A. Batas Daerah
Pasal
4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
menyebutkan bahwa daerah dibentuk dengan UndangUndang Pembentukan daerah,
antara lain mencakup : nama, ibukota, cakupan wilayah, batas. Pasal 198
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan setiap undang-undang pembentukan daerah
otonom baru mengamanatkan bahwa penentuan batas wilayah daerah secara pasti di
lapangan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Batas daerah harus memenuhi
aspek yuridis dan teknis yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Peraturan Menteri Dalam Negeri dilengkapi dengan peta batas sebagai lampiran
yang memberikan informasi kejelasan cakupan wilayah yang berbatasan, koordinat
titik batas, simbol posisi pilar batas dan unsur geografis lainnya (sungai,
jalan), aspek fisik di lapangan di tandai dengan terpasang pilar batas dan
teridentifikasinya koordinat posisi pilar batas.
Di
dalam UU No. 32/2004 mengatur penentuan dan penegasan batas wilayah baik di
darat maupun di laut. Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 1 tahun 2006 tentang
Pedoman Penegasan Batas Daerah.
Penegasan
batas darat meliputi beberapa langkah yaitu penelitian dokumen, pelacakan
batas, pemasangan pilar batas, pengukuran dan penentuan posisi pilar batas, dan
pembuatan peta batas. Dalam penegasan
batas ini, seperti yang secara eksplisit disebutkan dalam Permendagri pasal 4 ayat
2, wajib diterapkan prinsip geodesi. Jelas terlihat dalam hal ini bahwa peran
surveyor geodesi sangat penting dalam penegasan batas daerah.[1]
Untuk
batas dari unsur buatan seperti pilar
batas, penentuan posisi yang akurat merupakan hal penting. Dalam kaidah
geodesi, penentuan posisi pilar batas harus dinyatakan dalam koordinat dengan
datum dan sistem proyeksi yang jelas. Angka koordinat tanpa spesifikasi datum yang pasti
sesungguhnya tidak menjelaskan apa-apa. Koordinat yang sama jika datumnya
berbeda akan mengacu pada posisi yang berbeda di lapangan.
Secara
teknis, aspek yang sangat penting dalam
penegasan batas daerah adalah prinsip geodesi atau survei pemetaan. Hal yang
harus diperhatikan dalam penentuan dan penegasan batas adalah jenis batas yang
akan digunakan, teknologi yang dipilih terkait kualitas hasil yang diharapkan,
serta partisipasi masyarakat yang secara langsung akan tekena dampak akibat
adanya penegasan batas tersebut.
Untuk
darat, misalnya, batas bisa ditentukan dengan unsur alam (sungai, watershed,
dan danau), dan unsur buatan (jalan, rel kereta, saluran irigasi, dan pilar
batas). Penggunaan unsur-unsur alam akan
mengakibatkan batas menjadi dinamis akibat perubahan bentang alam. Hal inilah
yang mengakibatkan bergesernya batas antara DIY dan Jateng. Namun demikian,
penggunaan unsur alam ini umumnya mudah diidentifikasi oleh masyarakat sekitar.
Untuk
batas dari unsur buatan seperti pilar
batas, penentuan posisi yang akurat merupakan hal penting. Dalam kaidah
geodesi, penentuan posisi pilar batas harus dinyatakan dalam koordinat dengan
datum dan sistem proyeksi yang jelas. Angka koordinat tanpa spesifikasi datum yang pasti
sesungguhnya tidak menjelaskan apa-apa. Koordinat yang sama jika datumnya
berbeda akan mengacu pada posisi yang berbeda di lapangan. Sebaliknya, suatu
posisi tertentu di lapangan bisa
dinyatakan dengan koordinat yang berbeda jika datum dan sistem proyeksinya
berbeda.
Terkait
dengan ketelitian posisi/koordinat titik batas, Permendagri juga sudah
memberikan spesifikasi yang rinci.
Ketelitian ini tentunya terkait dengan teknologi dan metode penentuan posisi
yang digunakan. Penentuan posisi dengan
Global Positioning System (GPS), yaitu penentuan posisi dengan satelit,
adalah salah satu yang direkomendasikan. Namun demikian, penggunaan GPS sendiri
harus memperhatikan jenis dan metode pengukurannya untuk mendapatkan posisi
dengan ketelitian yang disyaratkan. Pengukuran dengan GPS navigasi (handheld)
seperti yang sekarang populer di masyarakat berupa peranti seukuran handphone
tentu saja menghasilkan ketelitian posisi yang lebih rendah dibandingkan
penggunaan GPS jenis geodetik yang dilakukan secara relatif (deferensial).
Tim
Penegasan Batas di tingkat provinsi
maupun pusat harus memahami hal ini. Dalam era otonomi di mana luas daerah
menjadi salah satu indikator dalam perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU), batas daerah menjadi
sangat penting artinya. Tanpa batas yang tegas, luas tidak mungkin dihitung.
Oleh karena itu, penentuan dan penegasan batas merupakan agenda penting dalam
melaksanakan otonomi daerah.
Dengan
adanya kejelasan batas daerah maka dapat
mencegah terjadinya konflik batas daerah yang dapat menimbulkan korban harta,
benda dan jiwa serta ekonomi biaya tinggi (high cost economic), tertatanya kode
wilayah administrasi pemerintahan, berjalan optimal penyelenggaraan fungsi
pemerintahan di daerah, pelaksanaan pembangunan daerah yang berjalan optimal
dan terlaksananya penyaluran dana perimbangan (DAK) yang tidak menimbulkan
konflik.
Terkait
DAU, ada sebuah wacana bahwa luas wilayah yang berpengaruh terhadap besarnya
DAU yang diterima suatu daerah seharusnya bukan saja luas daratan seperti yang
berlaku sekarang, tetapi juga luas laut. Hal ini untuk menciptakan keadilan bagi daerah yang berbentuk kepulauan
dimana luas daratannya lebih sempit dari luas wilayah laut yang menghubungkan
pulau-pulau dalam provinsi tersebut. Meskipun masih wacana, hal ini telah
menjadi kajian serius berbagai pihak, dan ini juga mengindikasikan bahwa
penentuan (delimitasi) batas maritim antar daerah menjadi penting.
Dalam
rapat dengar pendapat Komisi II DPR RI dengan Plt. Dirjen Pemerintahan Umum
Kementerian Dalam Negeri, 14 Juni 2010, Permasalahan Penataan Batas Daerah
adalah sebagai berikut:
1.
Batas daerah yang tidak jelas akan memicu konflik di wilayah perbatasan;
2.
Pada umumnya permasalahan muncul terkait dengan pembentukan daerah otonom baru,
yang dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun (1999 s.d. 2009) mencapai 205 (dua
ratus lima) daerah otonom baru (wilayah Provinsi, Kabupaten dan Kota). hal ini dikarenakan peta-peta lampiran pada
Undang-Undang tentang pembentukan daerah pada umumnya belum memenuhi standar
kaidah pemetaan secara kartografi.
sehingga dalam pelaksanaan penegasan batas daerah secara pasti di lapangan
banyak menimbulkan multitafsir yang berdampak kepada :
a.
Overlapping cakupan wilayah;
b.Duplikasi
pelayanan pemerintahan atau tidak adanya pelayanan pemerintahan;
c.
Perebutan untuk mengelola sumber daya alam;
d.
Overlapping perijinan lokasi usaha;dan
e.
Daerah pemilihan ganda pada proses Pemilu dan Pemilu Kepala Daerah.
Kegiatan
yang telah dilakukan Direktorat Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri
dalam pengelolaan perbatasan antar daerah:
1.
Mendorong peran gubernur untuk
memfasilitasi penyelesaian dimaksud dan perselisihan antar Provinsi, antara Provinsi dan Kabupaten/Kota
di wilayahnya, serta antara Provinsi dan Kabupaten/Kota di luar wilayahnya.
Menteri Dalam Negeri memfasilitasi penyelesaian perselisihan dimaksud sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya
Pasal 198, yaitu:
a.
Apabila terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar
Kabupaten/Kota dalam 1 (satu) Provinsi, Gubernur menyelesaikan perselisihan
dimaksud;
b.
Apabila terjadi perselisihan antar Provinsi antara Provinsi dan Kabupaten/Kota
di wilayahnya, serta antara Provinsi dan 37 Kabupaten/Kota di luar wilayahnya,
Menteri Dalam Negeri menyelesaikan perselisihan dimaksud;
c.
Keputusan sebagaimana dimaksud bersifat final.
2.
Untuk menghindari terjadinya
permasalahan sengketa batas daerah, diusulkan Undang-Undang Pemekaran Wilayah
harus mencantumkan/ mengidentifikasi :
a.
cakupan wilayah desa-desa di wilayah perbatasan dengan titik-titik koordinat;
b.
kejelasan kepemilikan pulau-pulau;
c.
pembuatan peta lampiran harus merujuk pada peta yang dikeluarkan oleh instansi
yg berwenang;
d.
batas daerah yang tertuang dalam batang tubuh harus sesuai dengan yang
tergambar di atas peta lampiran Undang-Undang Pemekaran Wilayah serta sesuai
standar kaidah pemetaan secara kartografi;
e.
proses utk menentukan hal tersebut, harus dikoordinasikan antara Provinsi dan
Kabupaten yang berbatasan
Penegasan
batas daerah dititik beratkan pada upaya mewujudkan batas daerah yang jelas dan
pasti baik dari aspek yuridis maupun fisik di lapangan (Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 1 Tahun 2006 Pasal 2 ayat 1).
Tentang penegasan batas daerah yang
diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006 tentang
Pedoman Penegasan Batas Daerah. Penetapan Batas Wilayah dilakukan melalui
penegasan batas daerah yang merupakan kegiatan penentuan batas secara pasti
(fixed boundary) di lapangan, dengan sistim referensi nasional yang digunakan
Datum Geodesi Nasional 1995. Batas
daerah merupakan pemisah wilayah penyelenggaraan kewenangan suatu daerah dengan
daerah lain. Batas daerah di darat merupakan pemisah wilayah administrasi
pemerintahan antara daerah yang berbatasan berupa pilar batas di lapangan dan
daftar koordinat di peta. Batas daerah di laut merupakan pemisah antara daerah
yang berbatasan berupa garis khayal (imajiner) di laut dan daftar koordinat di
peta yang dalam implementasinya merupakan batas kewenangan pengelolaan sumber
daya di wilayah laut. Pelacakan batas daerah di darat merupakan kegiatan untuk
menentukan letak batas di darat berdasarkan kesepakatan dan pemasangan tanda
batas sementara. Penegasan batas daerah dititikberatkan pada upaya mewujudkan
batas daerah yang jelas dan pasti baik dari aspek yuridis maupun fisik di
lapangan, penegasan batas dilakukan dalam rangka menentukan letak dan posisi
batas secara pasti di lapangan sampai dengan penentuan titik koordinat batas.
Penegasan batas daerah berpedoman pada batas-batas daerah yang ditetapkan dalam
Undang-undang Pembentukan Daerah. Penegasan batas daerah di darat diwujudkan
melalui tahapan penelitian dokumen pelacakan batas; pemasangan pilar batas;
pengukuran dan penentuan posisi pilar batas; dan pembuatan peta batas. Tahapan
penegasan batas daerah dilakukan dengan prinsip
geodesi dan dituangkan dalam berita acara kesepakatan.
Penelitian
dokumen meliputi: Peraturan Perundang-Undangan tentang Pembentukan Daerah dan
dokumen lainnya yang disepakati oleh daerah yang bersangkutan. Kegiatan pelacakan
batas daerah di lapangan meliputi penentuan titik-titik batas dan garis batas
sementara di lapangan. Pengukuran situasi dilakukan sepanjang garis batas
daerah selebar 100 m ke kiri dan 100 m ke kanan garis batas tersebut. Batas
daerah yang ditegaskan dapat dinyatakan dalam bentuk bangunan fisik buatan
manusia seperti: pilar, gapura, persil tanah, jalan dan atau batas alam
seperti: watershed, sungai. Batas daerah yang tidak dapat ditegaskan dalam
suatu bentuk bangunan fisik seperti melalui danau dan tengah sungai dinyatakan
dengan pilar acuan batas. Dalam rangka menetapkan dan menegaskan batas daerah
perlu dilakukan kegiatan penelitian dokumen batas, pelacakan batas, pemasangan
pilar batas, pengukuran dan penentuan posisi pilar batas, dan pembuatan peta
batas. Jika dasar hukum untuk penegasan batas daerah belum ada atau belum
jelas, maka dapat diterapkan penggunaan bentuk-bentuk batas alam. Batas alam
merupakan objek di lapangan yang dapat dinyatakan sebagai batas daerah.
Penggunaan bentuk alam sebagai batas daerah akan memudahkan penegasan batas di
lapangan karena tidak perlu memasang pilar yang rapat. Bentuk-bentuk batas alam
yang dapat digunakan sebagai batas daerah adalah garis batas di sungai
merupakan garis khayal yang melewati tengah-tengah sungai ditandai oleh pilar
batas di tepi sungai yang memotong garis batas tersebut. Pada daerah sungai
yang labil, pilar dipasang agak jauh dari sungai sehingga pilar tersebut bukan
merupakan pilar batas tetapi titik acuan bagi batas sebenarnya. Dari pilar tersebut
harus diukur jarak ke tepi dekat dan tepi jauh sungai serta arahnya.[2]
B. Konflik Mengenai Batas Daerah di
Era Otonomi
Era
otonomi yang dimaksud menunjuk pada suatu era yang dimulai sejak berlakunya UU
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Hal itu ditandai dengan
pelaksanaan asas desentralisasi yang dilaksanakan dengan pemberian otonomi yang
luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah. Prinsip tersebut sangat
berbeda dengan pelaksanaan asas desentralisasi sebelumnya dengan otonomi yang
nyata dan bertanggung jawab saja (UU Nomor 5 Tahun 1974), sehingga masih
terkesan sentralistis.
Kehendak
untuk mewujudkan otonomi daerah dilandasi oleh keprihatinan bangsa semasa Orde
Baru (Orba) karena adanya sentralisme kewenangan dan keuangan yang telah
mengakibatkan ketimpangan anggaran pembangunan antara pusat (wilayah ibukota
Jakarta) dan daerah (wilayah lain).[3]
Oleh karena itu otonomi yang hendak dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 22 Tahun
1999 yang kemudian diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, adalah otonomi yang
seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab.
Adapun
penekanan prinsip seluas-luasnya memiliki arti bahwa daerah diberikan
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi
urusan Pemerintah (politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter
dan fiskal, dan agama).[4]
Hal
penting lainnya yang ditentukan oleh kedua UU mengenai otonomi daerah adalah
pada masalah pengelolaan keuangan daerah.
Undang-Undang
nomor 22 Tahun 1999 (pada Penjelasan Umum) menyebutkan bahwa untuk menyelenggarakan
otonomi diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri,
yang didukung oleh perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah. Di
samping itu disebutkan pula bahwa kewenangan keuangan yang melekat pada setiap
kewenangan pemerintahan menjadi kewenangan daerah.
Adapun
dalam UU nomor 32 Tahun 2004 (pada Penjelasan Umum) disebutkan bahwa
penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal
apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian
sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah. Semua sumber keuangan yang
melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi
sumber keuangan daerah. Sumber keuangan tersebut antara lain berupa: pendanaan
dari Pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah yang diserahkan, kewenangan
memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah, bagi hasil dari
sumber-sumber daya nasional di daerah, dan dana perimbangan lainnya.
Dengan
demikian dapat diketahui bahwa semenjak era otonomi, daerah mempunyai porsi kewenangan yang sangat
besar dibandingkan dengan era sebelumnya. Selanjutnya aspek wilayah menjadi
suatu yang sangat penting sebab wilayah suatu daerah mencerminkan sejauh
mana kewenangan daerah tersebut dapat
dilaksanakan. Wilayah merupakan aspek yang dapat menunjang kemampuan
penyelenggaraaan otonomi daerah karena dari wilayah dapat dihasilkan pajak dan
retribusi daerah, dan juga bagi hasil sumber-sumber daya nasional. Bahkan luas
wilayah merupakan variabel dalam penentuan bobot yang mempengaruhi besarnya
dana alokasi umum yang diterima daerah. Oleh karena itu batas daerah memiliki
arti penting dan strategis apabila dibandingkan dengan era sebelumnya.
Namun
pada kenyataannya, arti penting dan strategis dari batas daerah belum diimbangi
dengan kejelasan batas antar daerah sehingga akhirnya menimbulkan
permasalahan-permasalahan yang dapat mengakibatkan konflik antar daerah.
Pada
hakekatnya, konflik tercipta dari kompetisi memperebutkan akses terhadap
otoritas (kekuasaan) dan sumber ekonomi/kemakmuran dari aktor-aktor yang
berkepentingan.[5]
Pernyataaan ini selaras dengan sebuah
kesimpulan yang mengatakan bahwa daerah akan merasa terancam kepentingan
politik dan ekonominya bila gagal mempertahankan sumbersumber yang bisa
meningkatkan pendapatan daerah. Celakanya, perasaan terancam ini pula yang
menyebabkan daerah rentan disulut konflik atau kesalahpahaman terhadap daerah
lain.[6]
Munculnya konflik atau benturan kepentingan
antardaerah, pada dasarnya merupakan refleksi dari kesalahpahaman, kegamangan,
dan egoisme daerah dalam melaksanakan otonomi.[7] Otonomi sering dipersepsikan lebih dari
sekedar dapat mengatur rumah tangganya sendiri, namun hingga tidak mau
dicampuri oleh pihak lain walaupun dalam konteks koordinasi dan sinkronisasi.
Peningkatan daya saing daerah yang diamanatkan Undang-undang lebih
dipersepsikan secara negatif, sehingga daerah enggan menjalin sinkronisasi
regional (antardaerah).
Di
samping itu, kabupaten/kota sering menerjemahkan otonomi ini sebagai kewenangan untuk menggali
pendapatan daerah yang sebanyak-banyaknya melalui pajak dan retribusi serta eksploitasi sumber daya alam dengan
mengabaikan kepentingan jangka panjang dan generasi mendatang.[8]
Pruitt
dan Rubin menjelaskan bahwa konflik terjadi ketika tidak terlihat adanya
alternatif yang dapat memuaskan aspirasi kedua belah pihak dan lebih jauh
masing-masing pihak memiliki alasan untuk percaya bahwa mereka mampu
mendapatkan sebuah objek bernilai untuk diri mereka sendiri atau mereka percaya
bahwa mereka berhak memiliki obyek tersebut.[9] Mengacu
pada penjelasan Pruit dan Rubin tersebut, dapat diasumsikan ada obyek bernilai
yang dianggap berhak dimiliki oleh masing masing pihak. Rumusan obyek bernilai
ini membantu untuk mengidentifikasi bagian wilayah yang disengketakan sebagai
obyek bernilai.
C. Penyelesaian
Sengketa
Bila
mana terjadi perselisihan batas maka penyelesaian perselisihan batas
daerah sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 198, adalah:
· Apabila terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan
antar kab/kota dalam satu provinsi, Gubernur menyelesaikan perselisihan
dimaksud.
· Apabila terjadi perselisihan antar provinsi, antara provinsi dan
kab/kota di wilayahnya, serta antara provinsi dan kab/Kota di luar
wilayahnya, Menteri Dalam Negeri menyelesaikan perselisihan dimaksud.
· Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat final.
Target Penyelesaian
609 Segmen Batas Antar Daerah, meliputi;
· Batas
Daerah Antar Provinsi Berjumlah 127 Segmen Batas
· Batas
Daerah Antar Kab/Kota Dalam Satu Provinsi Berjumlah 482 Segmen
Batas.
· Batas
Daerah Antar Provinsi Menjadi Kewenangan Menteri Dalam Negeri Untuk
Menyelesaikannya.
· Batas
Daerah Antar Kab/Kota Dalam 1 Provinsi Menjadi Kewenangan Gubernur Untuk
Menyelesaikannya
· Dasar
Hukum Penyelesaian Adalah Pada Uu No. 32 Tahun 2004 Pasal
198 Dan Permendagri No. 1 Tahun 2006 Pasal 20
· Dari 482 Segmen Batas Mencakup Seluruh
33 Provinsi.
Percepatan
Penyelesaian Sengketa Batas
DitjenPum
saat ini tengah menggagas upaya baru untuk mempercepat penyelesaian sengketa
batas antar daerah yang ditempuh lewat jalur pengaturan pada revisi peraturan
menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 2006 dan metode penyelesaian sengketa batas itu
sendiri dan ditambah dengan memperkuat serta lebih mengoptimalkan kinerja yang
sudah ada. Dengan demikian ada beberapa hal yang menjadi inti percepatan ini,
yang meliputi;
· Revisi
Permendagri No.1 Tahun 2006 tentang Penegasan Batas di Lapangan.
· Mengoptimalkan
Penyelesaian Batas dengan cara Kartometrik dengan menghindari sedapat mungkin
pelacakan lapangan. Hal ini dapat di optimalkan apabila ada dukungan data dari
Pemerintah (berupa peta dasar, peta Batas Indikatif yang lebih akurat
dengan memanfaatkan the best available data seperti Citra
satelit, SRTM, DEM dan IFSARdalam bentuk digital). Kerjasama (Kesepakatan atau Kontrak Kerjasama) dengan
Bakosurtanal dan Dittopad untuk penyediaan Peta Dasar Rupabumi atau
Topografi dalam format digital dengan skala yang memadai.
· Metode
kartografis dilakukan pada tahap pelacakan batas daerah dengan catatan untuk
pelacakan batas yang sulit dilakukan di lapangan ditelusuri pada peta kerja
& ditentukan titik koordinatnya dan titik-titik koordinat batas yang belum
disepakati/ masih meragukan, dapat dilaksanakan pelacakan/ recheck ke lapangan.
Hasil pelacakan di atas peta yang disepakati digunakan sebagai bahan penyusunan
PERMENDAGRI tentang Batas Daerah; Pilar dapat dipasang kemudian jika dipandang
perlu dan memungkinkan.
[1]
Arsana,
I Made Andi, 2006. Arti Penting Penegasan Batas Wilayah Antar Daerah, artikel
dalam http://geopolitical.boundaries.blogspot.com
[2]
Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia, Peranan Badan Pertanahan
Nasional Dalam Penetapan Batas Wilayah, Disampaikan dalam Seminar Nasional
peringatan setengah abad Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada pada tanggal 26
Juni 2009
[3] Asep Nurjaman dalam Nurudin, dkk., 2006, Kebijakan
Elitis Politik Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal.156
[4] Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
[5] Syamsul Hadi,
et.al., 2007, Disintegrasi Pasca Orde
Baru: Negara, Konflik lokal dan Dinamika Internasional, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, hal. 272
[6] Zuhro, Siti R, et.al, 2004, Konflik & Kerjasama Antar Daerah: Studi
Pengelolaan Hubungan Kewenangan Daerah dan Antar Daerah di Jawa Timur, Bangka,
Belitung, dan Kalimanatan Timur, Pusat Penelitian Politik-LIPI, Jakarta, hal.
163
[7] ibid, hal. 163
[8] Dwiyanto,
Agus, et.al, 2003, Reformasi Tata Pemerintahan & Otonomi Daerah, Pusat
Studi Kependudukan dan Kebijakan, UGM, hal. 61
[9] Dean G. Pruit & Jeffrey Z Rubin, 2004,
Teori Konflik Sosial (terjemahan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Social
Conflict: Escalation, Stalemate and Settlement, Mc. Graw-Hill Inc,hal. 26.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar