"Belajar, mencari, lalu menemukan"


Selasa, 30 Maret 2010

Antara PTK, Kampus IPDN, dan PP Nomor 14 Tahun 2010

Bagaikan telur di ujung tanduk. Mungkin itulah peribahasa yang tepat untuk mencitrakan eksistensi perguruan tinggi kedinasan di Indonesia saat ini. Dari berbagai kasus yang sama yang terjadi di institusi kedinasan ini yang kemudian melahirkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2010 tentang Perguruan Tinggi Kedinasan. Bercermin pada kejadian yang sudah berlalu tetapi terulang dalam bentuk yang sama, mungkin alasan ‘kekerasan’ di lembaga perguruan tinggi ikatan dinas inilah alasan utamanya. Seakan-akan menimbulkan opini bahwa ‘tidak ada perguruan tinggi kedinasan yang bebas dari tindak kekerasan dan pemukulan’.
Mengapa dikatakan demikian? Mari kita putar kembali ingatan kita sekitar tahun 2003, terungkapnya kasus meninggalnya Praja STPDN (sekarang IPDN) Wahyu Hidayat, karena tindak kekerasan senior terhadap junior, kemudian kasus yang sama terulang kembali di IPDN dengan meninggalnya kembali Praja Clift Muntu pada tahun 2006. Kontan lembaga IPDN mendapat pukulan kuat dari berbagai pihak, sampai pada ancaman pembubaran sekolah ini. Tidak lama berselang setelah kasus Clift Muntu, tahun 2007 terjadi lagi kasus yang sama di institusi lain, yang terungkap melalui rekaman video. Agung Bastian Gultom, Taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Departemen Perhubungan, kembali menjadi korban kekerasan lembaga ikatan dinas.
Kejadian ini kemudian melahirkan sebuah animo kuat tentang pembubaran seluruh sekolah ikatan dinas milik departemen-departemen di seluruh Indonesia (sebelum lahirnya PP Nomor 14 Tahun 2010) atau opsi lain, meleburkan Perguruan Tinggi Ikatan Dinas (PTK) menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) biasa. Namun perjuangan dari Departemen bersangkutan terus dilakukan untuk mempertahankan eksistensi lembaga ikatan dinas dengan alasan bahwa Perguruan Tinggi Kedinasan telah banyak menciptakan tenaga-tenaga terampil di lapangan guna mewujudkan pembangunan di Indonesia.
Selang beberapa waktu berlalu, muncul lagi kasus kekerasan di Institusi pendidikan. Sebut saja Universitas Nurtanio Bandung, tahun 2009 terungkap lagi tindak kekerasan yang sama, padahal sebenarnya universitas Nurtanio bukan PTK, tetapi karena memakai seragam dinas maka efeknya juga menyerang PTK yang lain, termasuk IPDN yang terus menjadi sorotan meski sudah berbenah di berbagai sistemnya. Terus berlanjut di tahun 2009 juga, kembali menyusul kematian Mahasiswa STSN (Sekolah Tinggi Sandi Negara) Wisnu Anjar Kusuma, juga karena kasus kekerasan yang sama. Dan yang terakhir di awal tahun 2010 terungkapnya video kekerasan di STIP, meskipun rekaman lama tetapi tetap saja menjadi polemik klasik di dunia PTK. Serta masih ada lagi kasus-kasus kekerasan lembaga pendidikan lain, baik kedinasan ataupun bukan kedinasan, yang selalu ‘mengkambinghitamkan’ IPDN sebagai trendsetter kekerasan, hingga pada akhirnya melahirkan PP Nomor 14 tahun 2010 Tentang Perguruan Tinggi Kedinasan.
Menyikapi lahirnya Peraturan Pemerintah tersebut, setelah membaca dan melihat komentar dari mahasiswa dari institusi ikatan dinas di media internet dan situs jejaring sosial facebook, jelas sangat keberatan dengan lahirnya PP tersebut. Mengapa demikian? Karena PP tersebut secara sistemik merombak mungkin sebagian atau seluruh sistem yang ada pada perguruan tinggi kedinasan di bawah Kementrian. Meskipun PP tersebut mulai berlaku lima tahun setelah diundangkan, tetapi kekhawatiran yang sangat akan terjadi pada setiap PTK yang sudah berpuluh-puluh tahun eksis dan akan kehilangan kenangan filosofis kampusnya.
Seperti yang tertulis pada pasal 10 BAB V, PP Nomor 14 tahun 2010 ini, syarat bagi peserta didik pendidikan kedinasan adalah pegawai negeri dan calon pegawai negeri pada Kementerian, kementerian lain, atau LPNK. Memiliki ijazah sarjana (S-1) atau yang setara. Sedangkan yang selama ini kita ketahui adalah peserta didik PTK adalah hanya dari lulusan SMA atau sederajat dengan kriteria nilai tertentu dan belum mempunyai status pegawai negeri. Meskipun ada sebagian sekolah ikatan dinas, sebut saja Akademi Kepoisian (AKPOL) yang sudah menerapkan poin tersebut, meskipun bukan di lingkup kementrian, tetapi bagaimana dengan PTK yang berada di bawah kementrian? Kemudian pada pasal 24, Ketentuan Peralihan, poin pertama huruf (b) disebutkan : Untuk pendidikan kedinasan yang peserta didiknya bukan pegawai negeri dan bukan calon pegawai negeri, tersedia 3 (tiga) alternatif penyesuaian:
1) pendidikan kedinasan yang bersangkutan dialihstatuskan menjadi badan hukum pendidikan, yang kementerian lain atau LPNK yang bersangkutan sebagai pendiri memiliki representasi dalam organ representasi pemangku kepentingan, untuk memenuhi kebutuhan sektoral yang berkelanjutan dan memerlukan pengawasan dan penjaminan mutu yang ketat dari kementerian lain atau LPNK yang bersangkutan;
2) pendidikan kedinasan yang bersangkutan diintegrasikan dengan perguruan tinggi negeri
tertentu dan setelah integrasi diadakan kerja sama dengan kemasan khusus untuk memenuhi kebutuhan sektoral yang bersifat temporer dan memerlukan pengawasan dan penjaminan mutu yang ketat dari kementerian lain atau LPNK yang bersangkutan;
3) pendidikan kedinasan yang bersangkutan diintegrasikan dengan perguruan tinggi negeri tertentu atau diserahkan kepada pemerintah daerah jika kebutuhan akan pengawasan dan penjaminan mutu yang ketat dari kementerian lain atau LPNK yang bersangkutan rendah.
Pertanyaan khusus dalam tulisan saya ini adalah, bagaimana dengan kampus IPDN? Seperti kita ketahui bahwa IPDN adalah lembaga yang bernaung di bawah panji Kementrian Dalam Negeri. Setelah melalui sebuah reformasi kebijakan sistem karena kasus yang begitu memukul keras kampus ini, kebijakan tentang status Praja pun berubah. Kalau saja IPDN masih memakai kebijakan yang dulu, bahwa Calon Praja yang dinyatakan lulus menjadi Praja IPDN langsung berstatus CPNS. Sudah dapat dipastikan tidak ada masalah dengan terbitnya PP Nomor 14 tahun 2010 ini. Karena pada Pasal 1 ayat 4 PP Nomor 14 tahun 2010 disebutkan bahwa Peserta didik pendidikan kedinasan adalah pegawai negeri dan calon pegawai negeri yang diberi tugas atau izin oleh Kementerian, kementerian lain, atau lembaga pemerintah nonkementerian yang bersangkutan untuk mengikuti pendidikan kedinasan. Tetapi mengingat berubahnya kebijakan tentang status Praja, maka Peraturan ini menjadi suatu kekhawatiran, mengingat kebijakan baru status Praja IPDN yaitu : tingkat Muda dan Madya berstatus mahasiswa ikatan dinas, dan baru tingkat Nindya dan Wasana berstatus CPNS/PNS. Memang pengangkatan CPNS/PNS hanya masalah jadwal, tetapi tetap saja disisi lain tentang ‘enggan’-nya pengintegrasian PTK ke dalam perguruan tinggi negeri, karena jelas bahwa ada hal-hal yang positif yang tidak akan didapat di perguruan tinggi negeri biasa. Juga tentang pengalihstatusan PTK menjadi Bantuan Hukum Pendidikan yang secara tersirat berarti mewirausahakan pendidikan, dengan kata lain PTK lima tahun ke depan akan meminta ‘pungutan’ dari peserta didiknya. Seperti halnya yang terjadi di beberapa PTN di Indonesia
Terlepas dari pandangan negatif tentang PTK, saya berharap seluruh PTK bisa menampilkan yang terbaik, setidaknya untuk lima tahun ke depan. Tunjukan bahwa PTK memang berbeda dengan PTN. Bukan bermaksud ‘mengeksklusifkan’ diri, tetapi bisa dilihat bahwa Mahasiswa PTK berbeda dengan Mahasiswa PTN biasa, baik dari segi sikap dan perilaku, serta penampilan. Pengabdian kepada negara baik oleh masiswa PTK ataupun alumni PTK sudah banyak membantu program-program pembangunan di negara ini. PTK melahirkan kaum praktisi bukan melahirkan kaum akademisi. Mahasiswa PTK lebih mengedepankan tindakan nyata bukan hanya mengedepankan teori-teori. Oleh karena itu, dari kenyataan positif yang ada tentang PTK, saya berharap ada peninjauan ulang tentang terbitnya PP Nomor 14 Tahun 2010, supaya PTK akan terus eksis di dunia pendidikan di Indonesia. Oleh : MP. Irwan Noor Ikhsan



WWP (Wahana Wyata Praja) menuju tahap profesionalitas manajemen organisasi

Wahana Wyata Praja yang lebih dikenal dengan dengan organisasi masyarakat praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri, semakin mengarah pada kondisi kepastian hukum yang lebih baik. tepatnya pada 5 Maret 20010 bertempat di Gedung Wyata Praja Set. Bawah diadakan pertemuan seluruh fungsionaris yang tergabung dalam dinas, biro, maupun unit ekstra kulrikuler. Dibahas pada pertemuan tersebut poin penting tentang tetap eksisnya keberadaan organisasi yang sedang mengalami masa fakum kekuasaan karena pimpinannya belum dipilih, sehingga belum dilaksanakan penyusunan program kegiatan praja secara resmi. Mengingat peraturan Rektor Institut Pemerintahan Dalam Negeri mengenai Organisasi yang menaungi masyarakat praja, telah disahkan perlu adanya tindak lanjut terhadap hal tersebut. Kasubbag. Organisasi dan Kerohanian yang menjadi narasumber dan policy maker central dalam acara tersebut bersama dengan hasil diskusi forum yang mewakili suara dan aspirasi praja menghasilkan beberapa kesimpulan; di antaranya akan diadakan semacam pantauan akhir terhadap komitmen dan bentuk keikutsertaan praja dalam organisasi Wahana Wyata Praja maupun unit tertentu dengan melaksanakan pemantaun akhir beranggotakan perwakilan dari masing-masing instansi, pembimbing teknis instansi terkait, dan juga dari unsur pengasuhan yang nantinya akan memutuskan jumlah anggota nominative yang akan dilantik. Namun sebelum itu semua praja yang ikut serta dalam pantauan akhir tersebut sebagai kronologis aturan dari proses pelantikan akan dijadwalkan mengikuti Diklat Kepemimpinan yang akan dilaksanakan pada awal bulan April mendatang. Diklat tersebut tentunya direncanakan menjadi media memupuk rasa kebersamaan, korsa, melatih sifat dasar kepemimpinan, dan kedisiplinan sebagai wakil masyarakat praja yang mengemban amanah mengatur kegiatan keoeganisasian praja IPDN. by: Guh_Jay


Senior yang haus akan kehormatan

Sudah menjadi kepuasan senior, apabila junior tunduk terhadap rentetan sanksi yang diada-adakan oleh mereka. Rasa bangga apanya??? Merasa disegani oleh yunior??? Mungkin sekilas junior tersebut terlihat segan dengan senior yang bersangkutan. Secara tidak langsung juga telah menumbuhkan pola pikir baru dalam pikiran mereka. Seolah-olah senior tersebut telah menjadi investor bagi tumbuh kembangnya mental bobrok yang membawa malapetaka bagi lembaga. Tapinya lagi, yakin mereka benar-benar segan???
Memberikan cap haram hukuman fisik. Iya, memang kalau hukuman fisik tersebut diforsir hingga menimbulkan keluhan-keluhan yang manusiawi yang kemungkinan terburuk adalah dapat menimbulkan potensi . . . junior melambung. Sudah saatnya senior yang kena. Hanya menghasilkan kemudharatan bagi semua pihak, berarti apalagi namanya kalau bukan salah???
Ada yang lain nggak, selain fisik? Selain membuat junior memendam dendam mereka lalu melakukan hal yang sama ketika mereka jadi senior nanti. Tragis sangat. Sanksi fisik memang cukup mendidik. Tapi sanksi fisik yang seperti apa? Yang tanggalkan seluruh sisi kemanusiaan? Yang maksud baik agar junior bisa lebih baik dan respek pada lingkungannya? Jika memang sanksi fisik tidak akan mengacaukan saraf mereka tentang hal-hal yang bersifat kemanusiaan, oke. Tapi kelayakan sanksi fisik yang berlebihan dan menekan essensi dari pembelajaran tapi malah memadatkan kekerasan . . . sebaiknya mencari solusi lain yang mampu bangkitkan semangat perbaikan, bukan semangat balas dendam.
Suatu pernyataan hukuman fisik akan membuat senior disegani oleh juniornya, harus dicermati lagi bahwa tidak semua junior memiliki filter. Kebanyakan junior menelan bulat-bulat apa yang diperbuat oleh seniornya. Lalu timbul niat untuk melakukan hal yang sama dengan juniornya nanti. Artinya, mata rantai kekerasan kecil kemungkinan untuk putus. Masalah segan atau tidak segan, respek atau tidak respeknya junior terhadap senior ketika senior menjatuhkan hukuman fisik barangkali tidak bisa seutuhnya dibenarkan.
Ada satu output yang timbul. Akan terjadi perubahan sikap pada junior. Junior tersebut akan segan terhadap seniornya yang sudah memberi hukuman fisik karena sering sekali ada pernyataan bahwa segan itu tidak akan muncul tanpa adanya hal-hal yang bersangkutan dengan fisik yang intinya adalah perubahan sikap. Sikapnya di depan senior. Sekali lagi . . . hanya di depan senior. Mana kita tahu, junior yang selama ini diberi hukuman fisik dan didoktrin sampai overload oleh seniornya dan yang biasanya di depan senior selalu nampak segan dan respek . . . tapi di belakang senior tersebut, junior yang bersangkutan sudah memasukkan seniornya ke dalam daftar hitam mereka, yang artinya membangun rasa segan dalam diri junior dengan sanksi fisik dari senior tidak akan membuahkan apa-apa, kecuali keseganan imitasi dan pewarisan input negatif.
Bila senior ingin dihormati dan disegani oleh junior adalah manusiawi. Kultur yang ada di IPDN memang demikian adanya. Hukuman fisik . . . statement yang berkembang adalah, tanpa satu hal ini maka senior tidak akan dihormati. Pernyataan yang cukup bodoh. Seperti tidak ada alternatif lain jika memang senior ingin dihormati juniornya. Sementara itu junior belum tentu segan dan hormat di depan maupun belakang. Bisa saja junior itu hanya segan di depan tapi mulut dan hatinya penuh dengan makian bila sudah ada di belakang. Bayarannya adalah senior itu tidak memiliki harga diri lagi di depan juniornya.
Rasa hormat tumbuh secara alami
Keteladanan mampu menumbuhkan rasa hormat secara alami. Walaupun keteladanan itu penampakannya tidak begitu terasa jika dibandingkan dengan hukuman fisik. Kendati demikian, jika saja seseorang bisa melihat dengan hati nurani letak keteladanan itu dan merasakan manfaatnya maka cukup dengan itu saja merubah rasa hormat junior. Barangkali cara ini sudah digunakan, tapi junior belum mau menerima. Selanjutnya, senior akan berkesimpulan bahwa junior ini perlu dikerasi. Jadi peran serta junior dalam meneladani senior-senior mereka juga masuk hitungan. Karena dalam membangun almamater ini bukan dengan ayunan tangan tapi dengan keteladanan. Ayunan tangan hingga sekarang masih bergerilya tapi keteladanan tetap yang utama.***