas yang merupakan etika aparat birokrasi.
Peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil
Ketentuan tentang Disiplin Pegawai Negeri sipil diatur dalam Peratuiran Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut antara lain diatur hal-hal sebagai berikut : Kewajiban, larangan, sangsi, tata cara pemeriksaan, tata cara pengajuan keberatan terhadap hukuman disiplin yang kesemuanya dapat menjadi acuan dalam beretika bagi seorang aparat Birokrasi atau Pegawai Negeri. Peraturan disiplin Pegawai Negeri yang menjadi kewajiban dan harus ditaati sesuai Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, antara lain mengatur tentang :
- Kesetiaan terhadap Pancasila dan UUD 1945, Negara dan Pemerintah.
- Mengangkat dan mentaati sumpah/ janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/ janji jabatan berdasarkan peraturan yang berlaku serta siap menerima sangsinya.
- Menyimpan rahasia negara dan atau rahasi jabatan dengan sebaik-baiknya.
- Bekerja dengan jujur, tertib, cermat, bersemangat untuk kepentingan negara.
- Segera melaporkan kepada atasannya, apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara/ pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan, dan material.
- Mentaati ketentuan jam kerja.
- Memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat.
- Bersikap adil dan bijaksana terhadaop bawahannya.
- Menjadi atau memberikan contoh teladan terhadap bawahannya.
- Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk meningkatkan kariernya.
- Berpakaian rapi dan sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat, sesama pegawai dan atasannya.
Sementara Larangan yang merupakan aturan main yang turut mengatur perilaku aparat Birokrasi atau pegawai Negeri menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun1980, yang juga dapat dijadikan sebagai Kode Etik Birokrasi, yaitu larangan seperti :
- Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat Negara, Pemerintah atau Pegawai Negeri sipil.
- Menyalahgunakan wewenangnya.
- Menyalahgunakan barang-barang, uang atau surat-surat berharga milik negara.
- Menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri yang bersangkutan.
- Memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat pegawai negeri sipil, kecuali kepentingan jabatan.
- Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya.
- Bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan untuk mendapat pekerjaan atau peranan dari kantor/ instansi pemerintah.
- Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain.
Semua kewajiban dan larangan yang diuraikan diatas kiranya dapat dipahami oleh pegawai negeri sipil selaku aparat birokrasi sebagai pagar atau norma dan aturan yang merupakan bagian dari Etika atau kode etik Pegawai Negeri yang notabenen merupakan aparat birokrasi.
Selain Kewajiban dan Larangan yang harus ditaati oleh Pegawai Negeri, juga yang tidak kalah penting dalam pembentukan Etika Birokrasi adalah sangsi atau hukuman yang setimpal dengan pelanggaran atas ketentuan tersebut di atas. Jenis sangsi atau hukuman yang dapat dijatuhkan kepada Pagawai Negeri sangatlah bervariasi sesuai tingkat pelanggaran, adapun jenis sangsi tersebut menurut Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 terdiri dari :
Hukuman disiplin ringan antara lain :
- teguran lisan
- teguran tertulis
- pernyataan tidak puas secara tertulis.
Jenis hukuman disiplin sedang, antara lain :
- penundaan kenaikkan gaji berkala untuk paling lama satu tahun
- penurunan gaji sebesar satu kali gaji berkala untuk paling lama satu tahun.
- Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama satu tahun.
Jenis hukuman disiplin berat, terdiri dari :
- penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah paling lama satu tahun.
- Pembebasan dari jabatan.
- Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri selaku pegawai negeri sipil.
- Pemberhentian dengan tidak hormat sebagai pegawai negeri sipil.
Dari sangsi hukuman yang diberikan dan patut diterima bagi siapa saja pelanggar Etika atau peraturan yang turut mengatur moralitas para aparat birokrasi di atas, jelaslah bagi kita beratnya sangsi atau hukuamn yang telah ditentukan, namun sekarang kembali lagi kepada penegakkan sangsi atas pelanggaran Etika tersebut, apa betul-betul dilaksanakan atau ditegakkan kepada mereka yang melanggar atau hanya sebatas retorika ataupun sangsi social saja, karena sangsi social hanya efektif apabila aparat Birokrasi itu berada di tengah-tengah masyarakat, sementara apabila dalam organisasi Birokrasi harus tegas berupa sangsi hukuman sesuai peraturan perundang-undangan tersebut di atas.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peraturan kepegawaian juga dapat dijadikan salah satu bagian dari kode Etik Birokrasi yang nantinya dapat mengatur segala bentuk tingkah laku dari Aparat Birokrasi dengan segala sangsi yang mengikat, sehingga diharapkan pelaksanannya dapat membuat aparat birokrasi lebih beretika. Jadi selain etika yang berlaku dalam masyarakat dimana aparat birokrasi merupakan bagian dalam masyarakat, maka secara otomatis dia harus terikat dengan aturan tersebut, sementara di satu sisi Aparat Birokrsi mempunyai aturan main sendiri yang secara Nasional di Seluruh Indonesia dapat diterapkan yaitu tercermin dalam Sapta Pra Setya Korpri bagi pegawai negeri dan Sapta Marga bagi TNI, serta aturan Kepegawaian yang berlaku dan juga ketentuan atau sangsi yang tegas dan nyata. Ini diharapkan dapat menjadi Kode Etik Birokrasi dan menjadi aturan main dalam dalam melaksanakan tugas dan fungsi Birokrasi agar dikatakan birokrasi lebih beretika dan bermoral.
F. P E N U T U P
Uraian-uraian dari makalah yang disajikan diatas, hanya merupakan konsep ideal yang diharapka dari aparat pelaksana pemerintahan di Indonesia yang merupakan aparat birokrasi di negara kita yang mempunyai tugas dan fungsi pokok untuk melayani masyarakat, mengatur masyarakat dan memberdayakan masyarakat. Fungsi-fungsi ini dapat dilaksanakn dengan baik apabila Aparat Birokrasi tersebut memiliki Etika dalam bekerja.
Etika Birokrasi bukan hanya sekedar retorika yang didengungkan baik lewat Sapta Pra Setya Korpri maupun Sapta Marga dan sederetan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Tentang kepegawaian, tetapi lebih dari itu bagaiaman ketentuan-ketentuan tersebut dapat dapat dihayati dan diamalkan dalam berepilaku sebagai Aparat Birokrasi dan yang tidak kalah penting yaitu bagaiman penegakkan hukum atau sangsi yang tegas bagi para pelanggar aturan yang telah disepakati dan ditentukan tersebut. Hukuman atau sangsi perlu ditegakkan secara merata tanpa pandang bulu apakah dia atasan atau bawahan semuanya harus sama di mata hukum.
Masyarakat juga berhak menentukan kode Etik atau aturan dalam masyarakat yang juga turut mengatur keberadaan seorang Aparat Birokrasi di lingkungannya, kalau memang melanggar harus ada komitmen bersama untuk mentaati aturan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Jadi yang disebut Etika Birokrasi merupakan norma aturan yang melekat pada anggota atau aparat Birokrasi itu sendiri di manapun dan kapan dia berada, baik di kantor maupun di tengah-tengah masyarakat dia teriakt dengan aturan kepegawaian dan aturan norma dalam masyarakat yang menjadi lansasan Etika dalam bertindak dan berperilaku dalam melaksanakan tugasnya.
DAFTAR PUSTAKA
1 Aristoteles dalam Prof. Drs.H.A.Widjaja, Etika Pemerintahan, Edisi kedua, Bumi Aksara, Jakarta, 1997.
2 widjaja, AW. Masyarakat dan Permasayarakatan Ideologi Pancasila, bandung, Cv Armico, 1985.
3 Drs. Haryanto, MA, Kuliah Birokrasi Indonesia, Politik Lokal Otonomi Daerah Program Pasca Sarjana UGM,Yogyakarta,2002.
4 Agus Dwiyanto, Pemerintah Yang Baik, Tanggap, Efisien, dan Akuntabel, Kontrol atau Etika, Seminar Forum Kebijakan Publik, Pasca Sarjana, UGM, Yogyakarta, 2000.
5 Drs. Haryanto, MA, Makalah Etika Pemerintahan, Staf Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL, UGM, Yogyakarta.hal.8,9.
6 Ibid,.. hal 15,16.
7 Prof. Drs. H.a. Widjaja, Etika Pemerintahan, Bumi Aksara, Jakarta, 1997. hal.23.
Maret 21, 2007 - Ditulis oleh lutfiwahyudi | Materi Kuliah | | & Komentar
A. PENDAHULUAN.
Berbicara tentang Etika Birokrasi dewasa ini menjadi topik yang sangat menarik dibahas, terutama dalam mewujudkan aparatur yang bersih dan berwibawa. Kecenderungan atau gejala yang timbul dewasa ini banyak aparat birokrasi dalam pelaksanaan tugasnya sering melanggar aturan main yang telah ditetapkan. Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan sangat terkait dengan moralitas dan mentalitas aparat birokrasi dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan itu sendiri yang tercermin lewat fungsi pokok pemerintahan , yaitu fungsi pelayanan, fungsi pengaturan atau regulasi dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Jadi berbicara tentang Etika Birokrasi berarti kita berbicara tentang bagaimana aparat Birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi tugasnya sesuai dengan ketentuan aturan yang seharusnya dan semestinya, yang pantas untuk dilakukan dan yang sewajarnya dimana telah ditentukan atau diatur untuk ditaati dilaksanakan.
Menjadi permasalahan sekarang ini bagaimana proses penentuan Etika dalam Birokrasi itu sendiri, siapa yang akan mengukur seberapa jauh etis atau tidak, bagaimana dengan kondisi saat itu dan tempat daerah tertentu yang mengatakan bahwa itu etis saja di daerah kami atau dapat dibenarkan, namun ditempat lain belum tentu. Dapat dikatakan bahwa Etika Birokrasi sangat terpergantung dari seberapa jauh melanggar di tempat atau daerah mana, kapan dilakukannya dan pada saat yang bagaimana, serta sangsi apa yang akan diterapkan sangsi social moral ataukah sangsi hukum, semua ini sangat temporer dan bervariasi di negara kita sebab terkait juga dengan aturan, norma, adat dan kebiasaan setempat.
Dalam penulisan ini kami akan mencoba membahas tentang apa yang dimaksudkan dengan Etika, mengapa kita memerlukan Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dari mana Etika Birokrasi dibentuk dan sejauhmana peraturan Kepegawaian dapat menjadi bagian dari penerapan Etika Birokrasi di negara kita.
B. Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ethes” berarti kesediaan jiwa akan kesusilaan, atau secara bebas dapat diartikan kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan. Dalam pengertian kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan sebetulnya tercakup juga adanya kesediaan karena kesusilaan dalam dirinya minta minta ditaati pula oleh orang lain.
Aristoteles juga memberikan istilah Ethica yang meliputi dua pengertian yaitu etika meliputi Kesediaan dan Kumpulan peraturan, yang mana dalam bahasa Latin dikenal dengan kata Mores yang berati kesusilaan, tingkat salah saru perbuatan (lahir, tingkah laku), Kemudian perkataan Mores tumbuh dan berkembang menjadi Moralitas yang mengandung arti kesediaan jiwa akan kesusilaan1. Dengan demikian maka Moralitas mempunyai pengertian yang sama dengan Etika atau sebaliknya, dimana kita berbicara tentang Etika Birokrasi tidak terlepas dari moralitas aparat Birokrasi penyelenggara pemerintahan itu sendiri.
Etika dan moralitas secara teoritis berawal dari pada ilmu pengetahuan (cognitive) bukan pada efektif. Moralitas berkaitan pula dengan jiwa dan seamangat kelompok masyarakat. Moral terjadi bila dikaitkan dengan masyarakat, tidak ada moral bila tidak ada masyarakat dan seyogyanya tidak ada masyarakat tanpa moral2, dan berkaitan dengan kesadaran kolektif dalam masyarakat. Immanuel Kant, teori moralitas tidak hanya mengenai hal yang baik dan yang buruk, tetapi menyangkut masalah yang ada dalam kontak social dengan masyarakat, ini berarti Etika tidak hanya sebatas moralitas individu tersebut dalam artian aparat birokrasi tetapi lebih dari itu menyangkut perilaku di tengah-tengah masyarakat dalam melayani masyarakat apakah sudah sesuai dengan aturan main atau tidak, apakah etis atau tidak.
Menurut Drs.Haryanto, MA. Bahwa Etika merupakan instrumen dalam masyarakat untuk menuntun tindakan (perilaku) agar mampu menjalankan fungsi dengan baik dan dapat lebih bermoral.3 Ini berarti Etika merupakan norma dan aturan yang turut mengatur perulaku seseorang dalam bertindak dan memainkan perannya sesuai dengan aturan main yang ada dalam masyarakat agar dapat dikatakan tindakannya bermoral.
Dari beberapa pendapat yang menegaskan tentang pengertian Etika di atas jelaslah bagi kita bahwa Etika terkait dengan moralitas dan sangat tergantung dari penilaian masyarakat setempat, jadi dapat dikatakan bahwa moral merupakan landasan normative yang didalamnya mengandung nilai-nilai moralitas itu sendiri dan landasan normative tersebut dapat pula dinyatakan sebagai Etika yang dalam Organisasi Birokrasi disebut sebagai Etika Birokrasi.
C. Alasan Pentingnya Etika Dalam Birokrasi.
Ketika kenyataan yang kita inginkan jauh dari harapakan kita, maka pasti akan timbul kekecewaan, begitulah yang terjadi ketiga kita mengharapkan agar para aparatur Birokrasi bekerja dengan penuh rasa tanggungjawab, kejujuran dan keadilan dijunjung, sementara yang kenyataan yang terjadi mereka sama sekali tidak bermoral atau beretika, maka disitulah kita mengharapkan adanya aturan yang dapat ditegakkan yang menjadi norma atau rambu-rambu dalam melaksanakan tugasnya. Sesuatu yang kita inginkan itu adalah Etika yang yang perlu diperhatikan oleh aparat Birokrasi tadi.
Ada beberapa alasan mengapa Etika Birokrasi penting diperhatikan dalam pengembangan pemerintahan yang efisien, tanggap dan akuntabel, menurut Agus Dwiyanto,4 bahwa :
pertama masalah – masalah yang dihadapi oleh birokrasi pemerintah dimasa mendatang akan semakin kompleks. Modernitas masyarakat yang semakin meningkat telah melahirkaan berbagai masalah – masalah publik yang semakin banyak dan komplek dan harus diselesaikan oleh birokrasi pemerintah. Dalam memecahkan masalh yang berkembang birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan – pilihan yang jelas seperti baik dan buruk. Para pejabat birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan yang sulit, antara baik dan baik, yang masing – masing memiliki implikasi yang saling berbenturan satu sama lain.
Dalam kasus pembebasan tanah, misalnya pilihan yang dihadapi oleh para pejabat birokrasi seringkaali bersifat dikotomis dan dilematis. Mereka harus memilih antara memperjuangkan program pemerintah dan memperhatikan kepentingan masyarakatnya. Masalah – masalah yang ada dalam “grey area “seperti ini akan menjadi semakin banyak dan kompleks seiring dengan meningkatnya modernitas masyarakat. Pengembangan etika birokrasi mungkin bisa fungsional terutama dalam memberi “ policy guidance” kepada para pejabat birokrat untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
Kedua, keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi. Dinamika yang terjadi dalam lingkungan tentunya menuntut kemampuan birokrasi untuk melakukan adjustments agar tetap tanggap terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Kemampuan untuk bisa melakukan adjustment itu menuntut discretionary power yang besar. Penggunaan kekuasaan direksi ini hanya akan dapat dilakukan dengan baik kalau birokrasi memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai besarnya kekuasaan yang dimiliki dan implikasi dari penggunaan kekuasaan itu bagi kepentingan masyarakatnya. Kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai kekuasaan dan implikasi penggunaan kekuasaan itu hanya dapat dilakukan melalui pengembangan etika birokrasi.
Walaupun pengembangan etika birokrasi sangat penting bagi pengembangan birokrasi namun belum banyak usaha dilakukan untuk mengembangkannya. Sejauh ini baru lembaga peradilan dan kesehatan yang telah maju dalam pengembangan etika ,seperti terefleksikan dalam etika kedokteran dan peradilan. Etika ini bisa jadi salah satu sumber tuntunan bagi para professional dalam pelaksanaan pekerjaan mereka. Pengembangan etika birokrasi ini tentunya menjadi satu tantangan bagi para sarjana dan praktisi administrasi publik dan semua pihak yang menginginkan perbaikan kualitas birokrasi dan pelayanan publik di Indonesia.
Dari alasan yang dikemukakan di atas ada sedikit gambaran bagi kita mengapa Etika Birokrasi menjadi suatu tuntutan yang harus sesegera mungkin dilakukan sekarang ini, hal tersebut sangat terkait dengan tuntutan tugas dari aparat birokrasi tiu sendiri yang seiring dengan semakin komplesnya permasalahan yang ada dalam masyarakat dan seiring dengan fungsi pelayanan dari Birokrat itu sendiri agar dapat diterima dan dipercaya oleh masyarakat yang dilayani, diatur dan diberdayakan.
Untuk itu para Birokrat harus merubah sikap perilaku agar dapat dikatakan lebih beretika atau bermoral di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, dengan demikian harus ada aturan main yang jelas dan tegas yang perlu ditaati yang menjadi landasan dalam bertindak dan berperilaku di tengah-tengah masyarakat.
D. Darimana Etika Birokrasi Dibentuk.
Terbentuknya Etika Birokrasi tidak terlepas dari kondisi yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan, sesuai dengan aturan, norma, kebiasaan atau budaya di tengah-tengah masyarakat dalam suatu komunitas tertentu. Nilai-nilai yang ada dan berkembang di dalam masyarakat mewarnai sikap dan perilaku yang nantinya dipandang etis atau tidak etis dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan yang merupakan bagian dari fungsi aparat birokrasi itu sendiri.
Di negara kita yang masih kental budaya paternalistik atau tunduk dan taat kepada Bapak atau pemimpin pemerintahan yang juga merupakan pemimpin birokrasi, sehingga sangat sulit bagi masyarakat untuk menegur para aparat Birokrasi bahwa yang dilakukannya itu tidak etis atau tidak bermoral, mereka lebih banyak diam dan malah manut saja melihat perilaku yang adan dalam jajaran aparat birokrasi.
Dalam kondisi seperti di atas, inisiatif penetapan Etika bagi aparat Birokrasi atau penyelenggara pemerintahan hampir sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Dimana pemerintah atau organisasi yang disebut birokrasi merasa paling berkuasa dan merasa dialah yang mempunyai kewengan untuk menentukan sesuatu itu etis atau tidak bagi dirinya menurut versi atau pandangannya sendiri, tanpa mempedulikan apa yang aturan main di dalam masyarakat. Permasalahan ini sangat rumit karena Etika Birokrasi cenderung diseragamkan melalui peraturan Kepegawaian yang telah diatur dari Birokrasi tingkat atas atau pemerintah pusat, sementara dalam pelaksanaan tugasnya dia berada di tengah-tengah masyarakat, yang jadi pertanyaan sekarang apakah yang dikatakan Etis menurut peraturan kepegawaian yang mengetur Aparat Birokrasi dapat dapat dikatakan Etis pula dalam masyarakat ataupun sebaliknya.
Menurut Drs. Haryanto,MA dalam makalahnya mengatakan bahwa : Adalah sulit untuk menyetujui atau tidak mengenai perlunya Etika tersebut diundangkan secara formal. Etika sebagaimana telah dikatakan sebelumnya sangat terkait dengan moralitas yang mana di dalamnya memiliki pertimbangan-pertimbangan yang jauh lebih tinggi tentang apa yang disebut sebagai ‘kebenaran dan ketidakbenaran’ dan ‘kepantasan dan ketidakpantasan’.5
Dalam menyikapi pelaksanaan Etika Birokrasi di Indonesia sering dikaitkan dengan Etika Pegawai Negeri yang telah diformalkan lewat ketentuan dan peraturan Kepegawaian di negara kita, sehingga terkadang tidak menyentuh permasalahan Etika dalam masyarakat yang lebih jauh lagi disebut moral. Di sini tidak akan dipermasalahkan Etika Birokrasi itu diformalkan atau tidak tetapi yang terpenting adalah bagaimana penerapannya serta sangsi yang jelas dan tegas, ini semua mambutuhkan kemauan baik dari Aparat Birokrasi itu sendiri untuk mentaatinya.
Pelaksanaan Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, sebagaimana telah disinggung di atas perlu diperhatikan perihal sangsi yang menyertainya, karena Etika pada umumnya tidak ada sangsi fisik atau hukuman tetapi berupa sangsi social dalam masyarakt, seperti dikucilkan, dihujat dan yang paling keras disingkirkan dari lingkukgan masyarakat tersebut, sementara bagi Aparat Birokrasi sangat sulit, karena masyarakat enggan dan sungkan (budaya Patron yang melekat).
Begitu rumit dan kompleksnya permasalahan pemerintahan dewasa ini membuat para aparat birokrasi mudaj tergelincir atau terjerumus kedadalam perilaku yang menyimpang belum lagi karenan tuntutan atau kebutuhan hidupnya sendiri, untuk itu perlu adanya penegasan paying hukum atau norma aturan yang perlu disepakati bersama untuk dilakukan dan diayomi dengan aturan hukum yang jelas dan sangsi yang tegas bagi siapa saja pelanggarnya tanpa pandang bulu di dalam jajaran Birokrasi di Indonesia, seiring dengan itu oleh Paul H. Douglas dalam bukunya “Ethics in Government” yang dikutip oleh Drs. Haryanto, MA,6 tentang tindakan-tindakan yang hendaknya dihindari oleh seorang pejabat pemerintah yang juga merupakan aparat Birokrasi, yaitu :
- Ikut serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan jabata kedinasan.
- Menerima segala sesuatu hadiah dari pihak swsta pada saat ia melaksanakan transaksi untuk kepentinagn dinas.
- Membicarakan masa depan peluang kerja diluar instansi pada saat it berada dalam tugas-tugas sebagai pejabat pemerintah.
- Membocornakan informasi komersial atau ekonomis yang bersifat rahasia kepada pihak-pihak yang tidak berhak.
- Terlalu erat berurusan dengan orang-orang diluar instansi pemerintah yang dalam menjalankan bisnis pokoknya tergantung dari izin pemerintah.
Dengan demikian jelas bahwa Etika Birokrasi sangat terkait dengan perilaku dan tindakan oleh aparat birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi dan kerjanya, apakah ia menyimpang dari aturan dan ketentuan atau tidak, untuk itu perlu aturan yang tegas dan nyata, sebab berbicara tentang Etika biasanya tidak tertulis dan sangsinya berupa sangsi social yang situasional dan kondisional tergantung tradisi dan kebiasaan masyarakat tersebut.
Untuk itu kami mencoba merekomendasikan mengenai Kode Etik Birokrasi mengacu kepada ketentuan Peraturan kepegawaian bagi Pegawai Negeri di Indonesia yang notabenen merupakan Aparat Birokrasi itu sendiri.
E. Peraturan Kepegawaian Sebagai Bagian Dari Penerapan Etika Birokrasi.
Berbicara tentang Etika Birokrasi tidak dapat dipisahkan dari Etika Aparatur Birokrasi itu sendiri karena ketika kita Etika Birokrasi didengungkan secara tertulis memang belum diuraikan dengan jelas namun secara eksplisit Etika Birokrasi telah termuat dalam peraturan Kepegawaian yang mengatur para aparat Birokrasi (Pegawai negeri) itu sendiri, yang mana kita tahu bahwa Birokrasi merupakan sebuah organisasi penyelenggara pemerintahan yang terstruktur dari pusat sampai kedaerah dan memiliki jenjang atau tingkatan yang disebut hirarki. Jadi Etika Birokrasi sangat terkait dengan tingkah laku para apata birokrasi itu sendiri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Aparat Birokrasi secara kongrit di negara kita yaitu Pegawai Negeri baik itu Sipil maupun Militer, yang secara Organisatoris dan hirarkis melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing sessuai aturan yang telah ditetakan.
Etika Birokrasi merupakan bagian dari aturan main dalam organisasi Birokrasi atau Pegawai Negeri yang secara structural telah diatur aturan mainnya, dimana kita kenal sebagai Kode Etik Pegawai Negeri, yang telah diatur lewat Undang-undang Kepegawaian. Kode Etik yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) disebut Sapta Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia ( Sapta Prasetya KORPRI) dan dikalangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) disebut Sapta Marga7.
Dengan sendirinya Kode Etik itu dibaca secara bersama – sama pada kesempatan tertentu yang kadang –kadang diikuti oleh suatau wejangan dari seorang pimpinanupacara disebut inspektur upacara ( IRUP ), maksudnya adalah untuk menciptakan kondisi – kondisi moril yang menguntungkan dalam organisasi yang berpengalaman dan mempertumbuhkan sikap mentalyang diperlukan, juga untuk menciptakan moral yang baik. Kode Etik tersebut biasanya dibaca dalam upacara bendera, upacara bulanan atau upacara ulang tahun organisasi yang bersangkutan, dan upacara – upacara nasional.
Setiap organisasi, misalnya PNS atau TNI dan lain-lain ada usaha untuk membentuk Kode Etik yang lebih mengikat atau mengatur anggotanya agar lebih beretika dan bermoral. Namun sampai sekarang belum diketahui sampai seberapa jauhnya dan juga belum dapat dipantau secara jelas dari perbuatan seseorang apakah yang bersangkutan melanggar Etika atau Kode Etik atau tidak, karena belum jelas batasannya dan apa sangsinya, sehingga benar-benar dapat dipergunakan sebagai ukuran atau criteria untuk menilai perilaku atau tingkah laku aparat Birokrasi sehingga disebut beretika atau tidak.
Tetapi apapun dan bagaimanapun maksud yang hendak dicapai dengan membentuk, menanamkan Kode Etik tersebut adalah demi terciptanya Aparat Birokrasi lebih jujur, lebih bertanggung jawab, lebih berdisiplin, dan lebih rajin serta yang terpenting lebih memiliki moral yang baik terhindar dari perbuatan tercela seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan lain-lain.
Agar tercipta Aparat Birokrasi yang lebih beretika sesuai harapan di atas, maka perlu usaha dan latihan ke arah itu serta penegakkan sangsi yang tegas dan jelas kepada mereka yang melanggar kode Etik atau aturan yang telah ditetapkan. Dalam hubungannya dengan Kode Etik Pegawai Negeri yaitu dengan betul-betul menjiwai, menghayati dan melaksanakan Sapta Pra Setya Korpri, serta aturan-aturan kepegawaian yang telah ditentukan atau ditetapkan sebagai aturan main para aparat Birokrasi.
Adapun aturan-aturan pokok yang melekat pada seorang Pegawai Negeri atau Aparat Birokrasi yang dapat dijadikan acuan Kode Etiknya dapat dilihat sebagai berikut :
Aturan mengenai Pembinaan Pegawai Negeri Sipil
Untuk menjamin terselenggaranya tugas-tugas umum pemerintahan secara berdayaguna dan berhasilguna dalam rangka usaha mewujutkan masyarakat adil dan makmur baik material maupun spiritual, dimana diperlukan adanya Pegawai Negeri sebagai unsure aparatur negara yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, bersih, berwibawa bermutu tinggi dan sadar akan tugas serta tanggungjawabnya. Dlam hubungan ini Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 telah meletakkan dasar yang kokoh untuk mewujutkan Aparat Birokrasi atau PNS seperti dimaksud di atas dengan cara mengatur kedudukan, kewajiban bagi Aparat Birokrasi sebagai salah satu kewajiban dan langkah usaha penyempurnaan aparatur negara di bidang kepegawaian.
Aturan menegnai kedudukan Pegawai Negeri sipil
Pegawai Negeri sipil adalah unsure aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang dengan kesetiaan dan ketaatan kepada pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah, menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, pelayanan kepada masyarakat, mengatur masyarakat atau regulasi dan memberdayakan masyarakat. Kesetiaan dan ketaatan penuh tersebut mengandung pengertian bahwa pegawai negeri berada sepenuhnya dibawah aturan yang telah ditentukan.
Penghargaan Pegawai Negeri sipil
Kepada Pegawai negeri dapat diberikan penghargaan apabila telah menunjukkan kesetiaan dan prestasi kerja dan memiliki etika kerja yang baik, dianggap berjasa bagi negara dan masyarakat perlu diberikan penghargaan kepada Pegawai Negeri yang bersangkutan berupa tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa yang secara otomatis kenaikkan gajinya sesuai pangkat, dengan harapan agar menjadi contoh kepada yang lain dalam melaksanakan tugas.
Keanggotaan Pegawai negeri dalam Partai Politik
Untuk menjaga netralitas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya agar lebih beretika dan bermoral, supaya terhindar dari kepentingan partai politik, maka sebaiknya Pegewai Negeri yang bersangkutan memundurkan diri demi menjaga moralitas yang merupakan etika aparat birokrasi.
Peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil
Ketentuan tentang Disiplin Pegawai Negeri sipil diatur dalam Peratuiran Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut antara lain diatur hal-hal sebagai berikut : Kewajiban, larangan, sangsi, tata cara pemeriksaan, tata cara pengajuan keberatan terhadap hukuman disiplin yang kesemuanya dapat menjadi acuan dalam beretika bagi seorang aparat Birokrasi atau Pegawai Negeri. Peraturan disiplin Pegawai Negeri yang menjadi kewajiban dan harus ditaati sesuai Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, antara lain mengatur tentang :
- Kesetiaan terhadap Pancasila dan UUD 1945, Negara dan Pemerintah.
- Mengangkat dan mentaati sumpah/ janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/ janji jabatan berdasarkan peraturan yang berlaku serta siap menerima sangsinya.
- Menyimpan rahasia negara dan atau rahasi jabatan dengan sebaik-baiknya.
- Bekerja dengan jujur, tertib, cermat, bersemangat untuk kepentingan negara.
- Segera melaporkan kepada atasannya, apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara/ pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan, dan material.
- Mentaati ketentuan jam kerja.
- Memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat.
- Bersikap adil dan bijaksana terhadaop bawahannya.
- Menjadi atau memberikan contoh teladan terhadap bawahannya.
- Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk meningkatkan kariernya.
- Berpakaian rapi dan sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat, sesama pegawai dan atasannya.
Sementara Larangan yang merupakan aturan main yang turut mengatur perilaku aparat Birokrasi atau pegawai Negeri menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun1980, yang juga dapat dijadikan sebagai Kode Etik Birokrasi, yaitu larangan seperti :
- Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat Negara, Pemerintah atau Pegawai Negeri sipil.
- Menyalahgunakan wewenangnya.
- Menyalahgunakan barang-barang, uang atau surat-surat berharga milik negara.
- Menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri yang bersangkutan.
- Memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat pegawai negeri sipil, kecuali kepentingan jabatan.
- Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya.
- Bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan untuk mendapat pekerjaan atau peranan dari kantor/ instansi pemerintah.
- Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain.
Semua kewajiban dan larangan yang diuraikan diatas kiranya dapat dipahami oleh pegawai negeri sipil selaku aparat birokrasi sebagai pagar atau norma dan aturan yang merupakan bagian dari Etika atau kode etik Pegawai Negeri yang notabenen merupakan aparat birokrasi.
Selain Kewajiban dan Larangan yang harus ditaati oleh Pegawai Negeri, juga yang tidak kalah penting dalam pembentukan Etika Birokrasi adalah sangsi atau hukuman yang setimpal dengan pelanggaran atas ketentuan tersebut di atas. Jenis sangsi atau hukuman yang dapat dijatuhkan kepada Pagawai Negeri sangatlah bervariasi sesuai tingkat pelanggaran, adapun jenis sangsi tersebut menurut Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 terdiri dari :
Hukuman disiplin ringan antara lain :
- teguran lisan
- teguran tertulis
- pernyataan tidak puas secara tertulis.
Jenis hukuman disiplin sedang, antara lain :
- penundaan kenaikkan gaji berkala untuk paling lama satu tahun
- penurunan gaji sebesar satu kali gaji berkala untuk paling lama satu tahun.
- Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama satu tahun.
Jenis hukuman disiplin berat, terdiri dari :
- penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah paling lama satu tahun.
- Pembebasan dari jabatan.
- Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri selaku pegawai negeri sipil.
- Pemberhentian dengan tidak hormat sebagai pegawai negeri sipil.
Dari sangsi hukuman yang diberikan dan patut diterima bagi siapa saja pelanggar Etika atau peraturan yang turut mengatur moralitas para aparat birokrasi di atas, jelaslah bagi kita beratnya sangsi atau hukuamn yang telah ditentukan, namun sekarang kembali lagi kepada penegakkan sangsi atas pelanggaran Etika tersebut, apa betul-betul dilaksanakan atau ditegakkan kepada mereka yang melanggar atau hanya sebatas retorika ataupun sangsi social saja, karena sangsi social hanya efektif apabila aparat Birokrasi itu berada di tengah-tengah masyarakat, sementara apabila dalam organisasi Birokrasi harus tegas berupa sangsi hukuman sesuai peraturan perundang-undangan tersebut di atas.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peraturan kepegawaian juga dapat dijadikan salah satu bagian dari kode Etik Birokrasi yang nantinya dapat mengatur segala bentuk tingkah laku dari Aparat Birokrasi dengan segala sangsi yang mengikat, sehingga diharapkan pelaksanannya dapat membuat aparat birokrasi lebih beretika. Jadi selain etika yang berlaku dalam masyarakat dimana aparat birokrasi merupakan bagian dalam masyarakat, maka secara otomatis dia harus terikat dengan aturan tersebut, sementara di satu sisi Aparat Birokrsi mempunyai aturan main sendiri yang secara Nasional di Seluruh Indonesia dapat diterapkan yaitu tercermin dalam Sapta Pra Setya Korpri bagi pegawai negeri dan Sapta Marga bagi TNI, serta aturan Kepegawaian yang berlaku dan juga ketentuan atau sangsi yang tegas dan nyata. Ini diharapkan dapat menjadi Kode Etik Birokrasi dan menjadi aturan main dalam dalam melaksanakan tugas dan fungsi Birokrasi agar dikatakan birokrasi lebih beretika dan bermoral.
F. P E N U T U P
Uraian-uraian dari makalah yang disajikan diatas, hanya merupakan konsep ideal yang diharapka dari aparat pelaksana pemerintahan di Indonesia yang merupakan aparat birokrasi di negara kita yang mempunyai tugas dan fungsi pokok untuk melayani masyarakat, mengatur masyarakat dan memberdayakan masyarakat. Fungsi-fungsi ini dapat dilaksanakn dengan baik apabila Aparat Birokrasi tersebut memiliki Etika dalam bekerja.
Etika Birokrasi bukan hanya sekedar retorika yang didengungkan baik lewat Sapta Pra Setya Korpri maupun Sapta Marga dan sederetan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Tentang kepegawaian, tetapi lebih dari itu bagaiaman ketentuan-ketentuan tersebut dapat dapat dihayati dan diamalkan dalam berepilaku sebagai Aparat Birokrasi dan yang tidak kalah penting yaitu bagaiman penegakkan hukum atau sangsi yang tegas bagi para pelanggar aturan yang telah disepakati dan ditentukan tersebut. Hukuman atau sangsi perlu ditegakkan secara merata tanpa pandang bulu apakah dia atasan atau bawahan semuanya harus sama di mata hukum.
Masyarakat juga berhak menentukan kode Etik atau aturan dalam masyarakat yang juga turut mengatur keberadaan seorang Aparat Birokrasi di lingkungannya, kalau memang melanggar harus ada komitmen bersama untuk mentaati aturan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Jadi yang disebut Etika Birokrasi merupakan norma aturan yang melekat pada anggota atau aparat Birokrasi itu sendiri di manapun dan kapan dia berada, baik di kantor maupun di tengah-tengah masyarakat dia teriakt dengan aturan kepegawaian dan aturan norma dalam masyarakat yang menjadi lansasan Etika dalam bertindak dan berperilaku dalam melaksanakan tugasnya.
DAFTAR PUSTAKA
1 Aristoteles dalam Prof. Drs.H.A.Widjaja, Etika Pemerintahan, Edisi kedua, Bumi Aksara, Jakarta, 1997.
2 widjaja, AW. Masyarakat dan Permasayarakatan Ideologi Pancasila, bandung, Cv Armico, 1985.
3 Drs. Haryanto, MA, Kuliah Birokrasi Indonesia, Politik Lokal Otonomi Daerah Program Pasca Sarjana UGM,Yogyakarta,2002.
4 Agus Dwiyanto, Pemerintah Yang Baik, Tanggap, Efisien, dan Akuntabel, Kontrol atau Etika, Seminar Forum Kebijakan Publik, Pasca Sarjana, UGM, Yogyakarta, 2000.
5 Drs. Haryanto, MA, Makalah Etika Pemerintahan, Staf Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL, UGM, Yogyakarta.hal.8,9.
6 Ibid,.. hal 15,16.
7 Prof. Drs. H.a. Widjaja, Etika Pemerintahan, Bumi Aksara, Jakarta, 1997. hal.23.
Maret 21, 2007 - Ditulis oleh lutfiwahyudi | Materi Kuliah | | & Komentar
Sejarah Perkembangan Pemerintahan Desa di Indonesia
1. Masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda
Sebagaimana telah dimaklumi bahwa bangsa Indonesia telah mengalami pasang surut dalam perjalanan sejarah politik san kehidupan sosial ekonominya, sejak Kerajaan-Kerajaan Mataram, Banten, Cirebon, Aceh, Deli, Kutai, Pontianak, Goa, Bone, Ternate, Klungkung, Karangasem, Badung, Bima dan lain-lainnya kehilangan kedaulatannya dan kemerdekaannya.
Kerajaan-kerajaan itu satu persatu menyerahkan kedaulatan politiknya kepada V.O.C mulai tahun 1602 sampai terbentuknya Pemerintah Hindia Belanda, masih berlangsung terus menerima penyerahan-penyerahan kedaulatan kerjaan-kerajaan tersebut.
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang berkuasa dari tahun 1798 sampai Maret 1942, telah mengatur sebagian besar aspek kehidupan politik, ekonomi dan sosial bangsa Indonesia, melalui berbagai cara dengan gaya dan nafas khas kolonialis.
Berbagai peratuan perundang-undangan baik yang bersifat untuk sementara waktu, maupun yang dipersiapkan untuk jangka waktu yang cukup lama, yang telah dapat dipastikan akan menguntungkan Pemerintah Hindia Belanda, telah dikeluarkan dan harus ditaati sepenuhnya oleh bangsa Indonesia yang saat itu sebagai hamba-hamba Raja atau Ratu Belanda.
Tidak sedikit pula peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur Desa-desa atau yang semacam dengan Desa; sekalipun secara formal dan politis pemerintah kolonial Hindia Belanda menghormati dan mengakui serta “mempersilahkan” Adat dan Hukum Adat berlaku dan dapat digunakan sebagai landasan hukum bagi berbagai kegiatan Hukum “Golongan Pribumi” dan sebagai hukum dasar bagi desa-desa, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan politik dan sistem kolonialisme.
Peraturan perundang-undangan yang cukup penting dan sebagai pedoman pokok bagi desa-desa antara lain adalah :
1. Indische Staatsregeling pasal 128 ayat 1 sampai 6. (mulai berlaku 2 september 1854, Stb 1854.2.)
2. Inlandsche Gemeente Ordonanntie Java en Modoera, disingkat dengan nama I.G.O (Stb.1906-83) dengan segala perubahannya.
3. Inlandsche Gemeente Ordonanntie Buitengewesten, disingkat dengan nama I.G.O.B (Stb. 1938-490 yo.681) dengan segala perubahannya.
4. Reglement op de verkiezing, de schorsing en het onslag van de hoofden der Inlandsche Gemeenten op Java en Madoera (Stb. 1907-212) dengan segala perubahannya.
5. Nieuwe regelen omtrent de splitsing en samenvoeging van desa op Java en Madoera met uitzondering van de Vorstenlanden (Bijblad 9308).
6. Herziene Indonesische Reglement, disingkat H.I.R atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui, disingkat R.I.B (Stb 1848-16 yo Stb.1941-44).
Berdasarkan kepada ketata negaraan Hindia Belanda, sebagaimana tersurat dalam Indische Staatsrwgwling, maka ppemerintah kolonial Hindia Belanda memberikan hak untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri kepada Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum “Pribumi” dengan sebutan Inlandsche gemeente yang terdiri dari dua bentuk, yaitu Swapraja dan Desa atau yang dipersamakan dengan Desa.
Bagi Swapraja-Swapraja yaitu bekas-bekas kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan tetapi masih diberi kelonggaran yaitu berupa hak menyelenggarakan pemerintahan sendiri (self bestuur) berdasarkan Hukum Adatnya dengan pengawasan penguasa-penguasa Belanda dan dengan pembatasan-pembatasan atas hal-hal tertentu, disebut dengan nama Landschap.
Selanjutnya bagi Desa-desa atau yang dipersamakan dengan Desa (Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum di luar Jawa, Madura dan Bali) mendapat sebutan Inlandsche Gemeente dan Dorp dalam H.I.R.
Untuk kepentingan pelaksanaan pemerintahan dan kemantapan sistem kolonialisme maka para pejabat pemerintah Belanda telah memberikan sekedar perumusan tentang sebutan Inladsche Gemeente sebagai berikut :
Suatu kesatuan masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, yang memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan kepada Hukum Adat dan peratuaran perundang-undangan Hindia Belanda untuk hal-hal tertentu, dan pemerintahannya merupakan bagian terbawah dari susunan pemerintah Kabupaten dan Swapraja.
Pengertian tentang Inlandsche Gemeente tersebut di atas tidak lai wujudnya adalah Desa-desa, tidak secara tegas dan terperinci dicantumkan dalam I.G.O dan I.G.O.B. uraian pengertian tersebut disampaikan antara lain dalam rangkaian penyusunan I.G.O di Volksraad tahun 1906.
2. Masa Pemerintah Pendudukan Balatentara Jepang
Telah dikemukakan di atas bahwa pada bulan Maret 1942 seluruh wilayah jajahan Hindia Belanda jatuh ke dalam kekuasaan militer Jepang di mana penyerahan kekuasaannya ditanda tangani di Lembang Jawa Barat. Dengan sendirinya Jepang berkuasa atas segala sesuatunya di wilayah bekas jajahan Belanda itu yaitu Indonesia Tercinta ini.
Pemerintah militer Jepang tidak banyak merubah peratuaran perundang-undangan yang dibuat Belanda sepanjang tidak merugikan trategi “Perang Asia Timur Raya” yang harus dimenangkan oleh Jepang. Demikian pula Hukum Adat tidak diganggu apalagi dihapuskan. Masih tetap dapat digunakan oleh bangsa Indonesia, sepanjang tidak merugikan Jepang.
Selama Jepang menjajah 3 ½ tahunm I.G.O dan I.G.O.B. secara formal terus berlaku, hanya sebutan-sebutan kepala Desa diseragamkan yaitu dengan sebutan Kuco; demikian juga cara pemilihan dan pemberhentiannya diatur oleh osamu Seirei No. 7 tahun 2604(1944).
Dengan demikian sekaligus pula nama Desa berganti/ berubah menjadi “Ku”. Perubahan ini selaras dengan perubahansebutan-sebutan bagi satuan pemerintahan lebih atasnya.
Untuk sekedar melengkapi hal di atas, maka sebagaimana dimaklumi berdasarkan Osamu Seirei No. 27 tahun 1942, maka susunan pemerintahan untuk di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Pucuk pimpinan pemerintahan militer Jepang ada di tangan Panglima Tentara ke 16 khusus untuk pulau jawa yaitu Gunsyireikan atau Panglima Tentara, kemudian disebut Saikosikikan.
2. Di bawah Panglima ada Kepala Pemerintahan militer disebut Gunseikan.
3. Di bawah Gunseikan ada koordinator pemerintahan militer untuk Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan sebutan Gunseibu.
4. Gunseibu-gunseibu ini dijabat oleh orang-orang Jepang, tetapi wakil Gunseibu diambil dari bangsa Indonesia.
5. Gunseibu membawahi Residen-Residen yang disebut Syucokan. Pada masa Jepang Keresidenan (Syu) merupakan Pemerintah Daerah Tertinggi. Para Syucokan semuanya terdiri dari orang-orang Jepang.
6. Daerah Syu terbagi atas Kotamadya (Si) dan Kabupaten (Ken).
7. Ken, terbagi lagi atas beberapa Gun (Kewedanan).
8. Gun terbagi lagi atas beberapa Son (Kecamatan).
9. Son Terbagi atas beberapa Ku (Desa).
10. Ku terbagi lagi atas beberapa Usa (Kampung).
Sekalipun menurut susunan pemerintahan Keresidenan menurut Pemerintah Daerah yang tertinggi, berarti juga termasuk kategori penting bagi strategi militer, namun ternyata Jepang mempunyai perhatian yang cukup besar terhadap Desa-desa.
Desa-desa oleh Jepang dinilai sebagai bagian yang cukup vital bagi strategi memenangkan “Perang Asia Timur Raya”. Oleh karenanya Desa-desa dijadikan basis logistik perang. Kewajiban Desa-desa semakin bertambah banyak dan bebannya semakin bertambah berat. Desa-desa harus menyediakan pangan dan tenaga manusia yang disebut Romusya untuk keperluan pertahanan militer Jepang.
Dengan demikian bagi Jepang pengertian Ku (Desa) adalah Suatu Kesatuan Masyarakat berdasarkan Adat dan peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda serta pemerintah Militer Jepang, yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri, merupakan kesatuan ketata negaraan terkecil dalam daerah Syu, yang kepalanya dipilih oleh rakyatnya dan disebut Kuco, dan merupakan bagian dari sistem pertahanan militer.
Sudah barang tentu pengertian yang terurai di atas itu tidak dapat dianggap sesuai lagi ketika Tentara Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu pada tanggan 14 Agustus 1945.
3. Sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga Lahirnya Orde Baru
Pada tanggal 17 Agustus 1945 bersamaan waktunya dengan diproklamasikannya kemerdekaan, berakhirlah sudah lembaran buku sejarah kehidupan bangsa Indonesia yang penuh dengan penderitaan dan kenistaan sejak awal penjajahan oleh Belanda dan berakhir oleh militer Jepang.
Kemerdekaan membawa perubahan di segala bidang kehidupan menuju ke arah kemajuan yang telah sekian lama didambakan.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang mengandung prinsip kejiwaan bertentangan dengan martabat bangsa yang merdeka, secara bertahap dihapuskan, dan diganti dengan yang selaras dan serasi sebagaimana layaknya di alam kemerdekaan, walaupun dengan berbagai kesulitan karena situasi pilitik dan keamanan pada awal Indonesia merdeka belum stabil.
Barulah pada atahun-tahun setelah pemulihan kedaulatan, mulai banyak terlihat berbagai kegiatan untuk menyiapkan Undang-Undangyang mengatur pemerintahan Desa sebagai pengganti I.G.O dan I.G.O.B. pun mengalami hambatan yang tidak kecil.
Akibatnya maka hal-hal yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman yang terdapat dalam I.G.O. dan I.G.O.B. diatasi oleh berbagai peraturan yang derajatnya di bawah undang-undang.
Dengan ssendirinya pengertian tentang Desa atau yang semacam dengan Desa masih tetap seperti pada masa dahulu, dengan sedikit penambahan di sana-sini.
Barulah kemudian setelah keluar Undang-Undang Desapraja (sebagai pengganti I.G.O. dan I.G.O.B) pada tahun 1965, didapatlah pengertian resmi tentanf desa berdasarkan undang-undang Republik Indonesia.
Pada pasal 1 Undang-Undang Desapraja (No. 19 Tahun 1965) dijelaskan apa yang dimaksud dengan Desapraja yaitu :
Desapraja adalah Kesatuan Masyarakat Hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri.
Jadi Desapraja pada undang-undang tersebut di atas itu hanyalah nama baru bagi Desa yang sudah ada sejak berabad-abad yang lampau, yang memiliki pengertian sama seperti di atas.
Undang-Undang Desapraja tidak berumur lama,sebab ketika Orde Baru lahir, undang-undang yang jiwanya dan sistem pengaturannya akan dapat membawa ke arah ketidakstabilan politik di Desa-desa, dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-Undang No. 6 Tahun 1969.
4. Sejak Lahirnya Orde Baru hingga Sekarang
Sejak Undang-Undang Desapraja dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-Undang No. 6 tahun 1969, sampai saat lahir dan berlakunya Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa (Undang-Undang No. 5 Tahun 1979) maka selama 10 tahun Desa-desa di seluruh Indonesia tidak memiliki landasan hukum berupa undang-undang. Selama 10 tahun itu pengertian tentang Desa diambi dari berbagai sumber baik dari peraturan-peraturan maupun dari pendapat para ahli.
Pengertian Desa yang didasarkan kepada undang-undang yang dapat dipergunakan sebagai pegangan atau patokan bagi berbagai kepentingan baik bagi kalangan masyarakat maupun aparatur pemerintah terdapat pada pasal 1 huruf a dari Undang-undang tentang Pemerintahan Desa (Undang-Undang No 5 Tahun 1979) yaitu :
Suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat, termasuk di dalamnya esatuan Masyarakat Hukum, yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan urusan rumahtangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan adanya secara resmi pengertian tentang Desa sebagaimana tersebut di atas, maka pengertian atau batasan-batasan tentang Desa tidak perlu lagi dirumuskan oleh berbagai pihak maupun dalam berbagai peraturan yang derajatnya di bawah undang-undang.
Sebagai akibat logis adanya pengertian atau batasan Desa secara resmi sebagaimana tersebut di atas, maka sekaligus terjadi pula keseragaman sebutan atau nama yaitu Desa bagi bermacam bentuk atau corak Kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum yang memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri dengan sebutan atau nama setempat seperti Marga, Nagari, Kuria, Nagorey dan lain-lainnya, yang tersebar di seluruh Indonesia.
Sekalipun demikian masih harus dimaklumi bilamana masyarakat awam yang berada di luar Jawa, Madura dan Bali masih menyebut Desanya dengan nama atau sebutan yang dahulu, karena setiap perubahan sekalipun hanya perubahan sebutan memerlukan waktu untuk bisa diterima sehingga membudaya.
Telah dimaklumi bahwa Desa dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami perubahan baik yang menyangkut aspek yuridis formal maupun yang berkaitan dengan luas wilayah, sistem dan pola ketahanan masyarakat, prasarana dan sarana, sumber-sumber penghasilan, sistem administrasi pemerintahan, lembaga-lembaga kemasyarakatanm susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa dan lain-lainnya, namun pada hakikatnya ada anasir penting yang melekat pada setiap Desa yang tidak mungkin mudah berubah karena perubahan zaman yaitu :
1. Pada zaman atau masa manapun Desa merupakan satuan organisasi ketatanegaraan (sekalipun terkecil dan paling sederhana) dalam suatu negara (Kerajaan atau Republik).
2. Pemerintah Desa merupakan pemerintahan terendah dalam susunan pemerintahan negara (Kerajaan atau Republik).
3. Adanya hak untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri.
4. Berada dalam suatu wilayah yang batas-batasnya jelas dan tertentu.
5. Ada penduduknya atau masyarakat dalam jumlah yang cukup besar sesuai persyaratan, yang hidup secara tertib dan bertempat tinggal pada lokasi-lokasi yang sudah tetap.
6. Kepalanya dipilih secara langsung, bebas dan rahasia oleh penduduk Desa yang berhak.
7. Memiliki kekayaan sendiri (fisik ekonomis dan non fisik ekonomis).
8. Ada Landasan Hukum (tertulis dan tidak tertulis) yang ditaati oleh masyarakatnya bersama aparatur Pemerintah Desa.
9. Mempunyai nama, yang tetap dan lestari serta mengandung makna tertentu bagi masyarakatnya.
Menurut Undand-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan menguruskepentingan msyarakat setempat berdasarkan asal usuk dan adapt istiadat setempat yang diakui dalam sistim pemerintahan nasional dan berada didalan daerah kabupaten. Sedangkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pengertian desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat .
Sebagaimana telah dimaklumi bahwa bangsa Indonesia telah mengalami pasang surut dalam perjalanan sejarah politik san kehidupan sosial ekonominya, sejak Kerajaan-Kerajaan Mataram, Banten, Cirebon, Aceh, Deli, Kutai, Pontianak, Goa, Bone, Ternate, Klungkung, Karangasem, Badung, Bima dan lain-lainnya kehilangan kedaulatannya dan kemerdekaannya.
Kerajaan-kerajaan itu satu persatu menyerahkan kedaulatan politiknya kepada V.O.C mulai tahun 1602 sampai terbentuknya Pemerintah Hindia Belanda, masih berlangsung terus menerima penyerahan-penyerahan kedaulatan kerjaan-kerajaan tersebut.
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang berkuasa dari tahun 1798 sampai Maret 1942, telah mengatur sebagian besar aspek kehidupan politik, ekonomi dan sosial bangsa Indonesia, melalui berbagai cara dengan gaya dan nafas khas kolonialis.
Berbagai peratuan perundang-undangan baik yang bersifat untuk sementara waktu, maupun yang dipersiapkan untuk jangka waktu yang cukup lama, yang telah dapat dipastikan akan menguntungkan Pemerintah Hindia Belanda, telah dikeluarkan dan harus ditaati sepenuhnya oleh bangsa Indonesia yang saat itu sebagai hamba-hamba Raja atau Ratu Belanda.
Tidak sedikit pula peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur Desa-desa atau yang semacam dengan Desa; sekalipun secara formal dan politis pemerintah kolonial Hindia Belanda menghormati dan mengakui serta “mempersilahkan” Adat dan Hukum Adat berlaku dan dapat digunakan sebagai landasan hukum bagi berbagai kegiatan Hukum “Golongan Pribumi” dan sebagai hukum dasar bagi desa-desa, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan politik dan sistem kolonialisme.
Peraturan perundang-undangan yang cukup penting dan sebagai pedoman pokok bagi desa-desa antara lain adalah :
1. Indische Staatsregeling pasal 128 ayat 1 sampai 6. (mulai berlaku 2 september 1854, Stb 1854.2.)
2. Inlandsche Gemeente Ordonanntie Java en Modoera, disingkat dengan nama I.G.O (Stb.1906-83) dengan segala perubahannya.
3. Inlandsche Gemeente Ordonanntie Buitengewesten, disingkat dengan nama I.G.O.B (Stb. 1938-490 yo.681) dengan segala perubahannya.
4. Reglement op de verkiezing, de schorsing en het onslag van de hoofden der Inlandsche Gemeenten op Java en Madoera (Stb. 1907-212) dengan segala perubahannya.
5. Nieuwe regelen omtrent de splitsing en samenvoeging van desa op Java en Madoera met uitzondering van de Vorstenlanden (Bijblad 9308).
6. Herziene Indonesische Reglement, disingkat H.I.R atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui, disingkat R.I.B (Stb 1848-16 yo Stb.1941-44).
Berdasarkan kepada ketata negaraan Hindia Belanda, sebagaimana tersurat dalam Indische Staatsrwgwling, maka ppemerintah kolonial Hindia Belanda memberikan hak untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri kepada Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum “Pribumi” dengan sebutan Inlandsche gemeente yang terdiri dari dua bentuk, yaitu Swapraja dan Desa atau yang dipersamakan dengan Desa.
Bagi Swapraja-Swapraja yaitu bekas-bekas kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan tetapi masih diberi kelonggaran yaitu berupa hak menyelenggarakan pemerintahan sendiri (self bestuur) berdasarkan Hukum Adatnya dengan pengawasan penguasa-penguasa Belanda dan dengan pembatasan-pembatasan atas hal-hal tertentu, disebut dengan nama Landschap.
Selanjutnya bagi Desa-desa atau yang dipersamakan dengan Desa (Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum di luar Jawa, Madura dan Bali) mendapat sebutan Inlandsche Gemeente dan Dorp dalam H.I.R.
Untuk kepentingan pelaksanaan pemerintahan dan kemantapan sistem kolonialisme maka para pejabat pemerintah Belanda telah memberikan sekedar perumusan tentang sebutan Inladsche Gemeente sebagai berikut :
Suatu kesatuan masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, yang memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan kepada Hukum Adat dan peratuaran perundang-undangan Hindia Belanda untuk hal-hal tertentu, dan pemerintahannya merupakan bagian terbawah dari susunan pemerintah Kabupaten dan Swapraja.
Pengertian tentang Inlandsche Gemeente tersebut di atas tidak lai wujudnya adalah Desa-desa, tidak secara tegas dan terperinci dicantumkan dalam I.G.O dan I.G.O.B. uraian pengertian tersebut disampaikan antara lain dalam rangkaian penyusunan I.G.O di Volksraad tahun 1906.
2. Masa Pemerintah Pendudukan Balatentara Jepang
Telah dikemukakan di atas bahwa pada bulan Maret 1942 seluruh wilayah jajahan Hindia Belanda jatuh ke dalam kekuasaan militer Jepang di mana penyerahan kekuasaannya ditanda tangani di Lembang Jawa Barat. Dengan sendirinya Jepang berkuasa atas segala sesuatunya di wilayah bekas jajahan Belanda itu yaitu Indonesia Tercinta ini.
Pemerintah militer Jepang tidak banyak merubah peratuaran perundang-undangan yang dibuat Belanda sepanjang tidak merugikan trategi “Perang Asia Timur Raya” yang harus dimenangkan oleh Jepang. Demikian pula Hukum Adat tidak diganggu apalagi dihapuskan. Masih tetap dapat digunakan oleh bangsa Indonesia, sepanjang tidak merugikan Jepang.
Selama Jepang menjajah 3 ½ tahunm I.G.O dan I.G.O.B. secara formal terus berlaku, hanya sebutan-sebutan kepala Desa diseragamkan yaitu dengan sebutan Kuco; demikian juga cara pemilihan dan pemberhentiannya diatur oleh osamu Seirei No. 7 tahun 2604(1944).
Dengan demikian sekaligus pula nama Desa berganti/ berubah menjadi “Ku”. Perubahan ini selaras dengan perubahansebutan-sebutan bagi satuan pemerintahan lebih atasnya.
Untuk sekedar melengkapi hal di atas, maka sebagaimana dimaklumi berdasarkan Osamu Seirei No. 27 tahun 1942, maka susunan pemerintahan untuk di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Pucuk pimpinan pemerintahan militer Jepang ada di tangan Panglima Tentara ke 16 khusus untuk pulau jawa yaitu Gunsyireikan atau Panglima Tentara, kemudian disebut Saikosikikan.
2. Di bawah Panglima ada Kepala Pemerintahan militer disebut Gunseikan.
3. Di bawah Gunseikan ada koordinator pemerintahan militer untuk Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan sebutan Gunseibu.
4. Gunseibu-gunseibu ini dijabat oleh orang-orang Jepang, tetapi wakil Gunseibu diambil dari bangsa Indonesia.
5. Gunseibu membawahi Residen-Residen yang disebut Syucokan. Pada masa Jepang Keresidenan (Syu) merupakan Pemerintah Daerah Tertinggi. Para Syucokan semuanya terdiri dari orang-orang Jepang.
6. Daerah Syu terbagi atas Kotamadya (Si) dan Kabupaten (Ken).
7. Ken, terbagi lagi atas beberapa Gun (Kewedanan).
8. Gun terbagi lagi atas beberapa Son (Kecamatan).
9. Son Terbagi atas beberapa Ku (Desa).
10. Ku terbagi lagi atas beberapa Usa (Kampung).
Sekalipun menurut susunan pemerintahan Keresidenan menurut Pemerintah Daerah yang tertinggi, berarti juga termasuk kategori penting bagi strategi militer, namun ternyata Jepang mempunyai perhatian yang cukup besar terhadap Desa-desa.
Desa-desa oleh Jepang dinilai sebagai bagian yang cukup vital bagi strategi memenangkan “Perang Asia Timur Raya”. Oleh karenanya Desa-desa dijadikan basis logistik perang. Kewajiban Desa-desa semakin bertambah banyak dan bebannya semakin bertambah berat. Desa-desa harus menyediakan pangan dan tenaga manusia yang disebut Romusya untuk keperluan pertahanan militer Jepang.
Dengan demikian bagi Jepang pengertian Ku (Desa) adalah Suatu Kesatuan Masyarakat berdasarkan Adat dan peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda serta pemerintah Militer Jepang, yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri, merupakan kesatuan ketata negaraan terkecil dalam daerah Syu, yang kepalanya dipilih oleh rakyatnya dan disebut Kuco, dan merupakan bagian dari sistem pertahanan militer.
Sudah barang tentu pengertian yang terurai di atas itu tidak dapat dianggap sesuai lagi ketika Tentara Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu pada tanggan 14 Agustus 1945.
3. Sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga Lahirnya Orde Baru
Pada tanggal 17 Agustus 1945 bersamaan waktunya dengan diproklamasikannya kemerdekaan, berakhirlah sudah lembaran buku sejarah kehidupan bangsa Indonesia yang penuh dengan penderitaan dan kenistaan sejak awal penjajahan oleh Belanda dan berakhir oleh militer Jepang.
Kemerdekaan membawa perubahan di segala bidang kehidupan menuju ke arah kemajuan yang telah sekian lama didambakan.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang mengandung prinsip kejiwaan bertentangan dengan martabat bangsa yang merdeka, secara bertahap dihapuskan, dan diganti dengan yang selaras dan serasi sebagaimana layaknya di alam kemerdekaan, walaupun dengan berbagai kesulitan karena situasi pilitik dan keamanan pada awal Indonesia merdeka belum stabil.
Barulah pada atahun-tahun setelah pemulihan kedaulatan, mulai banyak terlihat berbagai kegiatan untuk menyiapkan Undang-Undangyang mengatur pemerintahan Desa sebagai pengganti I.G.O dan I.G.O.B. pun mengalami hambatan yang tidak kecil.
Akibatnya maka hal-hal yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman yang terdapat dalam I.G.O. dan I.G.O.B. diatasi oleh berbagai peraturan yang derajatnya di bawah undang-undang.
Dengan ssendirinya pengertian tentang Desa atau yang semacam dengan Desa masih tetap seperti pada masa dahulu, dengan sedikit penambahan di sana-sini.
Barulah kemudian setelah keluar Undang-Undang Desapraja (sebagai pengganti I.G.O. dan I.G.O.B) pada tahun 1965, didapatlah pengertian resmi tentanf desa berdasarkan undang-undang Republik Indonesia.
Pada pasal 1 Undang-Undang Desapraja (No. 19 Tahun 1965) dijelaskan apa yang dimaksud dengan Desapraja yaitu :
Desapraja adalah Kesatuan Masyarakat Hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri.
Jadi Desapraja pada undang-undang tersebut di atas itu hanyalah nama baru bagi Desa yang sudah ada sejak berabad-abad yang lampau, yang memiliki pengertian sama seperti di atas.
Undang-Undang Desapraja tidak berumur lama,sebab ketika Orde Baru lahir, undang-undang yang jiwanya dan sistem pengaturannya akan dapat membawa ke arah ketidakstabilan politik di Desa-desa, dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-Undang No. 6 Tahun 1969.
4. Sejak Lahirnya Orde Baru hingga Sekarang
Sejak Undang-Undang Desapraja dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-Undang No. 6 tahun 1969, sampai saat lahir dan berlakunya Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa (Undang-Undang No. 5 Tahun 1979) maka selama 10 tahun Desa-desa di seluruh Indonesia tidak memiliki landasan hukum berupa undang-undang. Selama 10 tahun itu pengertian tentang Desa diambi dari berbagai sumber baik dari peraturan-peraturan maupun dari pendapat para ahli.
Pengertian Desa yang didasarkan kepada undang-undang yang dapat dipergunakan sebagai pegangan atau patokan bagi berbagai kepentingan baik bagi kalangan masyarakat maupun aparatur pemerintah terdapat pada pasal 1 huruf a dari Undang-undang tentang Pemerintahan Desa (Undang-Undang No 5 Tahun 1979) yaitu :
Suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat, termasuk di dalamnya esatuan Masyarakat Hukum, yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan urusan rumahtangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan adanya secara resmi pengertian tentang Desa sebagaimana tersebut di atas, maka pengertian atau batasan-batasan tentang Desa tidak perlu lagi dirumuskan oleh berbagai pihak maupun dalam berbagai peraturan yang derajatnya di bawah undang-undang.
Sebagai akibat logis adanya pengertian atau batasan Desa secara resmi sebagaimana tersebut di atas, maka sekaligus terjadi pula keseragaman sebutan atau nama yaitu Desa bagi bermacam bentuk atau corak Kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum yang memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri dengan sebutan atau nama setempat seperti Marga, Nagari, Kuria, Nagorey dan lain-lainnya, yang tersebar di seluruh Indonesia.
Sekalipun demikian masih harus dimaklumi bilamana masyarakat awam yang berada di luar Jawa, Madura dan Bali masih menyebut Desanya dengan nama atau sebutan yang dahulu, karena setiap perubahan sekalipun hanya perubahan sebutan memerlukan waktu untuk bisa diterima sehingga membudaya.
Telah dimaklumi bahwa Desa dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami perubahan baik yang menyangkut aspek yuridis formal maupun yang berkaitan dengan luas wilayah, sistem dan pola ketahanan masyarakat, prasarana dan sarana, sumber-sumber penghasilan, sistem administrasi pemerintahan, lembaga-lembaga kemasyarakatanm susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa dan lain-lainnya, namun pada hakikatnya ada anasir penting yang melekat pada setiap Desa yang tidak mungkin mudah berubah karena perubahan zaman yaitu :
1. Pada zaman atau masa manapun Desa merupakan satuan organisasi ketatanegaraan (sekalipun terkecil dan paling sederhana) dalam suatu negara (Kerajaan atau Republik).
2. Pemerintah Desa merupakan pemerintahan terendah dalam susunan pemerintahan negara (Kerajaan atau Republik).
3. Adanya hak untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri.
4. Berada dalam suatu wilayah yang batas-batasnya jelas dan tertentu.
5. Ada penduduknya atau masyarakat dalam jumlah yang cukup besar sesuai persyaratan, yang hidup secara tertib dan bertempat tinggal pada lokasi-lokasi yang sudah tetap.
6. Kepalanya dipilih secara langsung, bebas dan rahasia oleh penduduk Desa yang berhak.
7. Memiliki kekayaan sendiri (fisik ekonomis dan non fisik ekonomis).
8. Ada Landasan Hukum (tertulis dan tidak tertulis) yang ditaati oleh masyarakatnya bersama aparatur Pemerintah Desa.
9. Mempunyai nama, yang tetap dan lestari serta mengandung makna tertentu bagi masyarakatnya.
Menurut Undand-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan menguruskepentingan msyarakat setempat berdasarkan asal usuk dan adapt istiadat setempat yang diakui dalam sistim pemerintahan nasional dan berada didalan daerah kabupaten. Sedangkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pengertian desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat .
Pengertian Otonomi, Sistem Otonomi, dan Sistem Pemerintahan Daerah Menurut Ahli
Beberapa Pengertian Otonomi, Sistem Otonomi dan Sistem Pemerintahan Daerah Menurut Prof.Dr.Ateng Syafrudin, S.H. dalam bukunya yang berjudul “Titik Berat Otonomi Daerah Pada Daerah Tingkat II Dan Pembangunannya”, Prof.Dr.H.Bagir Manan, SH.,M.CL. dalam bukunya menyongsong Fajar Otonomi Daerah”, dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah oleh MP. Kristoporus Dawi (Fak. Polpem-IPDN 2010)
Pengertian menurut Prof.Dr.Ateng Syafrudin, S.H. dalam bukunya yang berjudul “Titik Berat Otonomi Daerah Pada Daerah Tingkat II Dan Pembangunannya”
1. Otonomi mengandung arti jumlah atau besarnya tugas, kewajiban, hak dan wewenang serta tanggung jawab urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah otonomi untuk menjadi isi rumah tangga Daerah. Otonomi daerah terkandung unsur kemampuan untuk mewujudkan apa-apa yang menjadi tugas, hak dan wewenang serta tanggung jawabnya memperhatikan, mengurus dan mengatur rumah tangga daerah sendiri. Dalam bagian terdahulu telah dikemukakan beberapa cara untuk mengukur kemampuan termaksud. Otonomi daerah itu juga merupakan bagian dari pembagian tugas penyelenggaraan kepentingan umum antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.Dilihat dari segi ini unsur kemampuan harus ada pada pihak yang membagi dan yang menerima bagian tugas, artinya kemampuan jajaran pemerintah pusat juga harus turut diperhitungkan karena akan mempengaruhi pelaksanaannya.( Prof.Dr.Ateng Syafrudin, S.H.,1991:40)
2. Sistem Otonomi daerah adalah totalitas dari bagian-bagian yang saling ketergantungan dan saling berhubungan yang terkandung unsur kemampuan untuk mewujudkan apa-apa yang menjadi tugas, hak dan wewenang serta tanggung jawabnya memperhatikan, mengurus dan mengatur rumah tangga daerah sendiri. Dalam bagian terdahulu telah dikemukakan beberapa cara untuk mengukur kemampuan termaksud. Otonomi daerah itu juga merupakan bagian dari pembagian tugas penyelenggaraan kepentingan umum antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.Dilihat dari segi ini unsur kemampuan harus ada pada pihak yang membagi dan yang menerima bagian tugas, artinya kemampuan jajaran pemerintah pusat juga harus turut diperhitungkan karena akan mempengaruhi pelaksanaannya. ( Prof.Dr.Ateng Syafrudin, S.H.,1991:61)
3. Sistem Pemerintah Daerah adalah totalitas dari bagian-bagian yang saling ketergantungan dan saling berhubungan yang unsur utamanya terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD yang secara formal mempunyai kewajiban dan hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya, sekaligus mempunyai kewajiban dan hak untuk menyerap dan merumuskan aspirasi rakyatnya dalam wujud berbagai upaya penyelenggaraan Pemerintahan.. Kewajiban ini pada dirinya mengandung sifat dan nilai politik karena anggota-anggota DPRD dipilih oleh rakyat melalui Pemilihan Umum secara nasional dan memang hal itu untuk mewujudkan prinsip yang ditegaskan dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945 bahwa” di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan Badan Perwakilan oleh karena di daerah pun, Pemerintah akan bersendi atas dasar permusyawaratan”. ( Prof.Dr.Ateng Syafrudin, S.H.,1991:40)
“Pengertian menurut Prof.Dr.H.Bagir Manan, SH.,M.CL. dalam bukunya menyongsong Fajar Otonomi Daerah”
1. Otonomi adalah sebuah tatanan ketatanegaraan (staatsrechtelijk), bukan hanya tatanan administrasi Negara (administratiefrechtelijk). Sebagaimana tatanan ketatanegaraan,otonomi berkaitan dengan dasar-dasar bernegara dan sususnan organisasi Negara.paling tidak, ada dua arahan dasar susunan ketatanegaraan dalam perumahan Indonesia merdeka yaitu demokrasi dan penyelenggaraan negara berdasarkan atas hukum.Otonomi bukan sekedar pemencaran penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai efesiensi dan efektivitas pemerintahan.(Prof.Dr.H.Bagir Manan, SH.,M.CL. ,2002:24-25)
2. Sistem Otonomi Daerah adalah totalitas dari bagian-bagian yang saling ketergantungan dan saling barhubungan dalam sebuah tatanan ketatanegaraan (staatsrechtelijk), bukan hanya tatanan administrasi Negara (administratiefrechtelijk). Sebagaimana tatanan ketatanegaraan,otonomi berkaitan dengan dasar-dasar bernegara dan sususnan organisasi Negara.paling tidak, ada dua arahan dasar susunan ketatanegaraan dalam perumahan Indonesia merdeka yaitu demokrasi dan penyelenggaraan negara berdasarkan atas hokum. Otonomi bukan sekedar pemencaran penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai efesiensi dan efektivitas pemerintahan.(Prof.Dr.H.Bagir Manan, SH.,M.CL. ,2002:24-25)
3. Sistem Pemerintahan Daerah adalah totalitas dari bagian-bagian yang saling ketergantungan dan saling barhubungan dalam satuan pemerintahan territorial tingkat lbh rendah dalam daerah Negara kesatuan Republik Indonesia yang berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan tertentu di bidang administrasi Negara sebagai urusan rumah tangganya.Satuan pemerintahan territorial ini lazim disebut daerah otonom, sedangkan hak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang administrasi Negara yang merupakan urusan rumah tangga daerah disebut otonomi. Jauh sebelum merdeka ,cita-cita membentuk satuan pemerintahan tingkat daerah yang otonom telah dikumandangkan oleh para pejuang kemerdekaan, baik dalam tulisan maupun sebagai garis politik gerakan kepartaian dan lain-lain badan.karena itu tidak mengherankan apabila cita-cita itu kemudian tertuang secara mantap dalam UUD,baik dalam UUD1945 maupun UUDS 1950.Dalam Konstitusi RIS(1949) cita-cita daerah otonom terintegrasi dengan faham federasi, baik dalam bentuk Negara bagian atau satuan-satuan pemerintahan yang tegak sendiri. Pada masing-masing Negara bagian, cita-cita otonomi tetap dilaksanakan secara kukuh.(Prof.Dr.H.Bagir Manan, SH.,M.CL. ,2002:67-68)
“Pengertian menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah”
1. Otonomi Daerah adalah wewenang Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Daerah Otonom, sebagai sebutan umum bagi Provinsi, Kabupaten dan Kota, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Sistem Otonomi Daerah adalah totalitas dari bagian-bagian yang saling ketergantungan dan saling barhubungan dalam wewenang Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Daerah Otonom, sebagai sebutan umum bagi Provinsi, Kabupaten dan Kota, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Sistem Pemerintahan Daerah adalah totalitas dari bagian-bagian yang saling ketergantungan dan saling barhubungan dalam penyelenggaraan urusan Pemerintah yang diserahkan kepadaDaerah sebagai fungsi-fungsi pemerintahan daerah otonom yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang merupakan lembaga pemerintahan daerah menurut asas desentralisasi. Pemerintah Daerah adalah unsur lembaga pemerintahan daerah yang terdiri dari Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain, yang berfungsi sebagai lembaga eksekutif daerah.Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah unsur lembaga pemerintahan daerah yang berfungsi sebagai lembaga legislatif Daerah.
Pengertian menurut Prof.Dr.Ateng Syafrudin, S.H. dalam bukunya yang berjudul “Titik Berat Otonomi Daerah Pada Daerah Tingkat II Dan Pembangunannya”
1. Otonomi mengandung arti jumlah atau besarnya tugas, kewajiban, hak dan wewenang serta tanggung jawab urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah otonomi untuk menjadi isi rumah tangga Daerah. Otonomi daerah terkandung unsur kemampuan untuk mewujudkan apa-apa yang menjadi tugas, hak dan wewenang serta tanggung jawabnya memperhatikan, mengurus dan mengatur rumah tangga daerah sendiri. Dalam bagian terdahulu telah dikemukakan beberapa cara untuk mengukur kemampuan termaksud. Otonomi daerah itu juga merupakan bagian dari pembagian tugas penyelenggaraan kepentingan umum antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.Dilihat dari segi ini unsur kemampuan harus ada pada pihak yang membagi dan yang menerima bagian tugas, artinya kemampuan jajaran pemerintah pusat juga harus turut diperhitungkan karena akan mempengaruhi pelaksanaannya.( Prof.Dr.Ateng Syafrudin, S.H.,1991:40)
2. Sistem Otonomi daerah adalah totalitas dari bagian-bagian yang saling ketergantungan dan saling berhubungan yang terkandung unsur kemampuan untuk mewujudkan apa-apa yang menjadi tugas, hak dan wewenang serta tanggung jawabnya memperhatikan, mengurus dan mengatur rumah tangga daerah sendiri. Dalam bagian terdahulu telah dikemukakan beberapa cara untuk mengukur kemampuan termaksud. Otonomi daerah itu juga merupakan bagian dari pembagian tugas penyelenggaraan kepentingan umum antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.Dilihat dari segi ini unsur kemampuan harus ada pada pihak yang membagi dan yang menerima bagian tugas, artinya kemampuan jajaran pemerintah pusat juga harus turut diperhitungkan karena akan mempengaruhi pelaksanaannya. ( Prof.Dr.Ateng Syafrudin, S.H.,1991:61)
3. Sistem Pemerintah Daerah adalah totalitas dari bagian-bagian yang saling ketergantungan dan saling berhubungan yang unsur utamanya terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD yang secara formal mempunyai kewajiban dan hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya, sekaligus mempunyai kewajiban dan hak untuk menyerap dan merumuskan aspirasi rakyatnya dalam wujud berbagai upaya penyelenggaraan Pemerintahan.. Kewajiban ini pada dirinya mengandung sifat dan nilai politik karena anggota-anggota DPRD dipilih oleh rakyat melalui Pemilihan Umum secara nasional dan memang hal itu untuk mewujudkan prinsip yang ditegaskan dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945 bahwa” di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan Badan Perwakilan oleh karena di daerah pun, Pemerintah akan bersendi atas dasar permusyawaratan”. ( Prof.Dr.Ateng Syafrudin, S.H.,1991:40)
“Pengertian menurut Prof.Dr.H.Bagir Manan, SH.,M.CL. dalam bukunya menyongsong Fajar Otonomi Daerah”
1. Otonomi adalah sebuah tatanan ketatanegaraan (staatsrechtelijk), bukan hanya tatanan administrasi Negara (administratiefrechtelijk). Sebagaimana tatanan ketatanegaraan,otonomi berkaitan dengan dasar-dasar bernegara dan sususnan organisasi Negara.paling tidak, ada dua arahan dasar susunan ketatanegaraan dalam perumahan Indonesia merdeka yaitu demokrasi dan penyelenggaraan negara berdasarkan atas hukum.Otonomi bukan sekedar pemencaran penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai efesiensi dan efektivitas pemerintahan.(Prof.Dr.H.Bagir Manan, SH.,M.CL. ,2002:24-25)
2. Sistem Otonomi Daerah adalah totalitas dari bagian-bagian yang saling ketergantungan dan saling barhubungan dalam sebuah tatanan ketatanegaraan (staatsrechtelijk), bukan hanya tatanan administrasi Negara (administratiefrechtelijk). Sebagaimana tatanan ketatanegaraan,otonomi berkaitan dengan dasar-dasar bernegara dan sususnan organisasi Negara.paling tidak, ada dua arahan dasar susunan ketatanegaraan dalam perumahan Indonesia merdeka yaitu demokrasi dan penyelenggaraan negara berdasarkan atas hokum. Otonomi bukan sekedar pemencaran penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai efesiensi dan efektivitas pemerintahan.(Prof.Dr.H.Bagir Manan, SH.,M.CL. ,2002:24-25)
3. Sistem Pemerintahan Daerah adalah totalitas dari bagian-bagian yang saling ketergantungan dan saling barhubungan dalam satuan pemerintahan territorial tingkat lbh rendah dalam daerah Negara kesatuan Republik Indonesia yang berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan tertentu di bidang administrasi Negara sebagai urusan rumah tangganya.Satuan pemerintahan territorial ini lazim disebut daerah otonom, sedangkan hak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang administrasi Negara yang merupakan urusan rumah tangga daerah disebut otonomi. Jauh sebelum merdeka ,cita-cita membentuk satuan pemerintahan tingkat daerah yang otonom telah dikumandangkan oleh para pejuang kemerdekaan, baik dalam tulisan maupun sebagai garis politik gerakan kepartaian dan lain-lain badan.karena itu tidak mengherankan apabila cita-cita itu kemudian tertuang secara mantap dalam UUD,baik dalam UUD1945 maupun UUDS 1950.Dalam Konstitusi RIS(1949) cita-cita daerah otonom terintegrasi dengan faham federasi, baik dalam bentuk Negara bagian atau satuan-satuan pemerintahan yang tegak sendiri. Pada masing-masing Negara bagian, cita-cita otonomi tetap dilaksanakan secara kukuh.(Prof.Dr.H.Bagir Manan, SH.,M.CL. ,2002:67-68)
“Pengertian menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah”
1. Otonomi Daerah adalah wewenang Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Daerah Otonom, sebagai sebutan umum bagi Provinsi, Kabupaten dan Kota, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Sistem Otonomi Daerah adalah totalitas dari bagian-bagian yang saling ketergantungan dan saling barhubungan dalam wewenang Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Daerah Otonom, sebagai sebutan umum bagi Provinsi, Kabupaten dan Kota, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Sistem Pemerintahan Daerah adalah totalitas dari bagian-bagian yang saling ketergantungan dan saling barhubungan dalam penyelenggaraan urusan Pemerintah yang diserahkan kepadaDaerah sebagai fungsi-fungsi pemerintahan daerah otonom yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang merupakan lembaga pemerintahan daerah menurut asas desentralisasi. Pemerintah Daerah adalah unsur lembaga pemerintahan daerah yang terdiri dari Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain, yang berfungsi sebagai lembaga eksekutif daerah.Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah unsur lembaga pemerintahan daerah yang berfungsi sebagai lembaga legislatif Daerah.
Dinamika Perubahan Kelembagaan IPDN Menuju ke Arah yang Lebih Baik
IPDN adalah sebuah pengejawantahan kebutuhan terhadap sosok pamong yang berkeahlian secara berwawasan nasional di bidang kepemerintahan. Bukan hanya sekilas tampak dari keproporsionalan bentuk lahiriah yang baik namun perlu juga ditunjang sikap, mental kepribadian dan pengetahuan yang mumpuni dalam mengimplementasikan kualifikasi seni memimpin dalam entitas masyarakat di mana dia berkarya setelah menamatkan sekolahnya di lembah manglayang ini. Kebutuhan tersebut juga terserap ke dalam inisiasi para founding father sekolah kepamongan yang pada awalnya bernama APDN. Sekolah kepamongan pertama tersebut tersebar di beberapa wilayah di Indonesia yang kemudian dilebur menjadi APDN Nasional. Kemudian pada tahun 1992 secara resmi didirikan STPDN yang merupakan cikal bakal sekolah yang kini bernama IPDN. Sejak ditetapkannya penggantian nama STPDN menjadi IPDN pada akhir 2004 silam, sejumlah peristiwa sempat mewarnai perjalanan lembaga kedinasan ini, tidak kurang sosok yang telah hilir mudik dengan berbagai kebijakannya beserta instrumen yang mendukung berlangsungnya proses pembelajaran dalam terciptanya seorang putra bangsa menjadi kesatria manglayang yang berada di bawah panji Departemen Dalam Negeri.
Dewasa ini, segenap kebijakan baru telah ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia, Menteri Dalam Negeri dan menyusul sejumlah peraturan keputusan Rektor Institut Pemerintahan Dalam Negeri dibakukan untuk memantapkan tetap eksisnya lembaga ini. Ditemui di ruangannya, Rektor IPDN, Prof.DR.Drs.H. I Nyoman Sumariadi, M.Si. pada Senin 2 Januari 2009, menerangkan bahwa IPDN ke depannya adalah sebuah lembaga pendidikan tinggi kedinasan kepamongprajaan yang merupakan pencetak sumber daya manusia aparatur pemerintahan dalam negeri yang mampu diandalkan, dengan sejumlah peraturan yang baru dan bermatra pada tiga hal, yaitu dignity, friendship, dan obeydience (berbudi pekerti luhur, berhubungan kolegial silih asah-asih-asuh antar keluarga civitas akademika, dan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku). Selain tiga matra yang merupakan landasan dasar kerakteristik yang ditanamkan di kampus ini, telah diatur juga mengenai peraturan penunjang operasional kehidupan civitas akademika, antara lain Perpres No. 1 Tahun 2009 tentang kegiatan pendidikan kepamongprajaan yang mengatur tentang format IPDN ke depan, Permendagri No. 36 Tahun 2009 tanggal 28 Agustus 2009 tentang statuta IPDN, Permendagri No. 39 Tahun 2009 tentang Organisasi Tata Kerja IPDN. Berawal dari peraturan tersebut kemudian disusun pula Permendagri No. 40 Tahun 2009 mengatur tentang pembinaan praja pengganti dari Kepmendagri No. 19 Tahun 2003, peraturan kedisiplinan praja IPDN diatur berdasarkan Permendagri No. 41 Tahun 2009 tanggal 28 Agustus 2009, selain itu instrumen Menteri Dalam Negeri yang lain adalah Permendagri No. 45 Tahun 2009 tentang standar kompetensi pengasuh, dan Petadupra (Peraturan Tata Kehidupan Praja) IPDN diatur dengan Permendagri No. 46 Tahun 2009 tanggal 29 Sepetember 2009.
Kemudian yang tidak kalah pentingnya dijelaskan pula mengenai operasional kegiatan IPDN yang tertuang dalam Rencana Induk Pengembangan IPDN diatur dalam Permendagri No. 48 Tahun 2009 tanggal 7 Oktober 2009, dan tentang Kurikulum Program D-IV IPDN selanjutnya diatur dengan Permendagri No. 51 Tahun 2009 tanggal 19 Oktober 2009 dari sejumlah peraturan yang telah ditetapkan sebagai instrumen pendidikan di IPDN, harus disesuaikan juga sejumlah Peraturan Rektor dan tiga buah Permendagri, untuk menunjang kegiatan operasional IPDN.
Rencana Induk Pengembangan IPDN merupakan tahapan pelaksanaan dari arah tujuan perencanaan program IPDN ke depannya. Di dalamnya terdapat serangkaian hal yang terkait dengan materi pendidikan kepamongprajaan, antara lain mengenai falsafah pendidikan, pokok-pokok pendidikan, makna, tujuan, dan asas kepamongprajaan, pedoman pelaksanaan, ditambah dengan kerangka pokok pendidikan, termasuk di dalamnya latar belakang, maksud dan tujuan, ruang lingkup pendidikan, evaluasi, kurikulum dan dasar hukum dilakukannya ketentuan tersebut. Pada sistem pendidikan kepamongprajaan terdapat materi isi yaitu standar isi materi kepamongprajaan yang terdiri dari pembentukan kader pamongpraja, pembinaan Bhinneka Tunggal Ika, pengimplementasian Ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk itu perlu adanya standar yang terdiri dari 5 hal pokok:
1. Standar proses pembelajaran (interaksi edukatif praja dengan kondisi lingkungan tempat belajar):
a. Proses pembelajaran oleh pendidik;
b. Kegiatan wajib praja;
c. Tingkat kedalaman materi;
d. Lingkungan akademik
2. Standar kompetensi lulusan akademik:
a. Sarjana;
b. Program PascaSarjana;
c. Program Doktor;
d. Program evokasi(DI, DII, DIII, DIV)
3. Standar pendidik yang ada,
4. Standar Sarana, dan Prasarana,
5. Standar pengelolaan,
6. Standar Pembiayaan, dan Kelengkapan.
Selain itu terdapat beberapa ketentuan yang mengatur tentang validasi dan pengembangan, yaitu tahapan di mana kegiatan seperti antara lain:
1. PPL 1, PPL 2, dan PPL 3, dilakukan;
2. Konsep Kampus Terpadu, di mana rencana induk pengembangan tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan dinamika kebutuhan masyarakat.
Lebih lanjut rektor menjelaskan tentang penempatan purna praja seteh lulus dari lembaga ini, menurut beliau bahwa penempatan praja yang telah menyelesaikan masa pendidik an di lembaga ini adalah di seluruh wilayah Indonesia artinya praja yang awalnya berasal daerah ‘A’ mendapat kesempatan untuk bekerja di pemda daerah lain di seluruh wilayah Indonesia selain daerah ‘A’, hal tersebut tertuang dalam statuta IPDN yang resmi dan baku. Selain itu dijelaskan juga bahwasannya IPDN kini adalah sekolah dengan format baru dan semua peranti instrumen yang mengaturnya telah diformat ulang. “Kita start dengan instrumen baru yang ditetapkan beberapa bualn sebelumnya. Selanjutnya yang harus dilakukan praja adalah dengan melakukan adaptasi terhadap sistem format baru pendidikan di IPDN ini, konsentrasi belajar, berjuang, dan berusahalah dengan sistem yang baru beliau percaya keadaan yang nantinya akan terwujud menjadi lebih kondusif karena terbatasnya waktu yang dimiliki untuk menyelesaikan semua tugas kuliah dan kegiatan akademik yang ada sehingga kemungkinan terjadinya tindakan kekerasan dapat diantisipasi, “Misalnya dari kurikulum pengajaran dibebankan 157 SKS dan ditambah dengan 57 SKS pada pelatihan dan kegiatan ekstrakurikuler, ini sangat padat”. Selain itu juga ditekankan bahwa ke depannya masalah pembinaan dilakukan sepenuhnya oleh Pembina atau pengasuh bukan oleh praja dengan tingkat lebih tinggi terhadap adik tingkatnya, seperti misalnya pada saat pelaksanaan apel, dan kegiatan lainnya yang ke depannya akan diambil alih oleh pihak yang memang diperuntukan untuk itu.
Terkait dengan masalah unit kegiatan praja, beliau menerangkan kebijakan yang dapat dilakukan sepenuhnya terhadap kemajuan bakat dan menunjang minat praja, seperti misal Marching Band Gita Abdi Praja saat disebut oleh reporter tentang keberadaannya yang kini menunggu kebijakan spesifik lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa pada tahun mendatang tapatnya pada 2010, telah dianggarkan dana sebesar Rp 1 M untuk revitalisasi alat marching band yang telah berusia lebih dari dua dasa warsa itu. Tidak lupa juga disinggung mengenai jenjang karier praja dalam hal ini setelah lulus dari IPDN, beliau menepis semua animo selentingan negatif terhadap prospek lulusan kartika astabrata yang dinilai kurang mendapat kesempatan yang seimbang dengannya jika dibandingkan dengan lulusan sekolah tinggi kedinasan yang sama dengan IPDN beliau menegaskan bahwa lulusan IPDN yang berkesempatan meniti karier dengan baik adalah sosok yang memang berkompeten menjadi kader pemimpin bangsa karena pada saat pendidikan telah dibekali ilmu yang baik, lingkungan yang mendukung dan proses pendewasaan yang menguatkan mental juang purna tadi agar siap menghadapi semua jenis tantangan yang dihadapi di luar.
Penutup petikan wawancara reporter APN dengan rektor IPDN diakhiri dengan sebuah bahasan pamungkas yaitu ”apa harapan bapak terhadap IPDN ke depannya?” beliau menjawab dengan memberikan analogi, ”lembaga IPDN adalah lembaga pendidik yang mencetak kader aparatur pemerintahan dalam negeri yang memiliki integritas, loyalitas dan kerespekan yang bisa dibanggakan. Di samping itu dengan performance yang baik menjadi penunjang pelaksanaan tugas di lapangan sehingga menjadi suatu sinergi yang baik untuk menunjang pembangunan daerah dan melakukan pengabdian kepada msyarakat. Semoga asas tersebut mampu diserap oleh lulusan IPDN ke depannya.”
Dewasa ini, segenap kebijakan baru telah ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia, Menteri Dalam Negeri dan menyusul sejumlah peraturan keputusan Rektor Institut Pemerintahan Dalam Negeri dibakukan untuk memantapkan tetap eksisnya lembaga ini. Ditemui di ruangannya, Rektor IPDN, Prof.DR.Drs.H. I Nyoman Sumariadi, M.Si. pada Senin 2 Januari 2009, menerangkan bahwa IPDN ke depannya adalah sebuah lembaga pendidikan tinggi kedinasan kepamongprajaan yang merupakan pencetak sumber daya manusia aparatur pemerintahan dalam negeri yang mampu diandalkan, dengan sejumlah peraturan yang baru dan bermatra pada tiga hal, yaitu dignity, friendship, dan obeydience (berbudi pekerti luhur, berhubungan kolegial silih asah-asih-asuh antar keluarga civitas akademika, dan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku). Selain tiga matra yang merupakan landasan dasar kerakteristik yang ditanamkan di kampus ini, telah diatur juga mengenai peraturan penunjang operasional kehidupan civitas akademika, antara lain Perpres No. 1 Tahun 2009 tentang kegiatan pendidikan kepamongprajaan yang mengatur tentang format IPDN ke depan, Permendagri No. 36 Tahun 2009 tanggal 28 Agustus 2009 tentang statuta IPDN, Permendagri No. 39 Tahun 2009 tentang Organisasi Tata Kerja IPDN. Berawal dari peraturan tersebut kemudian disusun pula Permendagri No. 40 Tahun 2009 mengatur tentang pembinaan praja pengganti dari Kepmendagri No. 19 Tahun 2003, peraturan kedisiplinan praja IPDN diatur berdasarkan Permendagri No. 41 Tahun 2009 tanggal 28 Agustus 2009, selain itu instrumen Menteri Dalam Negeri yang lain adalah Permendagri No. 45 Tahun 2009 tentang standar kompetensi pengasuh, dan Petadupra (Peraturan Tata Kehidupan Praja) IPDN diatur dengan Permendagri No. 46 Tahun 2009 tanggal 29 Sepetember 2009.
Kemudian yang tidak kalah pentingnya dijelaskan pula mengenai operasional kegiatan IPDN yang tertuang dalam Rencana Induk Pengembangan IPDN diatur dalam Permendagri No. 48 Tahun 2009 tanggal 7 Oktober 2009, dan tentang Kurikulum Program D-IV IPDN selanjutnya diatur dengan Permendagri No. 51 Tahun 2009 tanggal 19 Oktober 2009 dari sejumlah peraturan yang telah ditetapkan sebagai instrumen pendidikan di IPDN, harus disesuaikan juga sejumlah Peraturan Rektor dan tiga buah Permendagri, untuk menunjang kegiatan operasional IPDN.
Rencana Induk Pengembangan IPDN merupakan tahapan pelaksanaan dari arah tujuan perencanaan program IPDN ke depannya. Di dalamnya terdapat serangkaian hal yang terkait dengan materi pendidikan kepamongprajaan, antara lain mengenai falsafah pendidikan, pokok-pokok pendidikan, makna, tujuan, dan asas kepamongprajaan, pedoman pelaksanaan, ditambah dengan kerangka pokok pendidikan, termasuk di dalamnya latar belakang, maksud dan tujuan, ruang lingkup pendidikan, evaluasi, kurikulum dan dasar hukum dilakukannya ketentuan tersebut. Pada sistem pendidikan kepamongprajaan terdapat materi isi yaitu standar isi materi kepamongprajaan yang terdiri dari pembentukan kader pamongpraja, pembinaan Bhinneka Tunggal Ika, pengimplementasian Ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk itu perlu adanya standar yang terdiri dari 5 hal pokok:
1. Standar proses pembelajaran (interaksi edukatif praja dengan kondisi lingkungan tempat belajar):
a. Proses pembelajaran oleh pendidik;
b. Kegiatan wajib praja;
c. Tingkat kedalaman materi;
d. Lingkungan akademik
2. Standar kompetensi lulusan akademik:
a. Sarjana;
b. Program PascaSarjana;
c. Program Doktor;
d. Program evokasi(DI, DII, DIII, DIV)
3. Standar pendidik yang ada,
4. Standar Sarana, dan Prasarana,
5. Standar pengelolaan,
6. Standar Pembiayaan, dan Kelengkapan.
Selain itu terdapat beberapa ketentuan yang mengatur tentang validasi dan pengembangan, yaitu tahapan di mana kegiatan seperti antara lain:
1. PPL 1, PPL 2, dan PPL 3, dilakukan;
2. Konsep Kampus Terpadu, di mana rencana induk pengembangan tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan dinamika kebutuhan masyarakat.
Lebih lanjut rektor menjelaskan tentang penempatan purna praja seteh lulus dari lembaga ini, menurut beliau bahwa penempatan praja yang telah menyelesaikan masa pendidik an di lembaga ini adalah di seluruh wilayah Indonesia artinya praja yang awalnya berasal daerah ‘A’ mendapat kesempatan untuk bekerja di pemda daerah lain di seluruh wilayah Indonesia selain daerah ‘A’, hal tersebut tertuang dalam statuta IPDN yang resmi dan baku. Selain itu dijelaskan juga bahwasannya IPDN kini adalah sekolah dengan format baru dan semua peranti instrumen yang mengaturnya telah diformat ulang. “Kita start dengan instrumen baru yang ditetapkan beberapa bualn sebelumnya. Selanjutnya yang harus dilakukan praja adalah dengan melakukan adaptasi terhadap sistem format baru pendidikan di IPDN ini, konsentrasi belajar, berjuang, dan berusahalah dengan sistem yang baru beliau percaya keadaan yang nantinya akan terwujud menjadi lebih kondusif karena terbatasnya waktu yang dimiliki untuk menyelesaikan semua tugas kuliah dan kegiatan akademik yang ada sehingga kemungkinan terjadinya tindakan kekerasan dapat diantisipasi, “Misalnya dari kurikulum pengajaran dibebankan 157 SKS dan ditambah dengan 57 SKS pada pelatihan dan kegiatan ekstrakurikuler, ini sangat padat”. Selain itu juga ditekankan bahwa ke depannya masalah pembinaan dilakukan sepenuhnya oleh Pembina atau pengasuh bukan oleh praja dengan tingkat lebih tinggi terhadap adik tingkatnya, seperti misalnya pada saat pelaksanaan apel, dan kegiatan lainnya yang ke depannya akan diambil alih oleh pihak yang memang diperuntukan untuk itu.
Terkait dengan masalah unit kegiatan praja, beliau menerangkan kebijakan yang dapat dilakukan sepenuhnya terhadap kemajuan bakat dan menunjang minat praja, seperti misal Marching Band Gita Abdi Praja saat disebut oleh reporter tentang keberadaannya yang kini menunggu kebijakan spesifik lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa pada tahun mendatang tapatnya pada 2010, telah dianggarkan dana sebesar Rp 1 M untuk revitalisasi alat marching band yang telah berusia lebih dari dua dasa warsa itu. Tidak lupa juga disinggung mengenai jenjang karier praja dalam hal ini setelah lulus dari IPDN, beliau menepis semua animo selentingan negatif terhadap prospek lulusan kartika astabrata yang dinilai kurang mendapat kesempatan yang seimbang dengannya jika dibandingkan dengan lulusan sekolah tinggi kedinasan yang sama dengan IPDN beliau menegaskan bahwa lulusan IPDN yang berkesempatan meniti karier dengan baik adalah sosok yang memang berkompeten menjadi kader pemimpin bangsa karena pada saat pendidikan telah dibekali ilmu yang baik, lingkungan yang mendukung dan proses pendewasaan yang menguatkan mental juang purna tadi agar siap menghadapi semua jenis tantangan yang dihadapi di luar.
Penutup petikan wawancara reporter APN dengan rektor IPDN diakhiri dengan sebuah bahasan pamungkas yaitu ”apa harapan bapak terhadap IPDN ke depannya?” beliau menjawab dengan memberikan analogi, ”lembaga IPDN adalah lembaga pendidik yang mencetak kader aparatur pemerintahan dalam negeri yang memiliki integritas, loyalitas dan kerespekan yang bisa dibanggakan. Di samping itu dengan performance yang baik menjadi penunjang pelaksanaan tugas di lapangan sehingga menjadi suatu sinergi yang baik untuk menunjang pembangunan daerah dan melakukan pengabdian kepada msyarakat. Semoga asas tersebut mampu diserap oleh lulusan IPDN ke depannya.”
Praja! Ngapain aja???
Di luar sana banyak berbagai permasalahan internal bangsa yang belum terselesaikan. Sekelompok mahasiswa rela turun ke aspal panas demi menggaungkan ketidakadilan yang terjadi di kalangan rakyat jelata. Sudah merupakan hal yang biasa jika mereka terlihat sedang adu urat dengan para aparat. Karena demi rakyat mereka rela berbuat. Kumpulan aktivis sosial yang tergabung dalam ormas-ormas, tidak pernah berhenti meneriakkan segala bentuk kepincangan sosial. Tanpa upah ataupun uang lelah, mereka tetap eksis merangkul individu-individu lain agar segera menyadari bahwa lingkungan kita sedang membutuhkan perhatian.
Ada orang-orang yang tidak mau tinggal diam melihat ada maling duit rakyat yang dibiarkan bebas. Ada yang mengikhlaskan separuh harta mereka untuk berderma demi berdayakan masyarakat. Ada yang ketika malam tidak bisa tidur hanya karena mengetahui bahwa di luar sana tidak semua orang bisa rasakan keadilan secara merata. Banyak permasalahan sosial bangsa yang selama ini hanya diperhatikan dan dipikirkan oleh segelintir orang saja.
Bisa jadi itulah salah satu penyebab mengapa permasalahan Indonesia yang tidak jauh dari kata-kata sejahtera belum selesai juga hingga sekarang. Karena hanya sedikit orang yang mau mengerahkan semangat dan energi mereka untuk bergerak, untuk mencari solusi atas permasalahan bangsa. Sementara yang lain . . . apatis.
Orang-orang di luar sana harus berjuang antara hidup dan mati demi mencukupi kehidupan mereka. Kesenjangan semakin jelas ketika kita temukan ada sebagian orang-orang “berdasi” yang tanpa rasa bersalah justru berfoya-foya atas rezeki mereka. Sungguh ironis. Apatisme mulai meraja dan rasa keakuan sudah sukar untuk dibendung. Masing-masing selalu ingin menjadi pihak yang diuntungkan, tidak mau berbagi, cenderung cuek pada kesenjangan di sekitar.
Lantas bagaimana dengan Praja??? Di kesatrian ini, kata apatis adalah salah satu kata yang harus dihindari oleh Praja. Di sini kita dididik bukan untuk apatis. Hal ini berkaitan dengan karakter dasar seorang Pamong, yaitu tidak apatis. Seorang Pamong harus dikenal sekaligus mengenal.
Mengamati kehidupan Praja dan bukan bermaksud nyolot, mahasiswa luar lebih proaktif dalam menyambung lidah rakyat. seperti yang telah disebutkan tadi, ada di kalangan mereka yang turun ke jalan untuk membangkitkan kepedulian setiap individu untuk peduli terhadap permasalahan bangsa. Mereka lakukan itu dengan berbagai gaya. Menjahit mulut mereka, jalan jongkok di jalan raya, melakukan kegiatan teaterikal, menggalang dukungan, dan lain sebagainya.
Mengenai alasan mereka melakukan itu, memang cenderung bervariasi. Bisa jadi karena ada kesamaan pola kehidupan antara mereka dengan rakyat jelata. Rakyat jelata yang hidup serba kekurangan mungkin segaris dengan kehidupan mereka para mahasiswa, yang identik dengan gaya hidup yang (maaf) umumnya pas-pasan. Jadi, mahasiswa punya dasar kuat untuk membela kepentingan rakyat. Karena di sisi lain mereka juga memiliki sedikit kesamaan kepentingan dengan para rakyat jelata. Tidak sedikit pula dari mereka yang berkecukupan tapi tetap memiliki kepedulian terhadap penderitaan rakyat. Maka tanpa pamrih pun mereka tetap bersedia turun ke jalan untuk kepentingan rakyat.
Praja. Tidak perlu ditanyakan kesejahteraannya. Makan ditraktir rakyat, tidur dibiayai rakyat, listrik dibayarin rakyat, hampir semua kebutuhan vital didukung sepenuhnya oleh rakyat. Apakah segala kenikmatan itu telah membuat Praja lupa dengan jasa-jasa bangsa ini? Apakah kenikmatan itu yang membuat Praja belum bisa merasakan bagaimana sakitnya hidup serba kekurangan? Sehingga belum ada tanda-tanda kemunculan sebuah pemikiran untuk menghargai kemurahan hati rakyat. Padahal kenikmatan yang dimanfaatkan selama ini berasal dari pengorbanan rakyat dan rakyat melakukan itu juga dengan harapan bahwa suatu hari nanti lembaga pendidikan ini bisa melahirkan output-output yang bisa diandalkan. Diandalkan oleh rakyat. Diandalkan untuk membela kepentingan rakyat.
Benarkah Praja belum bisa merasakan putus nyambungnya harapan rakyat dalam memenuhi tuntutan kerasnya hidup? Hingga pengorbanan rakyat hanya dianggap angin lalu bagi para Praja? Selama ini kita hanya diributkan dengan masalah lintas kontingen, cekcok antar kontingen, uang saku, jenis kain PDH, bagaimana cara membina junior, pelambung, . . . ok, itu tradisi. Ok, itu tuntutan yang harus dipenuhi. Tapi mestinya kita bisa bersikap lebih dewasa, bahwa ada yang lebih penting dibandingkan itu semua. Ada yang lebih penting dibandingkan kita harus menyibukkan diri dengan membuat ulah yang hanya akan merusak nama baik kontingen pada khususnya dan nama baik Lembaga pada umumnya.
Setidaknya kita menyadari bahwa apa yang kita dapatkan ini berasal dari orang-orang yang hidupnya . . . terombang-ambing dalam lautan luas yang disertai badai. Keras. Tidak usah mengaku-ngaku hidup kita di sini lebih keras. Apa perlu nasib kita ini ditukar dengan nasib orang-orang dengan pakaian yang belum bisa dikatakan layak, orang-orang yang sehari-harinya mengumpulkan “daki” hanya untuk segenggam rezeki? Kita semua punya ego. Bukan suatu hal yang merugikan apabila kita redam ego masing-masing untuk belajar mengerti bahwa ada orang-orang yang rela berkorban demi kita. Pikirkan! Adakah terbersit niat tulus dalam hati kita untuk tidak menyia-nyiakan kepercayaan mereka? Mereka mungkin belum tahu soal ini dan kita sejak pertama datang ke sini sudah diberitahu bahwa semua ini berasal dari mereka. Apa kita tega dengan angkuhnya cuek terhadap pengorbanan mereka.
Setidaknya, kalau kita belum punya usaha untuk membalas budi mereka, paling tidak kita berusaha untuk menjaga amanah mereka. Tunjukan yang terbaik. Tunjukan kalau kita serius jadi kebanggan mereka. Mungkin kita tak mesti langsung turun ke jalan dan berteriak-teriak agar harga segera diturunkan, agar global warming dikurangi, agar korupsi segera dilenyapkan, agar pornografi dan pornoaksi segera dihentikan. Tapi, minimal kita berusaha untuk tidak menyia-nyiakan harapan mereka jika kelak rakyat mempercayakan kita untuk memimpin mereka.***norm.
Ada orang-orang yang tidak mau tinggal diam melihat ada maling duit rakyat yang dibiarkan bebas. Ada yang mengikhlaskan separuh harta mereka untuk berderma demi berdayakan masyarakat. Ada yang ketika malam tidak bisa tidur hanya karena mengetahui bahwa di luar sana tidak semua orang bisa rasakan keadilan secara merata. Banyak permasalahan sosial bangsa yang selama ini hanya diperhatikan dan dipikirkan oleh segelintir orang saja.
Bisa jadi itulah salah satu penyebab mengapa permasalahan Indonesia yang tidak jauh dari kata-kata sejahtera belum selesai juga hingga sekarang. Karena hanya sedikit orang yang mau mengerahkan semangat dan energi mereka untuk bergerak, untuk mencari solusi atas permasalahan bangsa. Sementara yang lain . . . apatis.
Orang-orang di luar sana harus berjuang antara hidup dan mati demi mencukupi kehidupan mereka. Kesenjangan semakin jelas ketika kita temukan ada sebagian orang-orang “berdasi” yang tanpa rasa bersalah justru berfoya-foya atas rezeki mereka. Sungguh ironis. Apatisme mulai meraja dan rasa keakuan sudah sukar untuk dibendung. Masing-masing selalu ingin menjadi pihak yang diuntungkan, tidak mau berbagi, cenderung cuek pada kesenjangan di sekitar.
Lantas bagaimana dengan Praja??? Di kesatrian ini, kata apatis adalah salah satu kata yang harus dihindari oleh Praja. Di sini kita dididik bukan untuk apatis. Hal ini berkaitan dengan karakter dasar seorang Pamong, yaitu tidak apatis. Seorang Pamong harus dikenal sekaligus mengenal.
Mengamati kehidupan Praja dan bukan bermaksud nyolot, mahasiswa luar lebih proaktif dalam menyambung lidah rakyat. seperti yang telah disebutkan tadi, ada di kalangan mereka yang turun ke jalan untuk membangkitkan kepedulian setiap individu untuk peduli terhadap permasalahan bangsa. Mereka lakukan itu dengan berbagai gaya. Menjahit mulut mereka, jalan jongkok di jalan raya, melakukan kegiatan teaterikal, menggalang dukungan, dan lain sebagainya.
Mengenai alasan mereka melakukan itu, memang cenderung bervariasi. Bisa jadi karena ada kesamaan pola kehidupan antara mereka dengan rakyat jelata. Rakyat jelata yang hidup serba kekurangan mungkin segaris dengan kehidupan mereka para mahasiswa, yang identik dengan gaya hidup yang (maaf) umumnya pas-pasan. Jadi, mahasiswa punya dasar kuat untuk membela kepentingan rakyat. Karena di sisi lain mereka juga memiliki sedikit kesamaan kepentingan dengan para rakyat jelata. Tidak sedikit pula dari mereka yang berkecukupan tapi tetap memiliki kepedulian terhadap penderitaan rakyat. Maka tanpa pamrih pun mereka tetap bersedia turun ke jalan untuk kepentingan rakyat.
Praja. Tidak perlu ditanyakan kesejahteraannya. Makan ditraktir rakyat, tidur dibiayai rakyat, listrik dibayarin rakyat, hampir semua kebutuhan vital didukung sepenuhnya oleh rakyat. Apakah segala kenikmatan itu telah membuat Praja lupa dengan jasa-jasa bangsa ini? Apakah kenikmatan itu yang membuat Praja belum bisa merasakan bagaimana sakitnya hidup serba kekurangan? Sehingga belum ada tanda-tanda kemunculan sebuah pemikiran untuk menghargai kemurahan hati rakyat. Padahal kenikmatan yang dimanfaatkan selama ini berasal dari pengorbanan rakyat dan rakyat melakukan itu juga dengan harapan bahwa suatu hari nanti lembaga pendidikan ini bisa melahirkan output-output yang bisa diandalkan. Diandalkan oleh rakyat. Diandalkan untuk membela kepentingan rakyat.
Benarkah Praja belum bisa merasakan putus nyambungnya harapan rakyat dalam memenuhi tuntutan kerasnya hidup? Hingga pengorbanan rakyat hanya dianggap angin lalu bagi para Praja? Selama ini kita hanya diributkan dengan masalah lintas kontingen, cekcok antar kontingen, uang saku, jenis kain PDH, bagaimana cara membina junior, pelambung, . . . ok, itu tradisi. Ok, itu tuntutan yang harus dipenuhi. Tapi mestinya kita bisa bersikap lebih dewasa, bahwa ada yang lebih penting dibandingkan itu semua. Ada yang lebih penting dibandingkan kita harus menyibukkan diri dengan membuat ulah yang hanya akan merusak nama baik kontingen pada khususnya dan nama baik Lembaga pada umumnya.
Setidaknya kita menyadari bahwa apa yang kita dapatkan ini berasal dari orang-orang yang hidupnya . . . terombang-ambing dalam lautan luas yang disertai badai. Keras. Tidak usah mengaku-ngaku hidup kita di sini lebih keras. Apa perlu nasib kita ini ditukar dengan nasib orang-orang dengan pakaian yang belum bisa dikatakan layak, orang-orang yang sehari-harinya mengumpulkan “daki” hanya untuk segenggam rezeki? Kita semua punya ego. Bukan suatu hal yang merugikan apabila kita redam ego masing-masing untuk belajar mengerti bahwa ada orang-orang yang rela berkorban demi kita. Pikirkan! Adakah terbersit niat tulus dalam hati kita untuk tidak menyia-nyiakan kepercayaan mereka? Mereka mungkin belum tahu soal ini dan kita sejak pertama datang ke sini sudah diberitahu bahwa semua ini berasal dari mereka. Apa kita tega dengan angkuhnya cuek terhadap pengorbanan mereka.
Setidaknya, kalau kita belum punya usaha untuk membalas budi mereka, paling tidak kita berusaha untuk menjaga amanah mereka. Tunjukan yang terbaik. Tunjukan kalau kita serius jadi kebanggan mereka. Mungkin kita tak mesti langsung turun ke jalan dan berteriak-teriak agar harga segera diturunkan, agar global warming dikurangi, agar korupsi segera dilenyapkan, agar pornografi dan pornoaksi segera dihentikan. Tapi, minimal kita berusaha untuk tidak menyia-nyiakan harapan mereka jika kelak rakyat mempercayakan kita untuk memimpin mereka.***norm.
Alat-Alat GAP, Kemanakah Kalian?
Gema nada beralun gempita menghiasi lapangan parade yang ditempati ribuan praja yang dikukuhkan. Upacara yang yang sakral ini diikuti oleh tidak kurang seribulimaratus praja yang duduk di tingkat empat. Terasa khidmat. Terasa berbeda. Memang dapat diakui pengukuhan tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tidak Muda Praja, Tidak Madya praja, dan tidak pula Nindya Praja yang memainkan instrumen drumband dalam pengukuhan kali ini. Namun, wasana praja lah yang memainkan alat-alat musik tersebut. Hal ini dikarenakan adanya cuti yang diberikan kepada madya praja, sehingga wasana praja lah yang mengiringi angkatan mereka sendiri saat pengukuhan dilaksanakan. Meski harus kembali ‘terjun’, personil drumband Gita Abdi Praja angkatan XVIII terlihat antusias dalam memainkan ritme lagu demi lagu secara serempak.
Namun keriuhan pengukuhan pamong praja muda angkatan XVIII tadi menyisakan permasalahan panjang. Usai acara pengukuhan dan kembalinya madya praja dari cuti, terdapat berbagai kendala dalam pelaksanaan latihan drumband Gita Abdi Praja. Ini dikarenakan oleh banyaknya alat yang rusak, bahkan hilang setelah pelaksanaan acara pengukuhan. Selain factor usia yang telah tua dan ada beberapa bagian instrumen yang tidak diketemukan, disinyalir kurangnya kontrol serta kecerobohan dalam memainkan alat pun ambil bagian dalam kasus tersebut. Seusai pengukuhan, alat-alat GAP memang disimpan di dalam ruang pengasuhan tetapi saat pendataan kembali, kondisinya sudah berbeda. Hal ini tentu membuat kecewa pelatih dan anggota drumband GAP angkatan XIX yang baru saja selesai melaksanakan cuti di daerah. Walau demikian para personil drumband GAP tetap melaksanakan latihan dengan alat yang masih berfungsi dengan baik. Keadaan ini juga tidak mengurangi motivasi para anggota GAP , mereka tetap bersemangat latihan. Kecintaan terhadap drumband GAP, memotivasi mereka untuk terus berlatih, berlatih, dan berlatih.
Hasilnya, pada pengukuhan muda praja angkatan XX drumband GAP angkatan XIX pun mengiringi jalannya acara. Oleh karena itu setelah acara pengukuhan yang berjalan lancar, upaya-upaya perubahan mendasar sebaiknya dilakukan. Terpetik kabar bahwa Bagian Minat dan Bakat sedang mengusahakan sekuat tenaga agar alat-alat drumband yang lama dapat diganti dengan alat-alat baru. Kabar ini tentu menggembirakan kita semua, tak pelak kita pun turut berdoa semoga pihak lembaga dapat merespon hal ini dengan cepat supaya para anggota drumband GAP dapat berlatih secara maksimal serta dapat memberikan persembahan terbaik bagi lembaga tercinta IPDN ini. Sehingga tidak hanya civitas akademika IPDN saja yang dapat menikmati alunan nada drumband Gita Abdi Praja, namun juga masyarakat umum diharapkan dapat berbangga hati melihat kreativitas praja IPDN dalam memainkan alat-alat music yang terintegrasi dengan ritme dan tempo apik serta slogan ini dapat membahana ke seluruh semesta…
Satu sikap, satu suara: Gita Abdi Praja!**text:iva_edited by: 19.0417
Namun keriuhan pengukuhan pamong praja muda angkatan XVIII tadi menyisakan permasalahan panjang. Usai acara pengukuhan dan kembalinya madya praja dari cuti, terdapat berbagai kendala dalam pelaksanaan latihan drumband Gita Abdi Praja. Ini dikarenakan oleh banyaknya alat yang rusak, bahkan hilang setelah pelaksanaan acara pengukuhan. Selain factor usia yang telah tua dan ada beberapa bagian instrumen yang tidak diketemukan, disinyalir kurangnya kontrol serta kecerobohan dalam memainkan alat pun ambil bagian dalam kasus tersebut. Seusai pengukuhan, alat-alat GAP memang disimpan di dalam ruang pengasuhan tetapi saat pendataan kembali, kondisinya sudah berbeda. Hal ini tentu membuat kecewa pelatih dan anggota drumband GAP angkatan XIX yang baru saja selesai melaksanakan cuti di daerah. Walau demikian para personil drumband GAP tetap melaksanakan latihan dengan alat yang masih berfungsi dengan baik. Keadaan ini juga tidak mengurangi motivasi para anggota GAP , mereka tetap bersemangat latihan. Kecintaan terhadap drumband GAP, memotivasi mereka untuk terus berlatih, berlatih, dan berlatih.
Hasilnya, pada pengukuhan muda praja angkatan XX drumband GAP angkatan XIX pun mengiringi jalannya acara. Oleh karena itu setelah acara pengukuhan yang berjalan lancar, upaya-upaya perubahan mendasar sebaiknya dilakukan. Terpetik kabar bahwa Bagian Minat dan Bakat sedang mengusahakan sekuat tenaga agar alat-alat drumband yang lama dapat diganti dengan alat-alat baru. Kabar ini tentu menggembirakan kita semua, tak pelak kita pun turut berdoa semoga pihak lembaga dapat merespon hal ini dengan cepat supaya para anggota drumband GAP dapat berlatih secara maksimal serta dapat memberikan persembahan terbaik bagi lembaga tercinta IPDN ini. Sehingga tidak hanya civitas akademika IPDN saja yang dapat menikmati alunan nada drumband Gita Abdi Praja, namun juga masyarakat umum diharapkan dapat berbangga hati melihat kreativitas praja IPDN dalam memainkan alat-alat music yang terintegrasi dengan ritme dan tempo apik serta slogan ini dapat membahana ke seluruh semesta…
Satu sikap, satu suara: Gita Abdi Praja!**text:iva_edited by: 19.0417
Keteladanan, Masihkah ada?
Sebuah retorika klise kembali menggema di kampus Manglayang ini. Sebuah pertanyaan kembali mengusik ketika kehadiran angkatan baru dua puluh akan mengisi hari-hari dalam suasana sekolah pamong, yakni: “masih adakah keteladanan?” Keteladanan untuk bekal eksistensi Sekolah Pamong Praja. Ya, berbicara tentang keteladanan maka kita akan bersentuhan dengan persoalan klasik mengenai senioritas. Karena keteladanan identik dengan orang yang lebih tua yang (seharusnya) mencontohkan kebaikan kepada juniornya. Kenyataannya, keteladanan tidak selurus itu dan tidak sesederhana itu.
Boleh dikatakan, keteladanan adalah harga mati. Kalau sampai mata rantai keteladanan dari kakak tingkat itu putus, maka hidup atau tidaknya jiwa kepamongan dalam sekolah ini patut diragukan karena keteladanan adalah sebuah media untuk mengaktifkan aturan. Jika keteladanan itu luntur, aturan pun akan sulit untuk ditegakkan. Sedangkan terdapat satu hal yang perlu kita sadari bersama bahwa keteladanan dalam menjalankan aturan bukanlah hal yang mudah.
Sekarang, ketika kampus ini hanya dihuni oleh dua angkatan, ketika kampus ini memiliki kriteria penilaian A untuk mempraktekkan keteladanan karena ada junior dan senior beserta seabrek peraturan yang mengatur hubungan antar keduanya, ketika sekolah ini masih punya aturan, sekali lagi . . . ketika sekolah ini masih punya aturan. Toh tetap saja keteladanan begitu sukar untuk ditemukan, sukar untuk dilakukan, dan sukar untuk ditanamkan dalam jiwa. Keteladanan tidak melulu hanya digerakkan oleh senior. Semua pihak “bertanggung-jawab” dalam hal keteladanan, termasuk junior. Tapi tetap saja senior harus punya posisi selangkah lebih maju daripada junior dalam hal keteladanan. Hidup matinya keteladanan tergantung dari senior, bukan berarti junior dilarang terlibat. Bisa saja junior juga ikut andil, tapi resikonya mungkin mereka akan dikatakan sok-sokan. Nah, apakah hal itu akan kita biarkan terus menerus terjadi? Tidak, kan?
Apalagi kita hidup di kesatrian. Berarti kita adalah seorang satria. Berani mengakui kesalahan apalagi kebenaran. Jika itu harus diterapkan sebagai sebuah keteladanan tanpa harus takut dibilang sok-sokan, sok idealis. Tapi yang terpenting adalah niat tulus untuk merubah lembaga kita ke arah yang lebih baik. Hal ini adalah modal utama untuk membangunkan sikap keteladanan yang selama ini tidur panjang.
Dulu kekerasan memang di jadikan suplemen untuk mengabadikan keteladanan. Itu sukses membuat lembaga ini dicap sebagai sekolah yang menerapkan disiplin murni, bukan disiplin komando. Sekarang, katanya . . . sekali lagi katanya kekerasan itu sudah dibekukan dan digantikan dengan cara yang lebih persuasif. Sangat jelas sekali perbedaan outputnya antara keteladanan sebagai produk dari kekerasan dan keteladanan sebagai produk dari tanpa pemaksaan. Keteladanan persuasiflah yang sekarang dikampanyekan dan diharapkan dapat mendukung terjadinya perubahan paradigma. Sementara itu kekerasan yang mengakar dan mungkin masih melekat adalah PR bagi lembaga dan segenap civitas akademika Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Hal ini tentu akan memunculkan dilema, apakah dapat mempertahankan keteladanan dengan persuasif untuk perubahan paradigma tanpa menyentuh sebuah identitas sekolah kepamongan yang sudah dibentuk sedemikian penuh?
Kadang, jika dengan cara halus seperti itu aturan belum bisa tegak juga dengan keteladanan dari seorang kakak kepada seorang adik, maka solusi bodohnya adalah kekerasan. Jadilah aturan itu tegak bukan karena keteladanan, tapi karena ketakutan. Aturan hanya bisa tegak apabila mengingat sanksi sarkas dari senior. Bukan karena keikhlasan untuk melatih diri bagaimana caranya membentuk mental taat pada aturan.
Namun hal tersebut dapat diatasi bila kita meyakinkan diri dan bersikap optimis bahwa keteladanan tidaklah sulit diwujudkan dan hanya dapat diterapkan dengan cara kekerasan. Perlu digarisbawahi pula bahwa keteladanan pun dapat tercipta melalui jalur persuasif. Tidak perlu adanya pemukulan hanya untuk menerapkan aturan. Jalannya sebuah aturan lebih baik dengan pemberian motivasi bahwa menegakkan aturan akan menjaga diri kita. Memberi contoh terbaik kepada rekan seangkatan maupun adik kita sendiri dan membuktikan bahwa aturan akan membuat hidup jadi lebih indah, adalah metode yang paling sederhana.
Hal lain yang juga menjadi hambatan adalah ego. Ego terhadap hak yang selama ini seakan-akan dirampas. Padahal pada intinya adalah di sini, di lembaga ini terwujud pembentukan karakter seorang pamong karena pamong sangat dibutuhkan di Negara ini demi lancarnya penyelenggaraan pemerintahan dan sejahteranya masyarakat. Apa salahnya jika kita mengorbankan hak kita hanya untuk sementara untuk membangun karakter pamong dalam diri kita. Apa kita tidak bisa bersabar untuk mengutamakan kepentingan masyarakat? Seperti apa yang selama ini kita praktekkan dalam pelaksanaan upacara bendera, bersabar menanti tiap sesi upacara hingga selesai.
Selain itu, tidak semua aturan bisa diterima oleh Praja. Aturan yang didalangi oleh lembaga memang ada yang bertentangan dengan hati nurani setiap praja. Jadi, apakah hanya karena kurangnya penyesuaian para praja yang membuat nyawa melayang? Yang jelas, selucu, seaneh, dan sewajar apapun aturan yang ada di sini pasti memiliki segi positif yang tetap sama . . . tidak ada satu aturan pun yang menekan para praja untuk mengintimidasi sesama. Mudah sebetulnya, jika kita perlahan-lahan menghayati Panca Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia dan berusaha dengan ikhlas meredam ego kita selama pendidikan di sini, dan bukan berarti karena sekian lama pendidikan dengan aturan ketat dan menekan, tiba-tiba setelah selesai kita langsung membabi buta yang ujung-ujungnya berpotensi untuk mempermalukan nama lembaga. Justru keikhlasan itulah yang akan dapat melahirkan sebuah kebiasaan positif sebagai seorang pamong. Sehingga ketika kita sudah dianggap siap oleh lembaga ini untuk bermasyarakat secara utuh, kita akan mengatakan “beruntung kita pernah diajarkan berbagai hal yang terkadang membuat kita jenuh dan tertekan di sini, namun dibalik itu semua ternyata terdapat manfaat dan hikmahnya.”
Keteladanan untuk menegakkan aturan. Kita tentu berharap bahwa jangan sampai essensi dari keteladanan itu hilang. Terutama sebagai seorang kakak. Belajar memberikan input-input positif kepada adik-adiknya, bukan malah menanamkan keburukan. Apakah kita tega menghancurkan bibit-bibit terbaik harapan lembaga dan bangsa ini? Itu sama saja kita juga menghancurkan diri kita sendiri. Banyak contoh yang sudah terjadi di waktu-waktu silam. Tentu sangat tidak logis apabila kita ingin mengulangi kembali kepahitan itu.
Menghidupkan kembali aturan dengan menanamkan kembali keteladanan tanpa harus diprovokasi oleh kekerasan bukan perkara mudah, tapi apabila kita saling mendukung dengan memberikan contoh yang terbaik, penulis yakin nama baik lembaga yang pernah tercoreng akan pulih seperti sedia kala. Jadi, tunggu apalagi? Mari awali dari diri kita sendiri, dari hal yang paling kecil, dan tanpa perlu ditunda-tunda lagi! Sekarang ialah saatnya!***text by:norm & edited by:19.417
Boleh dikatakan, keteladanan adalah harga mati. Kalau sampai mata rantai keteladanan dari kakak tingkat itu putus, maka hidup atau tidaknya jiwa kepamongan dalam sekolah ini patut diragukan karena keteladanan adalah sebuah media untuk mengaktifkan aturan. Jika keteladanan itu luntur, aturan pun akan sulit untuk ditegakkan. Sedangkan terdapat satu hal yang perlu kita sadari bersama bahwa keteladanan dalam menjalankan aturan bukanlah hal yang mudah.
Sekarang, ketika kampus ini hanya dihuni oleh dua angkatan, ketika kampus ini memiliki kriteria penilaian A untuk mempraktekkan keteladanan karena ada junior dan senior beserta seabrek peraturan yang mengatur hubungan antar keduanya, ketika sekolah ini masih punya aturan, sekali lagi . . . ketika sekolah ini masih punya aturan. Toh tetap saja keteladanan begitu sukar untuk ditemukan, sukar untuk dilakukan, dan sukar untuk ditanamkan dalam jiwa. Keteladanan tidak melulu hanya digerakkan oleh senior. Semua pihak “bertanggung-jawab” dalam hal keteladanan, termasuk junior. Tapi tetap saja senior harus punya posisi selangkah lebih maju daripada junior dalam hal keteladanan. Hidup matinya keteladanan tergantung dari senior, bukan berarti junior dilarang terlibat. Bisa saja junior juga ikut andil, tapi resikonya mungkin mereka akan dikatakan sok-sokan. Nah, apakah hal itu akan kita biarkan terus menerus terjadi? Tidak, kan?
Apalagi kita hidup di kesatrian. Berarti kita adalah seorang satria. Berani mengakui kesalahan apalagi kebenaran. Jika itu harus diterapkan sebagai sebuah keteladanan tanpa harus takut dibilang sok-sokan, sok idealis. Tapi yang terpenting adalah niat tulus untuk merubah lembaga kita ke arah yang lebih baik. Hal ini adalah modal utama untuk membangunkan sikap keteladanan yang selama ini tidur panjang.
Dulu kekerasan memang di jadikan suplemen untuk mengabadikan keteladanan. Itu sukses membuat lembaga ini dicap sebagai sekolah yang menerapkan disiplin murni, bukan disiplin komando. Sekarang, katanya . . . sekali lagi katanya kekerasan itu sudah dibekukan dan digantikan dengan cara yang lebih persuasif. Sangat jelas sekali perbedaan outputnya antara keteladanan sebagai produk dari kekerasan dan keteladanan sebagai produk dari tanpa pemaksaan. Keteladanan persuasiflah yang sekarang dikampanyekan dan diharapkan dapat mendukung terjadinya perubahan paradigma. Sementara itu kekerasan yang mengakar dan mungkin masih melekat adalah PR bagi lembaga dan segenap civitas akademika Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Hal ini tentu akan memunculkan dilema, apakah dapat mempertahankan keteladanan dengan persuasif untuk perubahan paradigma tanpa menyentuh sebuah identitas sekolah kepamongan yang sudah dibentuk sedemikian penuh?
Kadang, jika dengan cara halus seperti itu aturan belum bisa tegak juga dengan keteladanan dari seorang kakak kepada seorang adik, maka solusi bodohnya adalah kekerasan. Jadilah aturan itu tegak bukan karena keteladanan, tapi karena ketakutan. Aturan hanya bisa tegak apabila mengingat sanksi sarkas dari senior. Bukan karena keikhlasan untuk melatih diri bagaimana caranya membentuk mental taat pada aturan.
Namun hal tersebut dapat diatasi bila kita meyakinkan diri dan bersikap optimis bahwa keteladanan tidaklah sulit diwujudkan dan hanya dapat diterapkan dengan cara kekerasan. Perlu digarisbawahi pula bahwa keteladanan pun dapat tercipta melalui jalur persuasif. Tidak perlu adanya pemukulan hanya untuk menerapkan aturan. Jalannya sebuah aturan lebih baik dengan pemberian motivasi bahwa menegakkan aturan akan menjaga diri kita. Memberi contoh terbaik kepada rekan seangkatan maupun adik kita sendiri dan membuktikan bahwa aturan akan membuat hidup jadi lebih indah, adalah metode yang paling sederhana.
Hal lain yang juga menjadi hambatan adalah ego. Ego terhadap hak yang selama ini seakan-akan dirampas. Padahal pada intinya adalah di sini, di lembaga ini terwujud pembentukan karakter seorang pamong karena pamong sangat dibutuhkan di Negara ini demi lancarnya penyelenggaraan pemerintahan dan sejahteranya masyarakat. Apa salahnya jika kita mengorbankan hak kita hanya untuk sementara untuk membangun karakter pamong dalam diri kita. Apa kita tidak bisa bersabar untuk mengutamakan kepentingan masyarakat? Seperti apa yang selama ini kita praktekkan dalam pelaksanaan upacara bendera, bersabar menanti tiap sesi upacara hingga selesai.
Selain itu, tidak semua aturan bisa diterima oleh Praja. Aturan yang didalangi oleh lembaga memang ada yang bertentangan dengan hati nurani setiap praja. Jadi, apakah hanya karena kurangnya penyesuaian para praja yang membuat nyawa melayang? Yang jelas, selucu, seaneh, dan sewajar apapun aturan yang ada di sini pasti memiliki segi positif yang tetap sama . . . tidak ada satu aturan pun yang menekan para praja untuk mengintimidasi sesama. Mudah sebetulnya, jika kita perlahan-lahan menghayati Panca Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia dan berusaha dengan ikhlas meredam ego kita selama pendidikan di sini, dan bukan berarti karena sekian lama pendidikan dengan aturan ketat dan menekan, tiba-tiba setelah selesai kita langsung membabi buta yang ujung-ujungnya berpotensi untuk mempermalukan nama lembaga. Justru keikhlasan itulah yang akan dapat melahirkan sebuah kebiasaan positif sebagai seorang pamong. Sehingga ketika kita sudah dianggap siap oleh lembaga ini untuk bermasyarakat secara utuh, kita akan mengatakan “beruntung kita pernah diajarkan berbagai hal yang terkadang membuat kita jenuh dan tertekan di sini, namun dibalik itu semua ternyata terdapat manfaat dan hikmahnya.”
Keteladanan untuk menegakkan aturan. Kita tentu berharap bahwa jangan sampai essensi dari keteladanan itu hilang. Terutama sebagai seorang kakak. Belajar memberikan input-input positif kepada adik-adiknya, bukan malah menanamkan keburukan. Apakah kita tega menghancurkan bibit-bibit terbaik harapan lembaga dan bangsa ini? Itu sama saja kita juga menghancurkan diri kita sendiri. Banyak contoh yang sudah terjadi di waktu-waktu silam. Tentu sangat tidak logis apabila kita ingin mengulangi kembali kepahitan itu.
Menghidupkan kembali aturan dengan menanamkan kembali keteladanan tanpa harus diprovokasi oleh kekerasan bukan perkara mudah, tapi apabila kita saling mendukung dengan memberikan contoh yang terbaik, penulis yakin nama baik lembaga yang pernah tercoreng akan pulih seperti sedia kala. Jadi, tunggu apalagi? Mari awali dari diri kita sendiri, dari hal yang paling kecil, dan tanpa perlu ditunda-tunda lagi! Sekarang ialah saatnya!***text by:norm & edited by:19.417
“Galuh” Dibalik Estetika Kearifan Lokal Sebuah Kerja Keras
Intan berlian, adalah salah satu jenis perhiasan yang tidak hanya memiliki nilai jual dan estetika, tetapi juga memiliki nilai-nilai luhur dari sebuah kerja keras. Faktor itulah yang menyebabkan harga nominal dari intan berlian tersebut masuk dalam kategori sangat mahal. Dikarenakan juga keberadaannya cukup langka. Berbagai macam jenis intan berlian dapat kita temui di Martapura, Provinsi Kalimantan Selatan. Akan tetapi morfologi indah sebuah intan berlian tidaklah lengkap sebelum kita mengetahui bagaimana intan berlian itu diperoleh.
Benda yang oleh sebagian orang dianggap keramat ini banyak ditemukan di Pasar Martapura. Tetapi perburuannya dilakukan di Banjarbaru yang juga masih dalam provinsi Kalimantan Selatan. Kecamatan Cempaka kota Banjarbaru, didominasi oleh karakteristik geografis dataran tinggi dengan rata-rata ketinggian topografi antara 50 sampai 150 meter di atas permukaan laut. Sehingga praktis, kawasan pendulangan intan, di Pumpung atau Ujung Murung misalnya, juga dikelilingi oleh bukit-bukit yang menyembul.
Kawasan pendulangan intan tradisional di Kecamatan Cempaka, paling banyak tersebar di Kelurahan Sungai Tiung. Kelurahan seluas 21,50 Km2 dengan jumlah penduduk 306 jiwa per Km ini, memiliki dua kawasan pendulangan intan tradisional yang telah dikenal di mata dunia, yaitu Pumpung dan Ujung Murung. Khususnya Pumpung, terkenal karena temuan intan sebesar telur ayam dengan berat 166,7 kerat, pada 30-an tahun silam. Belakangan intan tersebut dinamai Trisakti.
Untuk menuju kawasan wisata pendulangan intan tradisional ini, banyak tersedia akses transportasi darat yang bisa kita pilih, yang tentunya relatif lebih cepat, mudah dan murah. Pendulangan intan Pumpung misalnya, berada di sisi tenggara kota Banjarbaru, 40 Km dari Banjarmasin, ibukota Provinsi Kalsel.
Dari Banjarmasin menuju Kota Banjarbaru dapat dijangkau menggunakan kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat, dengan waktu tempuh selama 1 jam. Kemudian, dari kota Banjarbaru menuju Kecamatan Cempaka bisa dicapai selama 15 menit, langsung menuju kawasan wisata tersebut.
Mendapatkan atau mencari intan secara tradisional merupakan pekerjaan yang banyak digeluti oleh masyarakat Banjar. Salah satu alat yang digunakan untuk mencari intan secara tradisional dikenal dengan nama dulang dalam bahasa daerah sana, Dulang (berbentuk semacam caping) yang terbuat dari kayu ulin (kayu besi) atau kayu jingga. Sedangkan proses untuk mendapatkan intan sendiri dinamakan dengan mendulang. Aktivitas mendulang intan dimulai sejak pukul delapan pagi. Warga yang melakukan aktivitas mendulang intan biasanya melakukannya secara kolektif, antara 3-5 orang. setiap orang mempunyai tugas masing-masing yang berbeda-beda. Ada yang bertugas membuat/menggali lubang. Ada yang lain bertugas mengangkut material galian kelokasi pendulangan. Sedangkan yang lainnya lagi bertugas mendulang material yang telah terangkut tadi.Para pendulang intan mendulang intan setiap hari kecuali hari Jumat sebagai hari libur mereka. Proses mendulangnya pun dibutuhkan waktu yang relative lebih lama.
Mendulang intan secara tradisional yakni material berupa pasir, batu-batuan kecil, tanah, lumpur dan sebagainya yang telah bercampur menjadi satu diambil dari dalam lubang galian yang dibuat dengan kedalaman tertentu dimuat ke dalam dulang sesuai dengan kapasitas dari setiap dulang yang digunakan, selanjutnya dulang yang telah terisi material tersebut diputar-putar (dilenggang) dalam air sehingga sedikit demi sedikit material dari dalam dulang terbuang keluar dari dulang terbawa oleh pusaran air yang timbul akibat putaran yang dilakukan sambil sekali-kali pendulang mengamati sisa material yang berada dalam dulang apakah terdapat intan atau tidak. Hal tersebut dilakukan begitu seterusnya sampai material yang berada dalam dulang terbuang habis dari dalam dulang. Kegiatan tersebut dilakukan sepanjang harinya oleh penambang.
Sistem yang digunakan oleh para pendulang intan tergantung dari kesepakatan awal. Tapi biasanya, karena mereka menggunakan sistem pembagian tugas, maka mereka pun juga membagi hasil secara merata. Jadi, semakin banyak orang yang terlibat dalam kelompok pendulang intan itu, maka akan semakin kecil juga hasil yang didapat. Lahan yang digunakan untuk mendulang pun juga belum tentu lahan milik sendiri.
Banyak orang yang terlibat dalam usaha mendapatkan intan apabila kita melihat dari proses awalnya. Bermula sebuah intan berasal dari para penambang tersebut. Ada juga kelompok yang khusus mengumpulkan hasil dari penambang tersebut yang datang secara langsung ke lokasi penambangan. Kelompok tersebut dinamakan para pengumpul intan dan biasanya orang-orang yang sudah memiliki modal sendiri atau memakai modal orang lain dalam mengumpulkan intan. Selanjutnya dari para pengumpul ini dijual lagi kepada pengumpul yang lebih besar untuk diolah menjadi intan-intan yang bernilai jual tinggi. Atau menggunakan alternatif lain dengan mnenjual langsung kepada para pengumpul yang berasal dari luar sebelum diolah menjadi berbagai macam bentuk yang menarik seperti mata cincin, kalung, gelang, dan lain sebagainya. Namun tetap saja yang menjadi bagian yang paling bawah adalah para pekerja yang secara langsung bekerja dilapangan. Daerah yang cukup terkenal sebagai tempat penghasil intan di Banjarmasin seperti Martapura, Kampung Cempaka, Karang Intan, Awang Bangkal, Sungai Besar, Matraman. Daerah-daerah tersebut yang menjadi salah satu tempat yang paling banyak menghasilkan intan.
Mendulang intan memang bukanlah pekerjaan mudah. Para pendulang intan harus memiliki kesabaran. Karena, kita belum bisa memastikan seorang pendulang yang seharian bergelut di arena pendulangan akan pulang tanpa tangan hampa. Selain itu, pekerjaan ini juga memiliki banyak resiko. Apabila kondisi fisik para pendulang intan sedang tidak stabil, bisa jadi akan sakit. Karena air yang ada di wilayah pendulangan adalah air yang cukup dingin. Belum lagi lubang-lubang bekas galian yang bisa saja akan menyebabkan para pendulang terkubur hidup-hidup karena runtuhnya tanah di sekitar lubang galian.
Bagi sebagian orang Banjar, Intan juga dianggap sebagai benda keramat. Para pendulang memanggil intan dengan sebutan “Galuh”. Pada saat para pendulang melakukan aktivitas mendulang, mereka memanggil intan itu dengan sebutan “Galuh”. Pada saat itu pula para pendulang intan dilarang mengeluarkan kata-kata jorok dan kasar. Itu merupakan salah satu pantangan bagi para pendulang intan. Yang jelas, untuk memperoleh intan berlian tidaklah mudah. Harus ada pengorbanan dan kerja keras. Maka sangatlah wajar jika intan berlian memiliki nilai-nilai yang tinggi. Baik dari segi estetika, moral maupun kesakralannya.***norma
Benda yang oleh sebagian orang dianggap keramat ini banyak ditemukan di Pasar Martapura. Tetapi perburuannya dilakukan di Banjarbaru yang juga masih dalam provinsi Kalimantan Selatan. Kecamatan Cempaka kota Banjarbaru, didominasi oleh karakteristik geografis dataran tinggi dengan rata-rata ketinggian topografi antara 50 sampai 150 meter di atas permukaan laut. Sehingga praktis, kawasan pendulangan intan, di Pumpung atau Ujung Murung misalnya, juga dikelilingi oleh bukit-bukit yang menyembul.
Kawasan pendulangan intan tradisional di Kecamatan Cempaka, paling banyak tersebar di Kelurahan Sungai Tiung. Kelurahan seluas 21,50 Km2 dengan jumlah penduduk 306 jiwa per Km ini, memiliki dua kawasan pendulangan intan tradisional yang telah dikenal di mata dunia, yaitu Pumpung dan Ujung Murung. Khususnya Pumpung, terkenal karena temuan intan sebesar telur ayam dengan berat 166,7 kerat, pada 30-an tahun silam. Belakangan intan tersebut dinamai Trisakti.
Untuk menuju kawasan wisata pendulangan intan tradisional ini, banyak tersedia akses transportasi darat yang bisa kita pilih, yang tentunya relatif lebih cepat, mudah dan murah. Pendulangan intan Pumpung misalnya, berada di sisi tenggara kota Banjarbaru, 40 Km dari Banjarmasin, ibukota Provinsi Kalsel.
Dari Banjarmasin menuju Kota Banjarbaru dapat dijangkau menggunakan kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat, dengan waktu tempuh selama 1 jam. Kemudian, dari kota Banjarbaru menuju Kecamatan Cempaka bisa dicapai selama 15 menit, langsung menuju kawasan wisata tersebut.
Mendapatkan atau mencari intan secara tradisional merupakan pekerjaan yang banyak digeluti oleh masyarakat Banjar. Salah satu alat yang digunakan untuk mencari intan secara tradisional dikenal dengan nama dulang dalam bahasa daerah sana, Dulang (berbentuk semacam caping) yang terbuat dari kayu ulin (kayu besi) atau kayu jingga. Sedangkan proses untuk mendapatkan intan sendiri dinamakan dengan mendulang. Aktivitas mendulang intan dimulai sejak pukul delapan pagi. Warga yang melakukan aktivitas mendulang intan biasanya melakukannya secara kolektif, antara 3-5 orang. setiap orang mempunyai tugas masing-masing yang berbeda-beda. Ada yang bertugas membuat/menggali lubang. Ada yang lain bertugas mengangkut material galian kelokasi pendulangan. Sedangkan yang lainnya lagi bertugas mendulang material yang telah terangkut tadi.Para pendulang intan mendulang intan setiap hari kecuali hari Jumat sebagai hari libur mereka. Proses mendulangnya pun dibutuhkan waktu yang relative lebih lama.
Mendulang intan secara tradisional yakni material berupa pasir, batu-batuan kecil, tanah, lumpur dan sebagainya yang telah bercampur menjadi satu diambil dari dalam lubang galian yang dibuat dengan kedalaman tertentu dimuat ke dalam dulang sesuai dengan kapasitas dari setiap dulang yang digunakan, selanjutnya dulang yang telah terisi material tersebut diputar-putar (dilenggang) dalam air sehingga sedikit demi sedikit material dari dalam dulang terbuang keluar dari dulang terbawa oleh pusaran air yang timbul akibat putaran yang dilakukan sambil sekali-kali pendulang mengamati sisa material yang berada dalam dulang apakah terdapat intan atau tidak. Hal tersebut dilakukan begitu seterusnya sampai material yang berada dalam dulang terbuang habis dari dalam dulang. Kegiatan tersebut dilakukan sepanjang harinya oleh penambang.
Sistem yang digunakan oleh para pendulang intan tergantung dari kesepakatan awal. Tapi biasanya, karena mereka menggunakan sistem pembagian tugas, maka mereka pun juga membagi hasil secara merata. Jadi, semakin banyak orang yang terlibat dalam kelompok pendulang intan itu, maka akan semakin kecil juga hasil yang didapat. Lahan yang digunakan untuk mendulang pun juga belum tentu lahan milik sendiri.
Banyak orang yang terlibat dalam usaha mendapatkan intan apabila kita melihat dari proses awalnya. Bermula sebuah intan berasal dari para penambang tersebut. Ada juga kelompok yang khusus mengumpulkan hasil dari penambang tersebut yang datang secara langsung ke lokasi penambangan. Kelompok tersebut dinamakan para pengumpul intan dan biasanya orang-orang yang sudah memiliki modal sendiri atau memakai modal orang lain dalam mengumpulkan intan. Selanjutnya dari para pengumpul ini dijual lagi kepada pengumpul yang lebih besar untuk diolah menjadi intan-intan yang bernilai jual tinggi. Atau menggunakan alternatif lain dengan mnenjual langsung kepada para pengumpul yang berasal dari luar sebelum diolah menjadi berbagai macam bentuk yang menarik seperti mata cincin, kalung, gelang, dan lain sebagainya. Namun tetap saja yang menjadi bagian yang paling bawah adalah para pekerja yang secara langsung bekerja dilapangan. Daerah yang cukup terkenal sebagai tempat penghasil intan di Banjarmasin seperti Martapura, Kampung Cempaka, Karang Intan, Awang Bangkal, Sungai Besar, Matraman. Daerah-daerah tersebut yang menjadi salah satu tempat yang paling banyak menghasilkan intan.
Mendulang intan memang bukanlah pekerjaan mudah. Para pendulang intan harus memiliki kesabaran. Karena, kita belum bisa memastikan seorang pendulang yang seharian bergelut di arena pendulangan akan pulang tanpa tangan hampa. Selain itu, pekerjaan ini juga memiliki banyak resiko. Apabila kondisi fisik para pendulang intan sedang tidak stabil, bisa jadi akan sakit. Karena air yang ada di wilayah pendulangan adalah air yang cukup dingin. Belum lagi lubang-lubang bekas galian yang bisa saja akan menyebabkan para pendulang terkubur hidup-hidup karena runtuhnya tanah di sekitar lubang galian.
Bagi sebagian orang Banjar, Intan juga dianggap sebagai benda keramat. Para pendulang memanggil intan dengan sebutan “Galuh”. Pada saat para pendulang melakukan aktivitas mendulang, mereka memanggil intan itu dengan sebutan “Galuh”. Pada saat itu pula para pendulang intan dilarang mengeluarkan kata-kata jorok dan kasar. Itu merupakan salah satu pantangan bagi para pendulang intan. Yang jelas, untuk memperoleh intan berlian tidaklah mudah. Harus ada pengorbanan dan kerja keras. Maka sangatlah wajar jika intan berlian memiliki nilai-nilai yang tinggi. Baik dari segi estetika, moral maupun kesakralannya.***norma
Langganan:
Postingan (Atom)