Di luar sana banyak berbagai permasalahan internal bangsa yang belum terselesaikan. Sekelompok mahasiswa rela turun ke aspal panas demi menggaungkan ketidakadilan yang terjadi di kalangan rakyat jelata. Sudah merupakan hal yang biasa jika mereka terlihat sedang adu urat dengan para aparat. Karena demi rakyat mereka rela berbuat. Kumpulan aktivis sosial yang tergabung dalam ormas-ormas, tidak pernah berhenti meneriakkan segala bentuk kepincangan sosial. Tanpa upah ataupun uang lelah, mereka tetap eksis merangkul individu-individu lain agar segera menyadari bahwa lingkungan kita sedang membutuhkan perhatian.
Ada orang-orang yang tidak mau tinggal diam melihat ada maling duit rakyat yang dibiarkan bebas. Ada yang mengikhlaskan separuh harta mereka untuk berderma demi berdayakan masyarakat. Ada yang ketika malam tidak bisa tidur hanya karena mengetahui bahwa di luar sana tidak semua orang bisa rasakan keadilan secara merata. Banyak permasalahan sosial bangsa yang selama ini hanya diperhatikan dan dipikirkan oleh segelintir orang saja.
Bisa jadi itulah salah satu penyebab mengapa permasalahan Indonesia yang tidak jauh dari kata-kata sejahtera belum selesai juga hingga sekarang. Karena hanya sedikit orang yang mau mengerahkan semangat dan energi mereka untuk bergerak, untuk mencari solusi atas permasalahan bangsa. Sementara yang lain . . . apatis.
Orang-orang di luar sana harus berjuang antara hidup dan mati demi mencukupi kehidupan mereka. Kesenjangan semakin jelas ketika kita temukan ada sebagian orang-orang “berdasi” yang tanpa rasa bersalah justru berfoya-foya atas rezeki mereka. Sungguh ironis. Apatisme mulai meraja dan rasa keakuan sudah sukar untuk dibendung. Masing-masing selalu ingin menjadi pihak yang diuntungkan, tidak mau berbagi, cenderung cuek pada kesenjangan di sekitar.
Lantas bagaimana dengan Praja??? Di kesatrian ini, kata apatis adalah salah satu kata yang harus dihindari oleh Praja. Di sini kita dididik bukan untuk apatis. Hal ini berkaitan dengan karakter dasar seorang Pamong, yaitu tidak apatis. Seorang Pamong harus dikenal sekaligus mengenal.
Mengamati kehidupan Praja dan bukan bermaksud nyolot, mahasiswa luar lebih proaktif dalam menyambung lidah rakyat. seperti yang telah disebutkan tadi, ada di kalangan mereka yang turun ke jalan untuk membangkitkan kepedulian setiap individu untuk peduli terhadap permasalahan bangsa. Mereka lakukan itu dengan berbagai gaya. Menjahit mulut mereka, jalan jongkok di jalan raya, melakukan kegiatan teaterikal, menggalang dukungan, dan lain sebagainya.
Mengenai alasan mereka melakukan itu, memang cenderung bervariasi. Bisa jadi karena ada kesamaan pola kehidupan antara mereka dengan rakyat jelata. Rakyat jelata yang hidup serba kekurangan mungkin segaris dengan kehidupan mereka para mahasiswa, yang identik dengan gaya hidup yang (maaf) umumnya pas-pasan. Jadi, mahasiswa punya dasar kuat untuk membela kepentingan rakyat. Karena di sisi lain mereka juga memiliki sedikit kesamaan kepentingan dengan para rakyat jelata. Tidak sedikit pula dari mereka yang berkecukupan tapi tetap memiliki kepedulian terhadap penderitaan rakyat. Maka tanpa pamrih pun mereka tetap bersedia turun ke jalan untuk kepentingan rakyat.
Praja. Tidak perlu ditanyakan kesejahteraannya. Makan ditraktir rakyat, tidur dibiayai rakyat, listrik dibayarin rakyat, hampir semua kebutuhan vital didukung sepenuhnya oleh rakyat. Apakah segala kenikmatan itu telah membuat Praja lupa dengan jasa-jasa bangsa ini? Apakah kenikmatan itu yang membuat Praja belum bisa merasakan bagaimana sakitnya hidup serba kekurangan? Sehingga belum ada tanda-tanda kemunculan sebuah pemikiran untuk menghargai kemurahan hati rakyat. Padahal kenikmatan yang dimanfaatkan selama ini berasal dari pengorbanan rakyat dan rakyat melakukan itu juga dengan harapan bahwa suatu hari nanti lembaga pendidikan ini bisa melahirkan output-output yang bisa diandalkan. Diandalkan oleh rakyat. Diandalkan untuk membela kepentingan rakyat.
Benarkah Praja belum bisa merasakan putus nyambungnya harapan rakyat dalam memenuhi tuntutan kerasnya hidup? Hingga pengorbanan rakyat hanya dianggap angin lalu bagi para Praja? Selama ini kita hanya diributkan dengan masalah lintas kontingen, cekcok antar kontingen, uang saku, jenis kain PDH, bagaimana cara membina junior, pelambung, . . . ok, itu tradisi. Ok, itu tuntutan yang harus dipenuhi. Tapi mestinya kita bisa bersikap lebih dewasa, bahwa ada yang lebih penting dibandingkan itu semua. Ada yang lebih penting dibandingkan kita harus menyibukkan diri dengan membuat ulah yang hanya akan merusak nama baik kontingen pada khususnya dan nama baik Lembaga pada umumnya.
Setidaknya kita menyadari bahwa apa yang kita dapatkan ini berasal dari orang-orang yang hidupnya . . . terombang-ambing dalam lautan luas yang disertai badai. Keras. Tidak usah mengaku-ngaku hidup kita di sini lebih keras. Apa perlu nasib kita ini ditukar dengan nasib orang-orang dengan pakaian yang belum bisa dikatakan layak, orang-orang yang sehari-harinya mengumpulkan “daki” hanya untuk segenggam rezeki? Kita semua punya ego. Bukan suatu hal yang merugikan apabila kita redam ego masing-masing untuk belajar mengerti bahwa ada orang-orang yang rela berkorban demi kita. Pikirkan! Adakah terbersit niat tulus dalam hati kita untuk tidak menyia-nyiakan kepercayaan mereka? Mereka mungkin belum tahu soal ini dan kita sejak pertama datang ke sini sudah diberitahu bahwa semua ini berasal dari mereka. Apa kita tega dengan angkuhnya cuek terhadap pengorbanan mereka.
Setidaknya, kalau kita belum punya usaha untuk membalas budi mereka, paling tidak kita berusaha untuk menjaga amanah mereka. Tunjukan yang terbaik. Tunjukan kalau kita serius jadi kebanggan mereka. Mungkin kita tak mesti langsung turun ke jalan dan berteriak-teriak agar harga segera diturunkan, agar global warming dikurangi, agar korupsi segera dilenyapkan, agar pornografi dan pornoaksi segera dihentikan. Tapi, minimal kita berusaha untuk tidak menyia-nyiakan harapan mereka jika kelak rakyat mempercayakan kita untuk memimpin mereka.***norm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar