"Belajar, mencari, lalu menemukan"


Jumat, 04 Maret 2011

Pengentasan kemiskinan berbasis masyarakat

Masalah kemiskinan dan upaya pemerintah dalam menanggulangi
Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masa kini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern.
Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya mempunyai 49,5 juta jiwa penduduk yang tergolong miskin (Survai Sosial Ekonomi Nasional / Susenas 1998). Jumlah penduduk miskin tersebut terdiri dari 17,6 juta jiwa di perkotaan dan 31,9 juta jiwa di perdesaan. Angka tersebut lebih dari dua kali lipat banyaknya dibanding angka tahun 1996 (sebelum krisis ekonomi) yang hanya mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 7,2 juta jiwa di Perkotaan dan 15,3 juta jiwa perdesaan. Akibat krisis jumlah penduduk miskin diperkirakan makin bertambah.
Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan karena buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan “buatan” terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka tetap miskin. Maka itulah sebabnya para pakar ekonomi sering mengkritik kebijakan pembangunan yang melulu terfokus pada pertumbuhan ketimbang pemerataan.
Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk disimak dari berbagai aspek, sosial, ekonomi, psikologi dan politik. Aspek sosial terutama akibat terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya pemilikan alat produksi, upah kecil, daya tawar rendah, tabungan nihil, lemah mengantisipasi peluang. Dari aspek psikologi terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme, malas, dan rasa terisolir. Sedangkan, dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambil keputusan.
Salah satu upaya dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah melalui kegiatan pengembangan perekonomian berbasis kerakyatan yang dilakukan melalui upaya pemberdayaan masyarakat berbasis sumber daya lokal, yang mana melalui PNPM – MP merupakan program Nasional yang menjadi kerangka kebijakan dan acuan pelaksanaan berbagai program penanggulangan kemiskinan pemberdayaan masyarakat. Kegiatan lokakarya PNPM – MP merupakan salah satu program Nasional yang menjadi kerangka kebijakan dan acuan pelaksanaan berbagai program penanggulangan kemiskinan pemberdayaan masyarakat dengan tujuan yang diperoleh dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan bagi masyarakat perencanaan dan pengelolaan sumberdaya dan wilayah, meningkatkan kapasitas SDM masyarakat, kelembagaan dan aparatur dalam mengembangkan kultur kewirausahaan guna peningkatan modal sosial dan akses kredit mikro berbasis sumber daya lokal, dengan sasaran kepada kelompok masyarakat Kelautan dan Perikanan yang tinggal di pesisir dan memiliki kegiatan usaha di bidang Perikanan dan Kelautan.
Hingga saat ini sudah banyak cara yang dilakukan terutama oleh pemerintah untuk mengatasi kemiskinan. Berikut ini adalah beberapa langkah yang telah dilakukan bangsa Indonesia untuk mengentaskan kemiskinan.
a) Pada tahun 2005, pemerintah meluncurkan Program Kompensasi Penghapusan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM) untuk membantu kalangan tidak mampu menghadapi laju inflansi saat itu yang sangat tinggi akibat dinaikkannya harga BBM hingga 126 %.
b) Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang diluncurkan pada tahun 2005. Dana BOS bertujuan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Terlebih lagi, untuk mengurangi beban keluarga yang kurang mampu. Pada tahun 2008, alokasi Dana BOS mencapai Rp 10,5 Triliun. Untuk tahun 2009 terdapat kenaikan hampir 50 % lebih besar dari tahun sebelumnya menjadi Rp 16 Triliun.
c) Program BLT (Bantuan Langsung Tunai) dilaksanakan pada bulan September 2005. Sasaran program ini adalah rumah tangga sasaran yang di data oleh BPS (Badan Pusat Statistik) sejumlah 19,1 Juta. BLT tanpa syarat ini diberikan sebesar Rp 100.000/bulan dan dalam setiap tahap dibayarkan 3 bulan sekali sebesar Rp 300.000.
d) Pada tahun 2006, diperkenalkan Program Keluarga Harapan (PKH) yang merupakan bagian program percepatan penanggulangan kemiskinan melalui penyaliran bantuan tunai bersyarat (Conditional Cash Transfer) kepada 620.000 rumah tangga sangat miskin. Program ini di bawah pengawasan Direktorat Jaminan Kesejahteraan Sosial, Ditjen Bantuan dan Jaminan Sosial (Banjamsos) Depsos.
e) Pada tahun 2009, pemerintah telah memberikan anggaran sebesar Rp 66,2 Triliun untuk mengurangi kemiskinan. Anggaran ini bertujuan mengurangi angka kemiskinan dari 15,4 % pada tahun 2008 menjadi 12-14 % pada tahun 2009.

Pengentasan kemiskinan melalui pengembangan UKM
Semenjak terjadinya krisis ekonomi kemarin, sektor UMKM seperti naik daun. Kemampuan sektor ini menahan goncangan krisis dibandingkan perusahan-perusahaan besar, membuat ada keyakinan bahwa masa depan perekonomian Indonesia berada di sektor ini. Usaha mengembangkan UMKM juga bukan merupakan barang baru. Sejak dulu upaya ini telah ada, di zaman Orde Baru, upaya pengembangan UMKM dikaitkan dengan upaya pemerataan. Dulu ada program KUK, KIK maupun orang tua asuh yang dimaksudkan untuk meningkatkan keberadaan UMKM. Selama masa reformasi pun UMKM mendapat perhatian serius, Pemerintahan BJ Habibie berani mengeluarkan dana hingga Rp 20 triliun atau sebanding dengan 10% dana APBN dalam upaya pengembangan UMKM. Sayangnya, pelaksanaan program terdahulu kurang memberikan dampak yang signifikan bagi pengembangan UMKM.
Faktor utama yang menyebabkan kegagalan program terdahulu adalah kesalahan dalam menyalurkan kredit, sehingga kredit jatuh bukan pada pihak pengusaha yang berhak. Program penyaluran kredit mikro memang rentan penyelewengan. Sulit sakali menjamin bahwa kredit mikro yang disalurkan benar-benar sampai kepada pihak yang berhak untuk mendapatkannya. Pengalaman terdahulu menunjukkan besarnya dana yang salah sasaran sehingga tingkat pengembaliannya pun menjadi rendah.
Bantuan bank untuk menyalurkan kredit memang sangat diperlukan. Bank dapat lebih objektif melakukan penyeleksian sesuai realitas bisnis dari UMKM. Namun hal ini akan menyulitkan UMKM sendiri karena masih sulitnya sebagian besar dari usaha kecil untuk mempersiapkan berbagai syarat yang harus dipenuhi dalam upaya untuk memperoleh kredit seperti NPWP, proposal kelayakan usaha, laporan keuangan dn sebagainya. Untuk itu perlu dipikirkan mekanisme yang baik dalam menyaring UMKM yang akan diberikan kredit.
Pemerintah harus ingat bahwa upaya untuk mengembangkan UMKM tidak cukup hanya dengan memberikan modal. Permasalahan UMKM, terutama usaha mikro bukan semata-mata modal. Sehingga penyediaan kredit mikro yang bersubsidi tidak langsung akan membuat UMKM menjadi maju. Masih banyak masalah-masalah lain di luar pendanaan yang menjadi kendala berkembangnya UMKM. Perlu upaya yang lebih komprehensif untuk mengembangkan UMKM.
Sebagian besar return dari usaha kecil tidak besar sehingga sulit sekali untuk memperbesar skala usaha kecil itu. Hal inilah yang menyebabkan kontribusi usaha kecil terhadap GDP masih kecil. Program kemitraan yang ada selama ini tidak berhasil menaikkan margin usaha kecil ini karena selama ini usaha besar melakukan program kemitraan hanya sekedar mengikuti anjuran pemerintah, padahal yang terpenting dari program kemitraan itu adalah membuat integrasi antara usaha kecil dan besar sehingga proses penambahan nilai (value added) terjadi dan terjadi saling mendukung antara sektor UMKM dan perusahaan besar yang nantinya akan memacu pertumbuhan ekonomi.
Permasalahan kultural terjadi akibat perbedaan pandangan mengenai suatu usaha antara budaya industri dan tradisional. Kebanyakan pengusaha pada sektor UMKM masih berpandangan tradisional sehingga hanya memandang usaha secara sempit. Pengusaha kecil melihat usaha dalam jangka pendek dan statis, tanpa mau tahu apa yang nantinya akan dilakukan berkaitan dengan usahanya. Sedangkan sektor industri melihat sebuah usaha sebagai suatu yang dinamis sehingga terus dituntut sebuah perubahan agar sebuah usaha dapat terus bertahan dan berkembang. Faktor kultural inilah yang kadang kala menghambat usaha pengembangan sektor UMKM karena pengusaha UMKM sendiri kurang memiliki niat untuk mengembangkan usahanya. Di sinilah diperlukan pendekatan budaya untuk mengubah pandangan pengusaha UMKM agar lebih inovatif dan berambisi meningkatkan usahanya.
Untuk menyelesaikan masalah-masalah di atas diperlukan niat serius pemerintah dalam mengembangkan UMKM. Tidak mudah untuk mengembangkan sektor UMKM sehingga perlu banyak usaha dari pemerintah. Jangan sampai pengembangan UMKM ini bersifat sporadis dan tidak sustainable.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar