Makalah Perencanaan Pembangunan Pada Zaman Orde Baru merupakan gambaran perencanaan-perencanaan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pembangunan. Makalah ini disusun oleh NP. Kristoporus Dawi (19.535) Kelas F-6, Fakultas Politik Pemerintahan, Jurusan Kebijakan Pemerintahan tahun 2010.
A. Perencanaan Pembangunan di Indonesia
Perencanaan pembangunan di Indonesia diawali dengan lahirnya “Panitia Pemikir Siasat Ekonomi” pada tahun 1947. Perencanaan pembangunan 1947 ini masih mengutamakan bidang ekonomi mengingat urgensi yang ada pada waktu itu (meskipun di dalamnya tidak mengabaikan sama sekali masalah-masalah nonekonomi khususnya masalah sosial-ekonomi, masalah perburuhan, aset Hindia Belanda, prasarana dan lain lain yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial). Tanpa perencanaan semacam itu maka cita-cita utama untuk “merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional” tidak akan dengan sendirinya dapat terwujud.
Kita telah bertekad merdeka dengan menegaskan bahwa kita berdaulat dalam politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam bidang sosial budaya. Tekad ini tidak akan bisa terwujud tanpa melakukan upaya-upaya restrukturisasi di bidang politik (menegakkan kedaulatan rakyat, menghapus feodalisme, menjaga keutuhan teritorial Indonesia serta melaksanakan politik bebas aktif), restrukturisasi di bidang ekonomi (menghilangkan ketimpangan ekonomi peninggalan sistem ekonomi kolonial, menghindarkan neokapitalisme dan neokolonialisme dalam wujudnya yang canggih, menegakkan sistem ekonomi berdikari tanpa mengingkari interdependensi global) dan restrukturisasi sosial budaya (nation and character building, berdasar Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila serta menghapuskan budaya inlander). Kesemuanya ini tidak bisa dengan sendirinya dapat dicapai tanpa suatu blueprint nasional atau rencana pembangunan nasional. Itulah sebabnya di jaman orla kita memiliki rencana-rencana pembangunan lima tahun (Depernas) dan kemudian memiliki pula Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan-Tahun (Bappenas). Di jaman orba kita mempunyai Repelita I sampai Repelita VII (Bappenas).
B. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Orde Baru
Di jaman orba keberadaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional ditegaskan lagi berdasar Keppres No. 35/Tahun 1973 (yang hanya susunan organisasinya saja diamandisir dengan Keppres No. 19/Tahun 1983, Keppres No. 7/Tahun 1988 dan Keppres No. 73/Tahun 1993) yang meliputi kedudukan, fungsi dan tugasnya, sbb:
a. Badan Perencanaan Pembanguna Nasional, yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disebut BAPPENAS, adalah sebuah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berkedudukan langsung di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden.
b. BAPPENAS mempunyai fungsi:
Membantu Presiden dalam menetapkan kebijaksanaan di bidang perencanaan Pembangunan Nasional serta penilaian atas pelaksanaannya, meliputi:
- menyusun rencana-rencana Pembangunan Nasional untuk jangka panjang, jangka sedang maupun jangka pendek;
- melakukan koordinasi perencanaan dan mengusahakan keserasian di antara rencana-rencana bagian sektoral maupun regional dan mengadakan pengintegrasian rencana-rencana tersebut kedalam suatu rencana Pembangunan Nasional;
- menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bersama-sama dengan Departemen Keuangan;
- menyusun kebijaksanaan perkreditan dan kebijaksanaan penanaman modal bersama-sama dengan Lembaga-lembaga yang bersangkutan;
- menyusun kebijaksanaan penerimaan dan penggunaan kredit dan bantuan luar negeri untuk pembangunan bersama-sama dengan Lembaga-lembaga yang bersangkutan;
- mengamati persiapan dan perkembangan pelaksanaan rencana Pembangunan Nasional serta mengusahakan sinkronisasi di antara program-program serta proyek-proyek;
- melakukan penilaian pelaksanaan rencana Pembangunan Nasional dengan mempertimbangkan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan pada program-program dan proyek-proyeknya;
- melakukan usaha-usaha survey, dan penelitian yang diperklukan di dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas perencanaan serta penilaian Pembangunan Nasional;
- melakukan kegiatan-kegiatan lain yang ditugaskan oleh Presiden.
Dari uraian tugas dan peranan serta fungsi Bappenas seperti dikemukakan di atas, jelaslah bahwa keberadaan Bappenas adalah sangat penting dan merupakan bagian integral dari keseluruhan peran pemerintahan negara.
C. Rencana Pembangunan Orde Baru
Pembangunan Nasional pada jaman Orde Baru berpedoman pada Trilogi Pembangunan, yang terdiri dari :
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Repelita atau Rencana Pembangunan Lima Tahun adalah satuan perencanaan yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru di Indonesia.
• Repelita I (1969 – 1974) bertujuan memenuhi kebutuhan dasar dan infrastruktur dengan penekanan pada bidang pertanian.
• Repelita II (1974 – 1979) bertujuan meningkatkan pembangunan di pulau-pulau selain Jawa, Bali dan Madura, di antaranya melalui transmigrasi.
• Repelita III (1979 – 1984) menekankan bidang industri padat karya untuk meningkatkan ekspor.
• Repelita IV (1984 – 1989) bertujuan menciptakan lapangan kerja baru dan industri.
• Repelita V (1989 – 1994) menekankan bidang transportasi, komunikasi dan pendidikan.
D. Hasil Pembangunan Orde Baru
1. Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pendidikan
Pembangunan nasional tidak saja menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang pesat, tetapi juga menghasilkan kesejahteraan rakyat yang makin meningkat dan makin merata. Kebutuhan pokok rakyat telah tersedia secara meluas dengan harga yang mantap dan dalam jangkauan rakyat banyak. Keberhasilan di bidang pangan yang antara lain tercermin dari tercapainya swasembada beras pada tahun 1984 dan diakui oleh FAO pada tahun 1985, telah meningkatkan kemampuan dalam penyediaan pangan bagi penduduk Indonesia dan memperkuat ketahanan pangan nasional. Swasembada pangan ini akan terus dipertahankan secara dinamis didukung oleh upaya diversifikasi pangan.
Meningkatnya derajat pendidikan dan juga kesehatan mempunyai dampak terhadap peningkatan kualitas peranan wanita dalam pembangunan. Derajat pendidikan wanita dari tahun ke tahun terus meningkat yang ditunjukkan oleh makin banyaknya wanita yang menempuh pendidikan pada setiap jenjang pendidikan. Di bidang ekonomi, peningkatan peran wanita ditunjukkan dengan makin banyaknya pekerja wanita yang pada tahun 1990 berjumlah 25,5 juta orang meningkat menjadi 28,5 juta orang pada tahun 1995. Dengan kemajuan tersebut, maka peranan wanita di segala bidang pembangunan makin nyata. Dalam pembangunan perdesaan, misalnya, peran wanita melalui PKK sangat besar kontribusinya.
2. Bidang Agama
Agama mempunyai peran yang sangat penting terhadap pembentukan moral manusia Indonesia sebagai dasar membentuk manusia yang berkualitas. Oleh sebab itu, dukungan prasarana dan sarana peribadatan yang memadai memang diperlukan dalam upaya menjalankan kehidupan ibadah yang tenteram dan damai.
Sejak awal PJP I sampai dengan tahun 1995/96 telah dibangun mesjid, gereja Kristen Protestan, gereja Katolik, Pura, dan Wihara oleh berbagai kalangan baik pemerintah maupun masyarakat masing- masing sebanyak 600,3 ribu mesjid, 31 ribu gereja Protestan, 14 ribu gereja Katolik, 23,7 ribu Pura dan 4 ribu Wihara.
Walaupun sekali waktu dapat timbul ketegangan, namun secara umum dapat dikatakan bahwa selama ini telah berhasil diciptakan suasana kehidupan antaragama yang rukun sehingga para pemeluk agama dapat menjalankan ibadahnya dengan tenteram, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu dasar utama untuk meningkatkan produktivitas. Berbagai upaya peningkatan teknologi terutama di bidang pertanian dan kesehatan telah membuahkan hasil selama PJP I dan dua tahun pertama Repelita VI telah membuahkan hasil.
Keberhasilan lain yang dapat dicatat adalah meningkatnya kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam industri manufaktur, mulai dari industri dengan teknologi sederhana sampai industri canggih seperti pesawat terbang.
4. Bidang Hukum
Hukum merupakan dasar untuk menegakkan nilai-nilai kemanusian. Berbagai perbaikan di bidang hukum telah dilakukan dan diarahkan menurut petunjuk UUD 1945. Dalam kaitan ini, antara lain telah ditetapkan Un dang-undang tentang KUHAP, Undang-undang tentang Hak Cipta, Paten, dan Merek, kompilasi hukum Islam, dan lain-lain.
Agar hukum dapat dijalankan berdasarkan peraturan- peraturan yang berlaku, telah pula dilakukan penyuluhan hukum kepada masyarakat luas maupun kepada aparat pemerintah. Perbaikan aparatur hukum terus menerus dilakukan meskipun belum mencapai hasil yang optimal, dan belum sepenuhnya dapat memenuhi tuntutan keadilan masyarakat.
5. Bidang Politik, Aparatur Negara, Penerangan, Komunikasi dan Media Massa
Pembangunan politik selama PJP I dan dua tahun Repelita VI telah dapat mewujudkan tingkat stabilitas nasional yang mantap dan dinamis sehingga memungkinkan pelaksanaan pembangunan nasional yang menghasilkan kesejahteraan rakyat yang makin baik.
Pembangunan politik juga telah mendorong terciptanya iklim keterbukaan yang bertanggung jawab serta makin mantapnya pelaksanaan demokrasi Pancasila. Hal ini terutama dengan telah adanya pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila serta telah diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya azas berbangsa dan bernegara oleh seluruh organisasi sosial politik dan organisasi kemasyarakatan. Selain itu, perlu dicatat pula perampingan organisasi peserta pemilu dari 10 pesertapada pemilu tahun 1971 menjadi 3 peserta.
Dalam hubungannya dengan politik luar negeri, Indonesia telah memainkan peranan yang cukup penting dalam upaya menciptakan perdamaian dunia. Antara lain patut dicatat peranan Indonesia di PBB, ASEAN, Gerakan Non Blok, dan APEC. Dalam upaya menciptakan efisiensi dan efektivitas pembangunan, kualitas dan kuantitas aparatur negara terus ditingkatkan. Dalam kaitan ini juga dilakukan penataan organisasi Departemen dan lembaga Non Departemen. Peningkatan kemampuan kegiatan penerangan, komunikasi, dan media massa (TV, radio, majalah, dan surat kabar) telah meningkatkan kesejahteraan dan kecerdasan bangsa.
6. Bidang Pertahanan Keamanan
Stabilitas keamanan di dalam negeri merupakan tulang punggung upaya pembangunan nasional. Dalam hal ini manunggalnya ABRI dengan rakyat dan mantapnya dwi fungsi ABRI merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan selama PJP I sampai pertengahan pelaksanaan Repelita VI sekarang ini. Pembangunan pertahanan keamanan terus dilakukan sesuai dengan Sishankamrata, dan dengan terus memperkuat kemampuan ABRI dalam melaksanakan kedua fungsinya.
Selasa, 19 Oktober 2010
Rabu, 09 Juni 2010
Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Kalbar
Makalah ini, merupakan tugas terstruktur mata kuliah pembangunan daerah oleh MP. Kristoporus Dawi, Fak. Politik Pemerintahan IPDN tahun 2010.
A. Angka Kemiskinan di Kalimantan Barat
Penduduk Miskin adalah penduduk yang tidak mempunyai kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar untuk kehidupan yang layak, baik kebutuhan dasar makanan maupun kebutuhan dasar bukan makanan.
kemiskinan adalah hal yang dapat dikuantifikasi, artinya hal yang dapat (dan mestinya) dinyatakan secara kuantitatif. Kita misalnya mengenal apa yang disebut sebagai pendapatan per kapita yang menjadi ukuran apakah masyarakat di daerah tertentu berada di atas, tepat pada atau di bawah garis kemiskinan. Dengan demikian, faktor-faktor penyebabnya pun mesti dapat dikuantifikasi. Dengan cara ini kita dengan mudah melihat bobot pengaruh dari masing-masing faktor terhadap pokok masalah (kemiskinan).
Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan Barat pada bulan Maret 2010 sekitar 508,8 ribu orang (11,07 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2009 yang berjumlah 584,3 ribu orang (12,91 persen), berarti berkurang sekitar 75,5 ribu atau mengalami penurunan sebesar 12,92 persen.
Selama periode Maret 2009-Maret 2010 penurunan persentase penduduk miskin terjadi baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Untuk daerah perkotaan turun dari 11,45 persen menjadi 9,98 persen sedangkan untuk daerah perdesaan turun dari 13,47 persen menjadi 11,49 persen. Berarti selama satu tahun terakhir penurunan persentase penduduk miskin di perdesaan lebih tinggi dibanding di perkotaan. Namun, dari sisi jumlah penduduk miskin, di daerah perdesaan masih lebih banyak dibanding di daerah perkotaan yaitu masing-maisng sebanyak 381,3 ribu orang dan 127,5 ribu orang.
Garis kemiskinan pada Maret 2009 sebesar Rp. 142.529,- perkapita/bulan selanjutnya meningkat menjadi Rp. 158.834,- perkapita/bulan pada tahun 2010. Apabila dipilah menurut jenisnya, proporsi pengeluaran makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan proporsi pengeluaran bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada bulan Maret 2010, peranan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan sebesar 79,13 persen dan selebihnya 20,87 persen adalah Garis Kemiskinan Bukan Makanan.
Pada periode Maret 2009-Maret 2010, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) menunjukkan adanya penurunan yaitu dari 1,79 menjadi 1,66. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan. Adapun dari sisi Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) tampak relatif stabil walaupun sedikit mengalami peningkatan yaitu dari 0,41 menjadi 0,42. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk relatif tidak mengalami perubahan yang lebih baik.
B. Faktor Penyebab Kemiskinan di Kalimantan Barat
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan terjadi di Kalimantan Barat antara lain :
1. Pengaruh krisis multi dimensi yang terjadi di Indonesia, di mana krisis ini berdampak kepada kemampuan penduduk di Kalimantan Barat dalam memenuhi kebutuhan hidup, serta adanya perubahan yang cukup tinggi antara nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang asing.
2. Semakin padatnya jumlah penduduk, sehigga menyebabkan semakin bertambahnya beban pemerintah dalam masalah penanganan kemiskinan daerah.
3. Lapangan kerja yang tersedia kurang apabila dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk, sehingga menyebabkan pengangguran yang berdampak kepada tidak adanya penghasilan penduduk.
4. Minimnya bahan kebutuhan sandang, pangan, papan, dan pelayanan kesehatan yang didadpat oleh penduduk.
C. Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Kalimantan Barat
1. Program-program yang diperkuat untuk mengentaskan kemiskinan terbagi disemua sector. Untuk ekonomi diantarannya berupa program Kawasan Usaha Agronomi Terpadu (KUAT) yang diberlakukan kepada masyarakat dengan bimbingan dari pemerintah daerah dan program pasar tradisional perbatasan yang berorintasi terhadap peluang perbatasan dengan negara asing, misalnya barang-barang souvenir yang dipasarkan bagi wisatawan di daerah perbatasan. Selain itu adanya bantuan seperti subsidi BBM dan bantuan raskin bagi masyarakat miskin sebagaimana program nasional.
2. Bidang Pendidikan diantaranya dengan pemberian intensif guru perbatasan, sehingga diharapkan pelayanan yang diberikan oleh guru di daerah-daerah perbatasan dapat maksimal atau dengan kata lain insentif ini merupakan pemacu bagi pemberian pelayanan yang lebih baik lagi. Selain itu, dengan pemberian bantuan operasional sekolah yang juga merupakan program dari pemerintah pusat.
3. Bidang kesehatan dengan membangun rumah sakit rujukan dan penambahan dokter. Selain itu adanya upaya pemerintah membangun puskesmas di daerah-daerah pedesaan sehingga pelayanan kesehatan masyarakat mudah didapat.
4. Sosial kemasyarakatan berupa pemugaran perumahan dan infrastruktur dengan dibangunnya jalan-jalan pedesaan. Selain itu juga dengan membentuk berbagai kelembagaan dengan membentuk tim koordinasi penanggulangan kemiskinan.
5. Menindaklanjuti upaya penanggulangan kemiskinan melalui PNPM Mandiri yang telah dicanangkan pemerintah pusat, serta diharapkan kepada seluruh pihak terkait yang ada di Provinsi Kalbar agar dapat mensinergikan seluruh program penanggulangan kemiskinan terkait dengan tugas pokok dan fungsi serta wilayah kerjanya masing-masing dan lebih utama lagi, memastikan agar program dilaksanakan sesuai ketentuan dan sampai kepada sasaran yaitu kecamatan - desa miskin dan rumah tangga / individu miskin. Dengan upaya maksimal dari rogram pemerintah dan peran serta masyarakat semua maka tidak mustahil kemiskinan yang menjadi musuh bersama kita selama ini pasti akan bisa kita tuntaskan. Berdasarkan data Bank Dunia, angka kemiskinan mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
A. Angka Kemiskinan di Kalimantan Barat
Penduduk Miskin adalah penduduk yang tidak mempunyai kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar untuk kehidupan yang layak, baik kebutuhan dasar makanan maupun kebutuhan dasar bukan makanan.
kemiskinan adalah hal yang dapat dikuantifikasi, artinya hal yang dapat (dan mestinya) dinyatakan secara kuantitatif. Kita misalnya mengenal apa yang disebut sebagai pendapatan per kapita yang menjadi ukuran apakah masyarakat di daerah tertentu berada di atas, tepat pada atau di bawah garis kemiskinan. Dengan demikian, faktor-faktor penyebabnya pun mesti dapat dikuantifikasi. Dengan cara ini kita dengan mudah melihat bobot pengaruh dari masing-masing faktor terhadap pokok masalah (kemiskinan).
Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan Barat pada bulan Maret 2010 sekitar 508,8 ribu orang (11,07 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2009 yang berjumlah 584,3 ribu orang (12,91 persen), berarti berkurang sekitar 75,5 ribu atau mengalami penurunan sebesar 12,92 persen.
Selama periode Maret 2009-Maret 2010 penurunan persentase penduduk miskin terjadi baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Untuk daerah perkotaan turun dari 11,45 persen menjadi 9,98 persen sedangkan untuk daerah perdesaan turun dari 13,47 persen menjadi 11,49 persen. Berarti selama satu tahun terakhir penurunan persentase penduduk miskin di perdesaan lebih tinggi dibanding di perkotaan. Namun, dari sisi jumlah penduduk miskin, di daerah perdesaan masih lebih banyak dibanding di daerah perkotaan yaitu masing-maisng sebanyak 381,3 ribu orang dan 127,5 ribu orang.
Garis kemiskinan pada Maret 2009 sebesar Rp. 142.529,- perkapita/bulan selanjutnya meningkat menjadi Rp. 158.834,- perkapita/bulan pada tahun 2010. Apabila dipilah menurut jenisnya, proporsi pengeluaran makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan proporsi pengeluaran bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada bulan Maret 2010, peranan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan sebesar 79,13 persen dan selebihnya 20,87 persen adalah Garis Kemiskinan Bukan Makanan.
Pada periode Maret 2009-Maret 2010, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) menunjukkan adanya penurunan yaitu dari 1,79 menjadi 1,66. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan. Adapun dari sisi Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) tampak relatif stabil walaupun sedikit mengalami peningkatan yaitu dari 0,41 menjadi 0,42. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk relatif tidak mengalami perubahan yang lebih baik.
B. Faktor Penyebab Kemiskinan di Kalimantan Barat
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan terjadi di Kalimantan Barat antara lain :
1. Pengaruh krisis multi dimensi yang terjadi di Indonesia, di mana krisis ini berdampak kepada kemampuan penduduk di Kalimantan Barat dalam memenuhi kebutuhan hidup, serta adanya perubahan yang cukup tinggi antara nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang asing.
2. Semakin padatnya jumlah penduduk, sehigga menyebabkan semakin bertambahnya beban pemerintah dalam masalah penanganan kemiskinan daerah.
3. Lapangan kerja yang tersedia kurang apabila dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk, sehingga menyebabkan pengangguran yang berdampak kepada tidak adanya penghasilan penduduk.
4. Minimnya bahan kebutuhan sandang, pangan, papan, dan pelayanan kesehatan yang didadpat oleh penduduk.
C. Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Kalimantan Barat
1. Program-program yang diperkuat untuk mengentaskan kemiskinan terbagi disemua sector. Untuk ekonomi diantarannya berupa program Kawasan Usaha Agronomi Terpadu (KUAT) yang diberlakukan kepada masyarakat dengan bimbingan dari pemerintah daerah dan program pasar tradisional perbatasan yang berorintasi terhadap peluang perbatasan dengan negara asing, misalnya barang-barang souvenir yang dipasarkan bagi wisatawan di daerah perbatasan. Selain itu adanya bantuan seperti subsidi BBM dan bantuan raskin bagi masyarakat miskin sebagaimana program nasional.
2. Bidang Pendidikan diantaranya dengan pemberian intensif guru perbatasan, sehingga diharapkan pelayanan yang diberikan oleh guru di daerah-daerah perbatasan dapat maksimal atau dengan kata lain insentif ini merupakan pemacu bagi pemberian pelayanan yang lebih baik lagi. Selain itu, dengan pemberian bantuan operasional sekolah yang juga merupakan program dari pemerintah pusat.
3. Bidang kesehatan dengan membangun rumah sakit rujukan dan penambahan dokter. Selain itu adanya upaya pemerintah membangun puskesmas di daerah-daerah pedesaan sehingga pelayanan kesehatan masyarakat mudah didapat.
4. Sosial kemasyarakatan berupa pemugaran perumahan dan infrastruktur dengan dibangunnya jalan-jalan pedesaan. Selain itu juga dengan membentuk berbagai kelembagaan dengan membentuk tim koordinasi penanggulangan kemiskinan.
5. Menindaklanjuti upaya penanggulangan kemiskinan melalui PNPM Mandiri yang telah dicanangkan pemerintah pusat, serta diharapkan kepada seluruh pihak terkait yang ada di Provinsi Kalbar agar dapat mensinergikan seluruh program penanggulangan kemiskinan terkait dengan tugas pokok dan fungsi serta wilayah kerjanya masing-masing dan lebih utama lagi, memastikan agar program dilaksanakan sesuai ketentuan dan sampai kepada sasaran yaitu kecamatan - desa miskin dan rumah tangga / individu miskin. Dengan upaya maksimal dari rogram pemerintah dan peran serta masyarakat semua maka tidak mustahil kemiskinan yang menjadi musuh bersama kita selama ini pasti akan bisa kita tuntaskan. Berdasarkan data Bank Dunia, angka kemiskinan mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Selasa, 30 Maret 2010
Antara PTK, Kampus IPDN, dan PP Nomor 14 Tahun 2010
Bagaikan telur di ujung tanduk. Mungkin itulah peribahasa yang tepat untuk mencitrakan eksistensi perguruan tinggi kedinasan di Indonesia saat ini. Dari berbagai kasus yang sama yang terjadi di institusi kedinasan ini yang kemudian melahirkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2010 tentang Perguruan Tinggi Kedinasan. Bercermin pada kejadian yang sudah berlalu tetapi terulang dalam bentuk yang sama, mungkin alasan ‘kekerasan’ di lembaga perguruan tinggi ikatan dinas inilah alasan utamanya. Seakan-akan menimbulkan opini bahwa ‘tidak ada perguruan tinggi kedinasan yang bebas dari tindak kekerasan dan pemukulan’.
Mengapa dikatakan demikian? Mari kita putar kembali ingatan kita sekitar tahun 2003, terungkapnya kasus meninggalnya Praja STPDN (sekarang IPDN) Wahyu Hidayat, karena tindak kekerasan senior terhadap junior, kemudian kasus yang sama terulang kembali di IPDN dengan meninggalnya kembali Praja Clift Muntu pada tahun 2006. Kontan lembaga IPDN mendapat pukulan kuat dari berbagai pihak, sampai pada ancaman pembubaran sekolah ini. Tidak lama berselang setelah kasus Clift Muntu, tahun 2007 terjadi lagi kasus yang sama di institusi lain, yang terungkap melalui rekaman video. Agung Bastian Gultom, Taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Departemen Perhubungan, kembali menjadi korban kekerasan lembaga ikatan dinas.
Kejadian ini kemudian melahirkan sebuah animo kuat tentang pembubaran seluruh sekolah ikatan dinas milik departemen-departemen di seluruh Indonesia (sebelum lahirnya PP Nomor 14 Tahun 2010) atau opsi lain, meleburkan Perguruan Tinggi Ikatan Dinas (PTK) menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) biasa. Namun perjuangan dari Departemen bersangkutan terus dilakukan untuk mempertahankan eksistensi lembaga ikatan dinas dengan alasan bahwa Perguruan Tinggi Kedinasan telah banyak menciptakan tenaga-tenaga terampil di lapangan guna mewujudkan pembangunan di Indonesia.
Selang beberapa waktu berlalu, muncul lagi kasus kekerasan di Institusi pendidikan. Sebut saja Universitas Nurtanio Bandung, tahun 2009 terungkap lagi tindak kekerasan yang sama, padahal sebenarnya universitas Nurtanio bukan PTK, tetapi karena memakai seragam dinas maka efeknya juga menyerang PTK yang lain, termasuk IPDN yang terus menjadi sorotan meski sudah berbenah di berbagai sistemnya. Terus berlanjut di tahun 2009 juga, kembali menyusul kematian Mahasiswa STSN (Sekolah Tinggi Sandi Negara) Wisnu Anjar Kusuma, juga karena kasus kekerasan yang sama. Dan yang terakhir di awal tahun 2010 terungkapnya video kekerasan di STIP, meskipun rekaman lama tetapi tetap saja menjadi polemik klasik di dunia PTK. Serta masih ada lagi kasus-kasus kekerasan lembaga pendidikan lain, baik kedinasan ataupun bukan kedinasan, yang selalu ‘mengkambinghitamkan’ IPDN sebagai trendsetter kekerasan, hingga pada akhirnya melahirkan PP Nomor 14 tahun 2010 Tentang Perguruan Tinggi Kedinasan.
Menyikapi lahirnya Peraturan Pemerintah tersebut, setelah membaca dan melihat komentar dari mahasiswa dari institusi ikatan dinas di media internet dan situs jejaring sosial facebook, jelas sangat keberatan dengan lahirnya PP tersebut. Mengapa demikian? Karena PP tersebut secara sistemik merombak mungkin sebagian atau seluruh sistem yang ada pada perguruan tinggi kedinasan di bawah Kementrian. Meskipun PP tersebut mulai berlaku lima tahun setelah diundangkan, tetapi kekhawatiran yang sangat akan terjadi pada setiap PTK yang sudah berpuluh-puluh tahun eksis dan akan kehilangan kenangan filosofis kampusnya.
Seperti yang tertulis pada pasal 10 BAB V, PP Nomor 14 tahun 2010 ini, syarat bagi peserta didik pendidikan kedinasan adalah pegawai negeri dan calon pegawai negeri pada Kementerian, kementerian lain, atau LPNK. Memiliki ijazah sarjana (S-1) atau yang setara. Sedangkan yang selama ini kita ketahui adalah peserta didik PTK adalah hanya dari lulusan SMA atau sederajat dengan kriteria nilai tertentu dan belum mempunyai status pegawai negeri. Meskipun ada sebagian sekolah ikatan dinas, sebut saja Akademi Kepoisian (AKPOL) yang sudah menerapkan poin tersebut, meskipun bukan di lingkup kementrian, tetapi bagaimana dengan PTK yang berada di bawah kementrian? Kemudian pada pasal 24, Ketentuan Peralihan, poin pertama huruf (b) disebutkan : Untuk pendidikan kedinasan yang peserta didiknya bukan pegawai negeri dan bukan calon pegawai negeri, tersedia 3 (tiga) alternatif penyesuaian:
1) pendidikan kedinasan yang bersangkutan dialihstatuskan menjadi badan hukum pendidikan, yang kementerian lain atau LPNK yang bersangkutan sebagai pendiri memiliki representasi dalam organ representasi pemangku kepentingan, untuk memenuhi kebutuhan sektoral yang berkelanjutan dan memerlukan pengawasan dan penjaminan mutu yang ketat dari kementerian lain atau LPNK yang bersangkutan;
2) pendidikan kedinasan yang bersangkutan diintegrasikan dengan perguruan tinggi negeri
tertentu dan setelah integrasi diadakan kerja sama dengan kemasan khusus untuk memenuhi kebutuhan sektoral yang bersifat temporer dan memerlukan pengawasan dan penjaminan mutu yang ketat dari kementerian lain atau LPNK yang bersangkutan;
3) pendidikan kedinasan yang bersangkutan diintegrasikan dengan perguruan tinggi negeri tertentu atau diserahkan kepada pemerintah daerah jika kebutuhan akan pengawasan dan penjaminan mutu yang ketat dari kementerian lain atau LPNK yang bersangkutan rendah.
Pertanyaan khusus dalam tulisan saya ini adalah, bagaimana dengan kampus IPDN? Seperti kita ketahui bahwa IPDN adalah lembaga yang bernaung di bawah panji Kementrian Dalam Negeri. Setelah melalui sebuah reformasi kebijakan sistem karena kasus yang begitu memukul keras kampus ini, kebijakan tentang status Praja pun berubah. Kalau saja IPDN masih memakai kebijakan yang dulu, bahwa Calon Praja yang dinyatakan lulus menjadi Praja IPDN langsung berstatus CPNS. Sudah dapat dipastikan tidak ada masalah dengan terbitnya PP Nomor 14 tahun 2010 ini. Karena pada Pasal 1 ayat 4 PP Nomor 14 tahun 2010 disebutkan bahwa Peserta didik pendidikan kedinasan adalah pegawai negeri dan calon pegawai negeri yang diberi tugas atau izin oleh Kementerian, kementerian lain, atau lembaga pemerintah nonkementerian yang bersangkutan untuk mengikuti pendidikan kedinasan. Tetapi mengingat berubahnya kebijakan tentang status Praja, maka Peraturan ini menjadi suatu kekhawatiran, mengingat kebijakan baru status Praja IPDN yaitu : tingkat Muda dan Madya berstatus mahasiswa ikatan dinas, dan baru tingkat Nindya dan Wasana berstatus CPNS/PNS. Memang pengangkatan CPNS/PNS hanya masalah jadwal, tetapi tetap saja disisi lain tentang ‘enggan’-nya pengintegrasian PTK ke dalam perguruan tinggi negeri, karena jelas bahwa ada hal-hal yang positif yang tidak akan didapat di perguruan tinggi negeri biasa. Juga tentang pengalihstatusan PTK menjadi Bantuan Hukum Pendidikan yang secara tersirat berarti mewirausahakan pendidikan, dengan kata lain PTK lima tahun ke depan akan meminta ‘pungutan’ dari peserta didiknya. Seperti halnya yang terjadi di beberapa PTN di Indonesia
Terlepas dari pandangan negatif tentang PTK, saya berharap seluruh PTK bisa menampilkan yang terbaik, setidaknya untuk lima tahun ke depan. Tunjukan bahwa PTK memang berbeda dengan PTN. Bukan bermaksud ‘mengeksklusifkan’ diri, tetapi bisa dilihat bahwa Mahasiswa PTK berbeda dengan Mahasiswa PTN biasa, baik dari segi sikap dan perilaku, serta penampilan. Pengabdian kepada negara baik oleh masiswa PTK ataupun alumni PTK sudah banyak membantu program-program pembangunan di negara ini. PTK melahirkan kaum praktisi bukan melahirkan kaum akademisi. Mahasiswa PTK lebih mengedepankan tindakan nyata bukan hanya mengedepankan teori-teori. Oleh karena itu, dari kenyataan positif yang ada tentang PTK, saya berharap ada peninjauan ulang tentang terbitnya PP Nomor 14 Tahun 2010, supaya PTK akan terus eksis di dunia pendidikan di Indonesia. Oleh : MP. Irwan Noor Ikhsan
Mengapa dikatakan demikian? Mari kita putar kembali ingatan kita sekitar tahun 2003, terungkapnya kasus meninggalnya Praja STPDN (sekarang IPDN) Wahyu Hidayat, karena tindak kekerasan senior terhadap junior, kemudian kasus yang sama terulang kembali di IPDN dengan meninggalnya kembali Praja Clift Muntu pada tahun 2006. Kontan lembaga IPDN mendapat pukulan kuat dari berbagai pihak, sampai pada ancaman pembubaran sekolah ini. Tidak lama berselang setelah kasus Clift Muntu, tahun 2007 terjadi lagi kasus yang sama di institusi lain, yang terungkap melalui rekaman video. Agung Bastian Gultom, Taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Departemen Perhubungan, kembali menjadi korban kekerasan lembaga ikatan dinas.
Kejadian ini kemudian melahirkan sebuah animo kuat tentang pembubaran seluruh sekolah ikatan dinas milik departemen-departemen di seluruh Indonesia (sebelum lahirnya PP Nomor 14 Tahun 2010) atau opsi lain, meleburkan Perguruan Tinggi Ikatan Dinas (PTK) menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) biasa. Namun perjuangan dari Departemen bersangkutan terus dilakukan untuk mempertahankan eksistensi lembaga ikatan dinas dengan alasan bahwa Perguruan Tinggi Kedinasan telah banyak menciptakan tenaga-tenaga terampil di lapangan guna mewujudkan pembangunan di Indonesia.
Selang beberapa waktu berlalu, muncul lagi kasus kekerasan di Institusi pendidikan. Sebut saja Universitas Nurtanio Bandung, tahun 2009 terungkap lagi tindak kekerasan yang sama, padahal sebenarnya universitas Nurtanio bukan PTK, tetapi karena memakai seragam dinas maka efeknya juga menyerang PTK yang lain, termasuk IPDN yang terus menjadi sorotan meski sudah berbenah di berbagai sistemnya. Terus berlanjut di tahun 2009 juga, kembali menyusul kematian Mahasiswa STSN (Sekolah Tinggi Sandi Negara) Wisnu Anjar Kusuma, juga karena kasus kekerasan yang sama. Dan yang terakhir di awal tahun 2010 terungkapnya video kekerasan di STIP, meskipun rekaman lama tetapi tetap saja menjadi polemik klasik di dunia PTK. Serta masih ada lagi kasus-kasus kekerasan lembaga pendidikan lain, baik kedinasan ataupun bukan kedinasan, yang selalu ‘mengkambinghitamkan’ IPDN sebagai trendsetter kekerasan, hingga pada akhirnya melahirkan PP Nomor 14 tahun 2010 Tentang Perguruan Tinggi Kedinasan.
Menyikapi lahirnya Peraturan Pemerintah tersebut, setelah membaca dan melihat komentar dari mahasiswa dari institusi ikatan dinas di media internet dan situs jejaring sosial facebook, jelas sangat keberatan dengan lahirnya PP tersebut. Mengapa demikian? Karena PP tersebut secara sistemik merombak mungkin sebagian atau seluruh sistem yang ada pada perguruan tinggi kedinasan di bawah Kementrian. Meskipun PP tersebut mulai berlaku lima tahun setelah diundangkan, tetapi kekhawatiran yang sangat akan terjadi pada setiap PTK yang sudah berpuluh-puluh tahun eksis dan akan kehilangan kenangan filosofis kampusnya.
Seperti yang tertulis pada pasal 10 BAB V, PP Nomor 14 tahun 2010 ini, syarat bagi peserta didik pendidikan kedinasan adalah pegawai negeri dan calon pegawai negeri pada Kementerian, kementerian lain, atau LPNK. Memiliki ijazah sarjana (S-1) atau yang setara. Sedangkan yang selama ini kita ketahui adalah peserta didik PTK adalah hanya dari lulusan SMA atau sederajat dengan kriteria nilai tertentu dan belum mempunyai status pegawai negeri. Meskipun ada sebagian sekolah ikatan dinas, sebut saja Akademi Kepoisian (AKPOL) yang sudah menerapkan poin tersebut, meskipun bukan di lingkup kementrian, tetapi bagaimana dengan PTK yang berada di bawah kementrian? Kemudian pada pasal 24, Ketentuan Peralihan, poin pertama huruf (b) disebutkan : Untuk pendidikan kedinasan yang peserta didiknya bukan pegawai negeri dan bukan calon pegawai negeri, tersedia 3 (tiga) alternatif penyesuaian:
1) pendidikan kedinasan yang bersangkutan dialihstatuskan menjadi badan hukum pendidikan, yang kementerian lain atau LPNK yang bersangkutan sebagai pendiri memiliki representasi dalam organ representasi pemangku kepentingan, untuk memenuhi kebutuhan sektoral yang berkelanjutan dan memerlukan pengawasan dan penjaminan mutu yang ketat dari kementerian lain atau LPNK yang bersangkutan;
2) pendidikan kedinasan yang bersangkutan diintegrasikan dengan perguruan tinggi negeri
tertentu dan setelah integrasi diadakan kerja sama dengan kemasan khusus untuk memenuhi kebutuhan sektoral yang bersifat temporer dan memerlukan pengawasan dan penjaminan mutu yang ketat dari kementerian lain atau LPNK yang bersangkutan;
3) pendidikan kedinasan yang bersangkutan diintegrasikan dengan perguruan tinggi negeri tertentu atau diserahkan kepada pemerintah daerah jika kebutuhan akan pengawasan dan penjaminan mutu yang ketat dari kementerian lain atau LPNK yang bersangkutan rendah.
Pertanyaan khusus dalam tulisan saya ini adalah, bagaimana dengan kampus IPDN? Seperti kita ketahui bahwa IPDN adalah lembaga yang bernaung di bawah panji Kementrian Dalam Negeri. Setelah melalui sebuah reformasi kebijakan sistem karena kasus yang begitu memukul keras kampus ini, kebijakan tentang status Praja pun berubah. Kalau saja IPDN masih memakai kebijakan yang dulu, bahwa Calon Praja yang dinyatakan lulus menjadi Praja IPDN langsung berstatus CPNS. Sudah dapat dipastikan tidak ada masalah dengan terbitnya PP Nomor 14 tahun 2010 ini. Karena pada Pasal 1 ayat 4 PP Nomor 14 tahun 2010 disebutkan bahwa Peserta didik pendidikan kedinasan adalah pegawai negeri dan calon pegawai negeri yang diberi tugas atau izin oleh Kementerian, kementerian lain, atau lembaga pemerintah nonkementerian yang bersangkutan untuk mengikuti pendidikan kedinasan. Tetapi mengingat berubahnya kebijakan tentang status Praja, maka Peraturan ini menjadi suatu kekhawatiran, mengingat kebijakan baru status Praja IPDN yaitu : tingkat Muda dan Madya berstatus mahasiswa ikatan dinas, dan baru tingkat Nindya dan Wasana berstatus CPNS/PNS. Memang pengangkatan CPNS/PNS hanya masalah jadwal, tetapi tetap saja disisi lain tentang ‘enggan’-nya pengintegrasian PTK ke dalam perguruan tinggi negeri, karena jelas bahwa ada hal-hal yang positif yang tidak akan didapat di perguruan tinggi negeri biasa. Juga tentang pengalihstatusan PTK menjadi Bantuan Hukum Pendidikan yang secara tersirat berarti mewirausahakan pendidikan, dengan kata lain PTK lima tahun ke depan akan meminta ‘pungutan’ dari peserta didiknya. Seperti halnya yang terjadi di beberapa PTN di Indonesia
Terlepas dari pandangan negatif tentang PTK, saya berharap seluruh PTK bisa menampilkan yang terbaik, setidaknya untuk lima tahun ke depan. Tunjukan bahwa PTK memang berbeda dengan PTN. Bukan bermaksud ‘mengeksklusifkan’ diri, tetapi bisa dilihat bahwa Mahasiswa PTK berbeda dengan Mahasiswa PTN biasa, baik dari segi sikap dan perilaku, serta penampilan. Pengabdian kepada negara baik oleh masiswa PTK ataupun alumni PTK sudah banyak membantu program-program pembangunan di negara ini. PTK melahirkan kaum praktisi bukan melahirkan kaum akademisi. Mahasiswa PTK lebih mengedepankan tindakan nyata bukan hanya mengedepankan teori-teori. Oleh karena itu, dari kenyataan positif yang ada tentang PTK, saya berharap ada peninjauan ulang tentang terbitnya PP Nomor 14 Tahun 2010, supaya PTK akan terus eksis di dunia pendidikan di Indonesia. Oleh : MP. Irwan Noor Ikhsan
WWP (Wahana Wyata Praja) menuju tahap profesionalitas manajemen organisasi
Wahana Wyata Praja yang lebih dikenal dengan dengan organisasi masyarakat praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri, semakin mengarah pada kondisi kepastian hukum yang lebih baik. tepatnya pada 5 Maret 20010 bertempat di Gedung Wyata Praja Set. Bawah diadakan pertemuan seluruh fungsionaris yang tergabung dalam dinas, biro, maupun unit ekstra kulrikuler. Dibahas pada pertemuan tersebut poin penting tentang tetap eksisnya keberadaan organisasi yang sedang mengalami masa fakum kekuasaan karena pimpinannya belum dipilih, sehingga belum dilaksanakan penyusunan program kegiatan praja secara resmi. Mengingat peraturan Rektor Institut Pemerintahan Dalam Negeri mengenai Organisasi yang menaungi masyarakat praja, telah disahkan perlu adanya tindak lanjut terhadap hal tersebut. Kasubbag. Organisasi dan Kerohanian yang menjadi narasumber dan policy maker central dalam acara tersebut bersama dengan hasil diskusi forum yang mewakili suara dan aspirasi praja menghasilkan beberapa kesimpulan; di antaranya akan diadakan semacam pantauan akhir terhadap komitmen dan bentuk keikutsertaan praja dalam organisasi Wahana Wyata Praja maupun unit tertentu dengan melaksanakan pemantaun akhir beranggotakan perwakilan dari masing-masing instansi, pembimbing teknis instansi terkait, dan juga dari unsur pengasuhan yang nantinya akan memutuskan jumlah anggota nominative yang akan dilantik. Namun sebelum itu semua praja yang ikut serta dalam pantauan akhir tersebut sebagai kronologis aturan dari proses pelantikan akan dijadwalkan mengikuti Diklat Kepemimpinan yang akan dilaksanakan pada awal bulan April mendatang. Diklat tersebut tentunya direncanakan menjadi media memupuk rasa kebersamaan, korsa, melatih sifat dasar kepemimpinan, dan kedisiplinan sebagai wakil masyarakat praja yang mengemban amanah mengatur kegiatan keoeganisasian praja IPDN. by: Guh_Jay
Senior yang haus akan kehormatan
Sudah menjadi kepuasan senior, apabila junior tunduk terhadap rentetan sanksi yang diada-adakan oleh mereka. Rasa bangga apanya??? Merasa disegani oleh yunior??? Mungkin sekilas junior tersebut terlihat segan dengan senior yang bersangkutan. Secara tidak langsung juga telah menumbuhkan pola pikir baru dalam pikiran mereka. Seolah-olah senior tersebut telah menjadi investor bagi tumbuh kembangnya mental bobrok yang membawa malapetaka bagi lembaga. Tapinya lagi, yakin mereka benar-benar segan???
Memberikan cap haram hukuman fisik. Iya, memang kalau hukuman fisik tersebut diforsir hingga menimbulkan keluhan-keluhan yang manusiawi yang kemungkinan terburuk adalah dapat menimbulkan potensi . . . junior melambung. Sudah saatnya senior yang kena. Hanya menghasilkan kemudharatan bagi semua pihak, berarti apalagi namanya kalau bukan salah???
Ada yang lain nggak, selain fisik? Selain membuat junior memendam dendam mereka lalu melakukan hal yang sama ketika mereka jadi senior nanti. Tragis sangat. Sanksi fisik memang cukup mendidik. Tapi sanksi fisik yang seperti apa? Yang tanggalkan seluruh sisi kemanusiaan? Yang maksud baik agar junior bisa lebih baik dan respek pada lingkungannya? Jika memang sanksi fisik tidak akan mengacaukan saraf mereka tentang hal-hal yang bersifat kemanusiaan, oke. Tapi kelayakan sanksi fisik yang berlebihan dan menekan essensi dari pembelajaran tapi malah memadatkan kekerasan . . . sebaiknya mencari solusi lain yang mampu bangkitkan semangat perbaikan, bukan semangat balas dendam.
Suatu pernyataan hukuman fisik akan membuat senior disegani oleh juniornya, harus dicermati lagi bahwa tidak semua junior memiliki filter. Kebanyakan junior menelan bulat-bulat apa yang diperbuat oleh seniornya. Lalu timbul niat untuk melakukan hal yang sama dengan juniornya nanti. Artinya, mata rantai kekerasan kecil kemungkinan untuk putus. Masalah segan atau tidak segan, respek atau tidak respeknya junior terhadap senior ketika senior menjatuhkan hukuman fisik barangkali tidak bisa seutuhnya dibenarkan.
Ada satu output yang timbul. Akan terjadi perubahan sikap pada junior. Junior tersebut akan segan terhadap seniornya yang sudah memberi hukuman fisik karena sering sekali ada pernyataan bahwa segan itu tidak akan muncul tanpa adanya hal-hal yang bersangkutan dengan fisik yang intinya adalah perubahan sikap. Sikapnya di depan senior. Sekali lagi . . . hanya di depan senior. Mana kita tahu, junior yang selama ini diberi hukuman fisik dan didoktrin sampai overload oleh seniornya dan yang biasanya di depan senior selalu nampak segan dan respek . . . tapi di belakang senior tersebut, junior yang bersangkutan sudah memasukkan seniornya ke dalam daftar hitam mereka, yang artinya membangun rasa segan dalam diri junior dengan sanksi fisik dari senior tidak akan membuahkan apa-apa, kecuali keseganan imitasi dan pewarisan input negatif.
Bila senior ingin dihormati dan disegani oleh junior adalah manusiawi. Kultur yang ada di IPDN memang demikian adanya. Hukuman fisik . . . statement yang berkembang adalah, tanpa satu hal ini maka senior tidak akan dihormati. Pernyataan yang cukup bodoh. Seperti tidak ada alternatif lain jika memang senior ingin dihormati juniornya. Sementara itu junior belum tentu segan dan hormat di depan maupun belakang. Bisa saja junior itu hanya segan di depan tapi mulut dan hatinya penuh dengan makian bila sudah ada di belakang. Bayarannya adalah senior itu tidak memiliki harga diri lagi di depan juniornya.
Rasa hormat tumbuh secara alami
Keteladanan mampu menumbuhkan rasa hormat secara alami. Walaupun keteladanan itu penampakannya tidak begitu terasa jika dibandingkan dengan hukuman fisik. Kendati demikian, jika saja seseorang bisa melihat dengan hati nurani letak keteladanan itu dan merasakan manfaatnya maka cukup dengan itu saja merubah rasa hormat junior. Barangkali cara ini sudah digunakan, tapi junior belum mau menerima. Selanjutnya, senior akan berkesimpulan bahwa junior ini perlu dikerasi. Jadi peran serta junior dalam meneladani senior-senior mereka juga masuk hitungan. Karena dalam membangun almamater ini bukan dengan ayunan tangan tapi dengan keteladanan. Ayunan tangan hingga sekarang masih bergerilya tapi keteladanan tetap yang utama.***
Memberikan cap haram hukuman fisik. Iya, memang kalau hukuman fisik tersebut diforsir hingga menimbulkan keluhan-keluhan yang manusiawi yang kemungkinan terburuk adalah dapat menimbulkan potensi . . . junior melambung. Sudah saatnya senior yang kena. Hanya menghasilkan kemudharatan bagi semua pihak, berarti apalagi namanya kalau bukan salah???
Ada yang lain nggak, selain fisik? Selain membuat junior memendam dendam mereka lalu melakukan hal yang sama ketika mereka jadi senior nanti. Tragis sangat. Sanksi fisik memang cukup mendidik. Tapi sanksi fisik yang seperti apa? Yang tanggalkan seluruh sisi kemanusiaan? Yang maksud baik agar junior bisa lebih baik dan respek pada lingkungannya? Jika memang sanksi fisik tidak akan mengacaukan saraf mereka tentang hal-hal yang bersifat kemanusiaan, oke. Tapi kelayakan sanksi fisik yang berlebihan dan menekan essensi dari pembelajaran tapi malah memadatkan kekerasan . . . sebaiknya mencari solusi lain yang mampu bangkitkan semangat perbaikan, bukan semangat balas dendam.
Suatu pernyataan hukuman fisik akan membuat senior disegani oleh juniornya, harus dicermati lagi bahwa tidak semua junior memiliki filter. Kebanyakan junior menelan bulat-bulat apa yang diperbuat oleh seniornya. Lalu timbul niat untuk melakukan hal yang sama dengan juniornya nanti. Artinya, mata rantai kekerasan kecil kemungkinan untuk putus. Masalah segan atau tidak segan, respek atau tidak respeknya junior terhadap senior ketika senior menjatuhkan hukuman fisik barangkali tidak bisa seutuhnya dibenarkan.
Ada satu output yang timbul. Akan terjadi perubahan sikap pada junior. Junior tersebut akan segan terhadap seniornya yang sudah memberi hukuman fisik karena sering sekali ada pernyataan bahwa segan itu tidak akan muncul tanpa adanya hal-hal yang bersangkutan dengan fisik yang intinya adalah perubahan sikap. Sikapnya di depan senior. Sekali lagi . . . hanya di depan senior. Mana kita tahu, junior yang selama ini diberi hukuman fisik dan didoktrin sampai overload oleh seniornya dan yang biasanya di depan senior selalu nampak segan dan respek . . . tapi di belakang senior tersebut, junior yang bersangkutan sudah memasukkan seniornya ke dalam daftar hitam mereka, yang artinya membangun rasa segan dalam diri junior dengan sanksi fisik dari senior tidak akan membuahkan apa-apa, kecuali keseganan imitasi dan pewarisan input negatif.
Bila senior ingin dihormati dan disegani oleh junior adalah manusiawi. Kultur yang ada di IPDN memang demikian adanya. Hukuman fisik . . . statement yang berkembang adalah, tanpa satu hal ini maka senior tidak akan dihormati. Pernyataan yang cukup bodoh. Seperti tidak ada alternatif lain jika memang senior ingin dihormati juniornya. Sementara itu junior belum tentu segan dan hormat di depan maupun belakang. Bisa saja junior itu hanya segan di depan tapi mulut dan hatinya penuh dengan makian bila sudah ada di belakang. Bayarannya adalah senior itu tidak memiliki harga diri lagi di depan juniornya.
Rasa hormat tumbuh secara alami
Keteladanan mampu menumbuhkan rasa hormat secara alami. Walaupun keteladanan itu penampakannya tidak begitu terasa jika dibandingkan dengan hukuman fisik. Kendati demikian, jika saja seseorang bisa melihat dengan hati nurani letak keteladanan itu dan merasakan manfaatnya maka cukup dengan itu saja merubah rasa hormat junior. Barangkali cara ini sudah digunakan, tapi junior belum mau menerima. Selanjutnya, senior akan berkesimpulan bahwa junior ini perlu dikerasi. Jadi peran serta junior dalam meneladani senior-senior mereka juga masuk hitungan. Karena dalam membangun almamater ini bukan dengan ayunan tangan tapi dengan keteladanan. Ayunan tangan hingga sekarang masih bergerilya tapi keteladanan tetap yang utama.***
Senin, 29 Maret 2010
Praktek Implementasi Kewenangan Camat dan Tupoksi Kecamatan
Penjelasan mengenai implementasi kewenangan camat dan tupoksi kecamatan berdasarkan PP 19 tahun 2008 oleh MP.Kristoporus Dawi (Fak. Polpem-IPDN 2010)
A. Pendahuluan
Pembangunan Daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan spritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu, pembangunan daerah juga bertujuan mengembangkan potensi alam, ekonomi, sosial budaya, maupun rohaniah dan mental agar diperoleh daya guna dan hasil guna yang optimal untuk memantapkan dan memperkokoh keberadaan daerah.
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka terjadi perubahan terhadap sistem pemerintahan nasional. Perubahan sistem pemerintahan nasional tersebut terlihat pada asas pemerintahan, yakni adanya perubahan asas yang semula bersifat sentralisasi menjadi asas yang bersifat desentralisasi. Desentralisasi ditandai dengan adanya otonomi daerah di mana kabupaten dan kota diberi wewenang untuk membangun daerahnya masing-masing dan mengembangkan potensi wilayahnya untuk menunjang pelaksanaan pembangunan di daerah kabupaten/ kota tersebut.
Perubahan sistem pemerintahan dari yang sentralistik ke desentralistik, tetap disertai dengan rasa tanggung jawab untuk sama-sama bisa memajukan bangsa Indonesia secara umum. Bukan untuk saling bersikap egois dan individualistis karena dengan semua sumber daya yang dimilikinya, sehingga melupakan bahwa Indonesia tetap merupakan suatu negara kesatuan. Dengan adanya perubahan ini bukan berarti pusat lepas tanggung jawab sepenuhnya terhadap daerah. Pembinaan dari pusat tetap ada. Artinya pusat di sini berperan sebagai fasilitator dan dinamisator pembangunan. Bahkan bagi daerah yang sumber dayanya kurang, peran pusat begitu besar dalam menyokong pelaksanaan roda pemerintahan dan pembangunan di daerah tersebut. Pemberian titik berat otonomi pada pemerintah kabupaten/ kota erat kaitannya dengan fungsi pemerintah daerah sebagai penyedia pelayanan kepada masyarakat dan pelaksana pembangunan, di samping sebagai pembina kestabilan sosial, politik, ekonomi dan kesatuan bangsa.
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Otonomi yang diberikan kepada daerah kabupaten dan kota dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proposional. Artinya, pelimpahan tanggung jawab akan diikuti oleh pengaturan, pembagian, pemanfaatan, dan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Otonomi nyata adalah keleluasan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan, serta tumbuh dan hidup berkembang di daerah.
Dampak pelaksanaan otonomi daerah sangat besar. Adanya pelimpahan kewenangan pada pemerintahan daerah (Pemda), membuat Pemda lebih leluasa dan kreatif dalam membangunan daerah. Pembagian urusan wajib dan pilihan sebagaimana yang diatur dalam PP38/2007 memberikan batasan yang jelas, sehingga pembangunan daerah dapat disesuaikan dengan karakteristik masing-masing daerah.
Sasaran utama otonomi daerah adalah pendekatan pelayanan kepada masyarakat. Urusan-urusan yang dapat diselesaikan didaerah menjadi tanggung jawab dari pemda bersangkutan. Masyarakat tidak lagi berurusan di pusat. Jadi rentang kendali (span of control) lebih pendek. Dengan begitu diharapkan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasan daerah untuk menyelenggarakan pemerintah yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenangan di bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Kewenangan di bidang lainnya meliputi: kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, Sistem Administrasi Negara dan Lembaga Perekonomian Negara, pembinaan dan pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM), pendayagunaan Sumber Daya Alam (SDA) serta teknologi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional.
B. Pembahasan
Kecamatan merupakan perangkat daerah yang dibentuk berdasarkan Perda. Sebagai perangkat daerah organisasi Kecamatan dipimpin oleh seorang Camat yang melaksanakan sebagian urusan otonomi daerah yang dilimpahkan Bupati dan tugas-tugas umum pemerintahan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah organisasi Kecamatan menjadi ujung tombak pelayanan masyarakat. Hal ini disebabkan Kecamatan menjadi penyambung kebijakan pemda dengan masyarakat luas. Kebijakan otonomi daerah merupakan suatu itikad baik pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kecamatan sebagai unsur perangkat daerah memiliki peran vital dalam keberhasilan otonomi daerah.
Fungsi-fungsi koordinatif dan pembinaan pada level desa dan kelurahan menjadi tanggung jawab Kecamatan. Oleh sebab itu pengembangan lembaga Kecamatan menjadi hal yang urgen untuk dilaksanakan.
Kecamatan adalah wilayah kerja Camat selaku Perangkat Daerah/Kota. Ada perbedaan mendasar pengertian Kecamatan dari UU No 5/74 dengan UU 32/2004. Dalam UU 5/74 Kecamatan merupakan perangkat wilayah dalam rangka pelaksanaan dekonstrasi. Sedangkan Kecamatan menurut UU 32/2004 adalah perangkat daerah. Oleh karena itu Kecamatan menerima sebagian wewenang yang dilimpahkan oleh Kepala Daerah. Disamping itu Kecamatan adalah sebagai koordinator dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan umum.
Dari penjelasan diatas dapat dilihat Kecamatan memiliki keunikan khusus. Dimana Kecamatan menjadi koordinator di wilayah kerjanya dengan melaksanakan sebagian pelimpahan wewenang dari Kepala Daerah (Bupati/Walikota). Hal ini berarti ada dua tugas utama Kecamatan yaitu sebagai pelayan masyarakat dan melakukan pembinaan wilayah.
Tugas pembinaan wilayah dilakukan dengan melakukan koordinasi pemerintahan terhadap seluruh instansi pemerintah di wilayah kecamatan, penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban, penegakan peraturan perundang-undangan, pembinaan penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan, serta pelaksanaan tugas pemerintahan lainnya yang belum dilaksanakan oleh pemerintahan desa/kelurahan dan/atau instansi pemerintah lainnya di wilayah kecamatan. Tugas ini berat karena dalam UU 32/2004 kedudukan desa tidak berada dibawah Kecamatan dan memiliki otonomi sendiri dalam melaksanakan pemerintahannya. Oleh karena itu harus ada penegasan dari Pemda dalam bentuk perda atau keputusan Kepala Daerah yang memperkuat institusi Kecamatan dalam melakukan pembinaan terhadap pemdes.
Maksimalnya peran dan fungsi Kecamatan dapat dilihat dari pelaksanaan kedua tugas di atas. Dari segi pelayan masyarakat, pihak Kecamatan menjalankan sebagian wewenang yang diberikan oleh Pemda. Hal ini sesuai dengan esensi azaz desentralisai di mana ada pelimpahan sebagian wewenang kepada level pemerintahan di bawah untuk mendukung tugas-tugas pemerintahan yang lain. Berarti pemda menyerahkan sebagian tangung jawab kepada kecamatan. Manfaat yang diterima masyarakat adalah rentang pelayanan pendek sehingga pelayanan yang diterima bisa cepat dan berkualitas. Permasalahan yang timbul adalah tidak adanya pelimpahan wewenang dari pemda kepada kecamatan. Sehingga fungsi Kecamatan menjadi mandul.
Permasalahan ini timbul karena beberapa faktor. Adanya ego sektoral antar bidang pemerintahan adalah salah satu faktor penyebab. Pelimpahan wewenang pada pihak Kecamatan harus disertai dengan personil dan pembiayaan yang cukup. Hal ini seringkali menimbulkan kecemburuan pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lain. Karena dengan begitu wewenang dan tanggung jawab SKPD berkurang. Padahal apabila setiap urusan atau tindakan pemerintah daerah pada level Kecamatan menjadi tanggung jawab Kecamatan, maka hal ini akan mempermudah tugas-tugas dari Pemda.
Urusan-urusan yang sifatnya lintas Kecamatan itu menjadi porsi dari Pemda melalui Dinas dan Badan atau SKPD yang dipercayakan menanganinya. Dalam hal ini koordinasi antar Kecamatan tetap harus dilaksanakan. Dengan demikian diharapkan pelayanan kepada masyarakat lebih cepat, karena orang tidak perlu datang lagi ke pusat Kabupaten.
Untuk pelaksanaan tugas pembinaan wilayah, pihak Kecamatan merupakan koordinator di wilayah kerjanya. Agar tugas ini bisa berjalan maksimal, perlu adanya dukungan dana dan persponil dari pemda. Berarti pengalokasian dana dalam APBD untuk SKPD Kecamatan harus diperbesar. Selain itu kemampuan aparat Kecamatan dalam melakukan pembinaan harus didukung oleh sumber daya yang baik juga baik sarana maupun prasarana pendukung. Pemberian insentif khusus (PP 59/2007) untuk aparat Kecamatan juga dapat perangsang peningkatan kerja pegawai Kecamatan. Dalam hal penempatan pegawai Kecamatan, hendaklah diperhatikan latar belakang pendidikan, juga hubungan sosiokultutal dengan masyarakat setempat. Hal ini penting karena kekhususan dari Kecamatan itu sendiri.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan pada Pasal IV menjelaskan secara jelas Kedudukan, Tugas dan Wewenang Camat.
Camat menyelenggarakan tugas umum pemerintahan yang meliputi:
a. mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;
a) mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam perencanaan pembangunan lingkup kecamatan dalam forum musyawarah perencanaan pembangunan di desa/kelurahan dan kecamatan;
b) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap keseluruhan unit kerja baik pemerintah maupun swasta yang mempunyai program kerja dan kegiatan pemberdayaan masyarakat di wilayah kerja kecamatan;
c) melakukan evaluasi terhadap berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat di wilayah kecamatan baik yang dilakukan oleh unit kerja pemerintah maupun swasta;
d) melakukan tugas-tugas lain di bidang pemberdayaan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
e) melaporkan pelaksanaan tugas pemberdayaan masyarakat di wilayah kerja kecamatan kepada bupati/walikota dengan tembusan kepada satuan kerja perangkat daerah yang membidangi urusan pemberdayaan masyarakat.
b. mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum;
a) melakukan koordinasi dengan kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Tentara Nasional Indonesia mengenai program dan kegiatan penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum di wilayah kecamatan;
b) melakukan koordinasi dengan pemuka agama yang berada di wilayah kerja kecamatan untuk mewujudkan ketenteraman dan ketertiban umum masyarakat di wilayah kecamatan; dan
c) melaporkan pelaksanaan pembinaan ketenteraman dan ketertiban kepada bupati/walikota.
c. mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan;
a) melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah yang tugas dan fungsinya di bidang penerapan peraturan perundang-undangan;
b) melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah yang tugas dan fungsinya di bidang penegakan peraturan perundang-undangan dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
c) melaporkan pelaksanaan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan di wilayah kecamatan kepada bupati/walikota.
d. mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum;
a) melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah dan/atau instansi vertikal yang tugas dan fungsinya di bidang pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum;
b) melakukan koordinasi dengan pihak swasta dalam pelaksanaan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; dan
c) melaporkan pelaksanaan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum di wilayah kecamatan kepada bupati/walikota.
e. mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan;
a) melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di bidang penyelenggaraan kegiatan pemerintahan;
b) melakukan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan dengan satuan kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di bidang penyelenggaraan kegiatan pemerintahan;
c) melakukan evaluasi penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan; dan
d) melaporkan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan kepada bupati/walikota.
f. membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan;
a) melakukan pembinaan dan pengawasan tertib administrasi pemerintahan desa dan/atau kelurahan;
b) memberikan bimbingan, supervisi, fasilitasi, dan konsultasi pelaksanaan administrasi desa dan/atau kelurahan;
c) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kepala desa dan/atau lurah;
d) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perangkat desa dan/atau kelurahan;
e) melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan di tingkat kecamatan; dan
f) melaporkan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan di tingkat kecamatan kepada bupati/walikota.
g. melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan.
a) melakukan perencanaan kegiatan pelayanan kepada masyarakat di kecamatan;
b) melakukan percepatan pencapaian standar pelayanan minimal di wilayahnya;
c) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat di kecamatan;
d) melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat di wilayah kecamatan;
e) melaporkan pelaksanaan kegiatan pelayanan kepada masyarakat di wilayah kecamatan kepada Bupati/Walikota.
Camat melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati/walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah, yang meliputi aspek:
a.perizinan;
b.rekomendasi;
c.koordinasi;
d.pembinaan;
e.pengawasan;
f.fasilitasi;
g.penetapan;
h. penyelenggaraan; dan
i. kewenangan lain yang dilimpahkan.
Pelaksanaan kewenangan camat mencakup penyelenggaraan urusan pemerintahan pada lingkup kecamatan sesuai peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Pelimpahan sebagian wewenang bupati/walikota kepada Camat dilakukan berdasarkan kriteria eksternalitas dan efisiensi.
Yang dimaksud dengan "eksternalitas" adalah kriteria pelimpahan urusan pemerintahan dengan memperhatikan dampak yang timbul sebagai akibat dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat internal kecamatan, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan camat.
Yang dimaksud dengan "efisiensi" adalah kriteria pelimpahan urusan pemerintahan dengan memperhatikan daya guna tertinggi yang dapat diperoleh dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan dilingkup kecamatan. Apabila urusan pemerintahan lebih berdayaguna ditangani oleh kecamatan, maka urusan tersebut menjadi kewenangan camat.
C. Penutup
Sejalan dengan dikeluarkannya undang-undang yang mengatur tentang otonomi daerah baik pada UU nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU nomor 32 Tahun 2004, maka implementasi kebijakan otonomi daerah telah mendorong terjadinya perubahan, baik secara struktural, fungsional maupun kultural dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu perubahan yang sangat esensial yaitu menyangkut kedudukan, tugas pokok dan fungsi kecamatan yang sebelumnya merupakan perangkat wilayah dalam kerangka asas dekonsentrasi, berubah statusnya menjadi perangkat daerah dalam kerangka asas desentralisasi. Sebagai perangkat daerah, Camat dalam menjalankan tugasnya mendapat pelimpahan kewenangan dari dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota.
Sebagaimana dijelaskan pada bagian pembahasan mengenai kewenangan kecamatan serta tugas pokok dan fungsi kecamatan secara detail, namun dalam pelaksanaannya dilapangan masih banyak kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi ataupun pemerintah kabupaten/kota yang tidak sesuai. Hal ini dapat dilihat dari keecilnya wewenang yang diberikan kepada kecamatan dalam melaksanakan tugasnya di kecamatan. Seharusnya pelimpahan wewenang yang besar pada kecamatan akan dapat memberikan sumbangan yang besar pada pembangunan daerah baik secara fisik maupun sumber daya manusianya.
Melihat dari permasalahan tersebut, maka penulis menarik suatu kesimpulan bahwa kewenangan yang diberikan kepada kecamatan seharusnya lebih besar agar pelayanan publik kepada masyarakat dapat dilaksanakan dengan baik dan pembangunan baik sumber daya manusia maupun pembangunan fisik dapat dengan cepat terwujud. Sehingga sudah selayaknya seorang camat dalam menjalankan tugasnya pantas menggunakan tanda jabatan khusus sebagai perpanjangan tangan Bupati/Wali Kota di daerah kerjanya.
A. Pendahuluan
Pembangunan Daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan spritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu, pembangunan daerah juga bertujuan mengembangkan potensi alam, ekonomi, sosial budaya, maupun rohaniah dan mental agar diperoleh daya guna dan hasil guna yang optimal untuk memantapkan dan memperkokoh keberadaan daerah.
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka terjadi perubahan terhadap sistem pemerintahan nasional. Perubahan sistem pemerintahan nasional tersebut terlihat pada asas pemerintahan, yakni adanya perubahan asas yang semula bersifat sentralisasi menjadi asas yang bersifat desentralisasi. Desentralisasi ditandai dengan adanya otonomi daerah di mana kabupaten dan kota diberi wewenang untuk membangun daerahnya masing-masing dan mengembangkan potensi wilayahnya untuk menunjang pelaksanaan pembangunan di daerah kabupaten/ kota tersebut.
Perubahan sistem pemerintahan dari yang sentralistik ke desentralistik, tetap disertai dengan rasa tanggung jawab untuk sama-sama bisa memajukan bangsa Indonesia secara umum. Bukan untuk saling bersikap egois dan individualistis karena dengan semua sumber daya yang dimilikinya, sehingga melupakan bahwa Indonesia tetap merupakan suatu negara kesatuan. Dengan adanya perubahan ini bukan berarti pusat lepas tanggung jawab sepenuhnya terhadap daerah. Pembinaan dari pusat tetap ada. Artinya pusat di sini berperan sebagai fasilitator dan dinamisator pembangunan. Bahkan bagi daerah yang sumber dayanya kurang, peran pusat begitu besar dalam menyokong pelaksanaan roda pemerintahan dan pembangunan di daerah tersebut. Pemberian titik berat otonomi pada pemerintah kabupaten/ kota erat kaitannya dengan fungsi pemerintah daerah sebagai penyedia pelayanan kepada masyarakat dan pelaksana pembangunan, di samping sebagai pembina kestabilan sosial, politik, ekonomi dan kesatuan bangsa.
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Otonomi yang diberikan kepada daerah kabupaten dan kota dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proposional. Artinya, pelimpahan tanggung jawab akan diikuti oleh pengaturan, pembagian, pemanfaatan, dan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Otonomi nyata adalah keleluasan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan, serta tumbuh dan hidup berkembang di daerah.
Dampak pelaksanaan otonomi daerah sangat besar. Adanya pelimpahan kewenangan pada pemerintahan daerah (Pemda), membuat Pemda lebih leluasa dan kreatif dalam membangunan daerah. Pembagian urusan wajib dan pilihan sebagaimana yang diatur dalam PP38/2007 memberikan batasan yang jelas, sehingga pembangunan daerah dapat disesuaikan dengan karakteristik masing-masing daerah.
Sasaran utama otonomi daerah adalah pendekatan pelayanan kepada masyarakat. Urusan-urusan yang dapat diselesaikan didaerah menjadi tanggung jawab dari pemda bersangkutan. Masyarakat tidak lagi berurusan di pusat. Jadi rentang kendali (span of control) lebih pendek. Dengan begitu diharapkan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasan daerah untuk menyelenggarakan pemerintah yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenangan di bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Kewenangan di bidang lainnya meliputi: kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, Sistem Administrasi Negara dan Lembaga Perekonomian Negara, pembinaan dan pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM), pendayagunaan Sumber Daya Alam (SDA) serta teknologi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional.
B. Pembahasan
Kecamatan merupakan perangkat daerah yang dibentuk berdasarkan Perda. Sebagai perangkat daerah organisasi Kecamatan dipimpin oleh seorang Camat yang melaksanakan sebagian urusan otonomi daerah yang dilimpahkan Bupati dan tugas-tugas umum pemerintahan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah organisasi Kecamatan menjadi ujung tombak pelayanan masyarakat. Hal ini disebabkan Kecamatan menjadi penyambung kebijakan pemda dengan masyarakat luas. Kebijakan otonomi daerah merupakan suatu itikad baik pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kecamatan sebagai unsur perangkat daerah memiliki peran vital dalam keberhasilan otonomi daerah.
Fungsi-fungsi koordinatif dan pembinaan pada level desa dan kelurahan menjadi tanggung jawab Kecamatan. Oleh sebab itu pengembangan lembaga Kecamatan menjadi hal yang urgen untuk dilaksanakan.
Kecamatan adalah wilayah kerja Camat selaku Perangkat Daerah/Kota. Ada perbedaan mendasar pengertian Kecamatan dari UU No 5/74 dengan UU 32/2004. Dalam UU 5/74 Kecamatan merupakan perangkat wilayah dalam rangka pelaksanaan dekonstrasi. Sedangkan Kecamatan menurut UU 32/2004 adalah perangkat daerah. Oleh karena itu Kecamatan menerima sebagian wewenang yang dilimpahkan oleh Kepala Daerah. Disamping itu Kecamatan adalah sebagai koordinator dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan umum.
Dari penjelasan diatas dapat dilihat Kecamatan memiliki keunikan khusus. Dimana Kecamatan menjadi koordinator di wilayah kerjanya dengan melaksanakan sebagian pelimpahan wewenang dari Kepala Daerah (Bupati/Walikota). Hal ini berarti ada dua tugas utama Kecamatan yaitu sebagai pelayan masyarakat dan melakukan pembinaan wilayah.
Tugas pembinaan wilayah dilakukan dengan melakukan koordinasi pemerintahan terhadap seluruh instansi pemerintah di wilayah kecamatan, penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban, penegakan peraturan perundang-undangan, pembinaan penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan, serta pelaksanaan tugas pemerintahan lainnya yang belum dilaksanakan oleh pemerintahan desa/kelurahan dan/atau instansi pemerintah lainnya di wilayah kecamatan. Tugas ini berat karena dalam UU 32/2004 kedudukan desa tidak berada dibawah Kecamatan dan memiliki otonomi sendiri dalam melaksanakan pemerintahannya. Oleh karena itu harus ada penegasan dari Pemda dalam bentuk perda atau keputusan Kepala Daerah yang memperkuat institusi Kecamatan dalam melakukan pembinaan terhadap pemdes.
Maksimalnya peran dan fungsi Kecamatan dapat dilihat dari pelaksanaan kedua tugas di atas. Dari segi pelayan masyarakat, pihak Kecamatan menjalankan sebagian wewenang yang diberikan oleh Pemda. Hal ini sesuai dengan esensi azaz desentralisai di mana ada pelimpahan sebagian wewenang kepada level pemerintahan di bawah untuk mendukung tugas-tugas pemerintahan yang lain. Berarti pemda menyerahkan sebagian tangung jawab kepada kecamatan. Manfaat yang diterima masyarakat adalah rentang pelayanan pendek sehingga pelayanan yang diterima bisa cepat dan berkualitas. Permasalahan yang timbul adalah tidak adanya pelimpahan wewenang dari pemda kepada kecamatan. Sehingga fungsi Kecamatan menjadi mandul.
Permasalahan ini timbul karena beberapa faktor. Adanya ego sektoral antar bidang pemerintahan adalah salah satu faktor penyebab. Pelimpahan wewenang pada pihak Kecamatan harus disertai dengan personil dan pembiayaan yang cukup. Hal ini seringkali menimbulkan kecemburuan pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lain. Karena dengan begitu wewenang dan tanggung jawab SKPD berkurang. Padahal apabila setiap urusan atau tindakan pemerintah daerah pada level Kecamatan menjadi tanggung jawab Kecamatan, maka hal ini akan mempermudah tugas-tugas dari Pemda.
Urusan-urusan yang sifatnya lintas Kecamatan itu menjadi porsi dari Pemda melalui Dinas dan Badan atau SKPD yang dipercayakan menanganinya. Dalam hal ini koordinasi antar Kecamatan tetap harus dilaksanakan. Dengan demikian diharapkan pelayanan kepada masyarakat lebih cepat, karena orang tidak perlu datang lagi ke pusat Kabupaten.
Untuk pelaksanaan tugas pembinaan wilayah, pihak Kecamatan merupakan koordinator di wilayah kerjanya. Agar tugas ini bisa berjalan maksimal, perlu adanya dukungan dana dan persponil dari pemda. Berarti pengalokasian dana dalam APBD untuk SKPD Kecamatan harus diperbesar. Selain itu kemampuan aparat Kecamatan dalam melakukan pembinaan harus didukung oleh sumber daya yang baik juga baik sarana maupun prasarana pendukung. Pemberian insentif khusus (PP 59/2007) untuk aparat Kecamatan juga dapat perangsang peningkatan kerja pegawai Kecamatan. Dalam hal penempatan pegawai Kecamatan, hendaklah diperhatikan latar belakang pendidikan, juga hubungan sosiokultutal dengan masyarakat setempat. Hal ini penting karena kekhususan dari Kecamatan itu sendiri.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan pada Pasal IV menjelaskan secara jelas Kedudukan, Tugas dan Wewenang Camat.
Camat menyelenggarakan tugas umum pemerintahan yang meliputi:
a. mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;
a) mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam perencanaan pembangunan lingkup kecamatan dalam forum musyawarah perencanaan pembangunan di desa/kelurahan dan kecamatan;
b) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap keseluruhan unit kerja baik pemerintah maupun swasta yang mempunyai program kerja dan kegiatan pemberdayaan masyarakat di wilayah kerja kecamatan;
c) melakukan evaluasi terhadap berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat di wilayah kecamatan baik yang dilakukan oleh unit kerja pemerintah maupun swasta;
d) melakukan tugas-tugas lain di bidang pemberdayaan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
e) melaporkan pelaksanaan tugas pemberdayaan masyarakat di wilayah kerja kecamatan kepada bupati/walikota dengan tembusan kepada satuan kerja perangkat daerah yang membidangi urusan pemberdayaan masyarakat.
b. mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum;
a) melakukan koordinasi dengan kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Tentara Nasional Indonesia mengenai program dan kegiatan penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum di wilayah kecamatan;
b) melakukan koordinasi dengan pemuka agama yang berada di wilayah kerja kecamatan untuk mewujudkan ketenteraman dan ketertiban umum masyarakat di wilayah kecamatan; dan
c) melaporkan pelaksanaan pembinaan ketenteraman dan ketertiban kepada bupati/walikota.
c. mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan;
a) melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah yang tugas dan fungsinya di bidang penerapan peraturan perundang-undangan;
b) melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah yang tugas dan fungsinya di bidang penegakan peraturan perundang-undangan dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
c) melaporkan pelaksanaan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan di wilayah kecamatan kepada bupati/walikota.
d. mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum;
a) melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah dan/atau instansi vertikal yang tugas dan fungsinya di bidang pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum;
b) melakukan koordinasi dengan pihak swasta dalam pelaksanaan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; dan
c) melaporkan pelaksanaan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum di wilayah kecamatan kepada bupati/walikota.
e. mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan;
a) melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di bidang penyelenggaraan kegiatan pemerintahan;
b) melakukan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan dengan satuan kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di bidang penyelenggaraan kegiatan pemerintahan;
c) melakukan evaluasi penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan; dan
d) melaporkan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan kepada bupati/walikota.
f. membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan;
a) melakukan pembinaan dan pengawasan tertib administrasi pemerintahan desa dan/atau kelurahan;
b) memberikan bimbingan, supervisi, fasilitasi, dan konsultasi pelaksanaan administrasi desa dan/atau kelurahan;
c) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kepala desa dan/atau lurah;
d) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perangkat desa dan/atau kelurahan;
e) melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan di tingkat kecamatan; dan
f) melaporkan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan di tingkat kecamatan kepada bupati/walikota.
g. melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan.
a) melakukan perencanaan kegiatan pelayanan kepada masyarakat di kecamatan;
b) melakukan percepatan pencapaian standar pelayanan minimal di wilayahnya;
c) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat di kecamatan;
d) melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat di wilayah kecamatan;
e) melaporkan pelaksanaan kegiatan pelayanan kepada masyarakat di wilayah kecamatan kepada Bupati/Walikota.
Camat melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati/walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah, yang meliputi aspek:
a.perizinan;
b.rekomendasi;
c.koordinasi;
d.pembinaan;
e.pengawasan;
f.fasilitasi;
g.penetapan;
h. penyelenggaraan; dan
i. kewenangan lain yang dilimpahkan.
Pelaksanaan kewenangan camat mencakup penyelenggaraan urusan pemerintahan pada lingkup kecamatan sesuai peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Pelimpahan sebagian wewenang bupati/walikota kepada Camat dilakukan berdasarkan kriteria eksternalitas dan efisiensi.
Yang dimaksud dengan "eksternalitas" adalah kriteria pelimpahan urusan pemerintahan dengan memperhatikan dampak yang timbul sebagai akibat dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat internal kecamatan, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan camat.
Yang dimaksud dengan "efisiensi" adalah kriteria pelimpahan urusan pemerintahan dengan memperhatikan daya guna tertinggi yang dapat diperoleh dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan dilingkup kecamatan. Apabila urusan pemerintahan lebih berdayaguna ditangani oleh kecamatan, maka urusan tersebut menjadi kewenangan camat.
C. Penutup
Sejalan dengan dikeluarkannya undang-undang yang mengatur tentang otonomi daerah baik pada UU nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU nomor 32 Tahun 2004, maka implementasi kebijakan otonomi daerah telah mendorong terjadinya perubahan, baik secara struktural, fungsional maupun kultural dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu perubahan yang sangat esensial yaitu menyangkut kedudukan, tugas pokok dan fungsi kecamatan yang sebelumnya merupakan perangkat wilayah dalam kerangka asas dekonsentrasi, berubah statusnya menjadi perangkat daerah dalam kerangka asas desentralisasi. Sebagai perangkat daerah, Camat dalam menjalankan tugasnya mendapat pelimpahan kewenangan dari dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota.
Sebagaimana dijelaskan pada bagian pembahasan mengenai kewenangan kecamatan serta tugas pokok dan fungsi kecamatan secara detail, namun dalam pelaksanaannya dilapangan masih banyak kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi ataupun pemerintah kabupaten/kota yang tidak sesuai. Hal ini dapat dilihat dari keecilnya wewenang yang diberikan kepada kecamatan dalam melaksanakan tugasnya di kecamatan. Seharusnya pelimpahan wewenang yang besar pada kecamatan akan dapat memberikan sumbangan yang besar pada pembangunan daerah baik secara fisik maupun sumber daya manusianya.
Melihat dari permasalahan tersebut, maka penulis menarik suatu kesimpulan bahwa kewenangan yang diberikan kepada kecamatan seharusnya lebih besar agar pelayanan publik kepada masyarakat dapat dilaksanakan dengan baik dan pembangunan baik sumber daya manusia maupun pembangunan fisik dapat dengan cepat terwujud. Sehingga sudah selayaknya seorang camat dalam menjalankan tugasnya pantas menggunakan tanda jabatan khusus sebagai perpanjangan tangan Bupati/Wali Kota di daerah kerjanya.
ETIKA BIROKRASI
Makalah tentang Etika Birokrasi ini merupakan hasil tugas mata kuliah Etika Pemerintahan semester III Fakultas Politik Pemerintahan IPDN tahun 2009 kelas F-6, oleh MP. Kristoporus Dawi.
A. PENDAHULUAN.
Berbicara tentang Etika Birokrasi dewasa ini menjadi topik yang sangat menarik dibahas, terutama dalam mewujudkan aparatur yang bersih dan berwibawa. Kecenderungan atau gejala yang timbul dewasa ini banyak aparat birokrasi dalam pelaksanaan tugasnya sering melanggar aturan main yang telah ditetapkan. Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan sangat terkait dengan moralitas dan mentalitas aparat birokrasi dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan itu sendiri yang tercermin lewat fungsi pokok pemerintahan , yaitu fungsi pelayanan, fungsi pengaturan atau regulasi dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Jadi berbicara tentang Etika Birokrasi berarti kita berbicara tentang bagaimana aparat Birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi tugasnya sesuai dengan ketentuan aturan yang seharusnya dan semestinya, yang pantas untuk dilakukan dan yang sewajarnya dimana telah ditentukan atau diatur untuk ditaati dilaksanakan.
Menjadi permasalahan sekarang ini bagaimana proses penentuan Etika dalam Birokrasi itu sendiri, siapa yang akan mengukur seberapa jauh etis atau tidak, bagaimana dengan kondisi saat itu dan tempat daerah tertentu yang mengatakan bahwa itu etis saja di daerah kami atau dapat dibenarkan, namun ditempat lain belum tentu. Dapat dikatakan bahwa Etika Birokrasi sangat terpergantung dari seberapa jauh melanggar di tempat atau daerah mana, kapan dilakukannya dan pada saat yang bagaimana, serta sangsi apa yang akan diterapkan sangsi social moral ataukah sangsi hukum, semua ini sangat temporer dan bervariasi di negara kita sebab terkait juga dengan aturan, norma, adat dan kebiasaan setempat.
Dalam penulisan ini kami akan mencoba membahas tentang apa yang dimaksudkan dengan Etika, mengapa kita memerlukan Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dari mana Etika Birokrasi dibentuk dan sejauhmana peraturan Kepegawaian dapat menjadi bagian dari penerapan Etika Birokrasi di negara kita.
B. Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ethes” berarti kesediaan jiwa akan kesusilaan, atau secara bebas dapat diartikan kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan. Dalam pengertian kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan sebetulnya tercakup juga adanya kesediaan karena kesusilaan dalam dirinya minta minta ditaati pula oleh orang lain.
Aristoteles juga memberikan istilah Ethica yang meliputi dua pengertian yaitu etika meliputi Kesediaan dan Kumpulan peraturan, yang mana dalam bahasa Latin dikenal dengan kata Mores yang berati kesusilaan, tingkat salah saru perbuatan (lahir, tingkah laku), Kemudian perkataan Mores tumbuh dan berkembang menjadi Moralitas yang mengandung arti kesediaan jiwa akan kesusilaan1. Dengan demikian maka Moralitas mempunyai pengertian yang sama dengan Etika atau sebaliknya, dimana kita berbicara tentang Etika Birokrasi tidak terlepas dari moralitas aparat Birokrasi penyelenggara pemerintahan itu sendiri.
Etika dan moralitas secara teoritis berawal dari pada ilmu pengetahuan (cognitive) bukan pada efektif. Moralitas berkaitan pula dengan jiwa dan seamangat kelompok masyarakat. Moral terjadi bila dikaitkan dengan masyarakat, tidak ada moral bila tidak ada masyarakat dan seyogyanya tidak ada masyarakat tanpa moral2, dan berkaitan dengan kesadaran kolektif dalam masyarakat. Immanuel Kant, teori moralitas tidak hanya mengenai hal yang baik dan yang buruk, tetapi menyangkut masalah yang ada dalam kontak social dengan masyarakat, ini berarti Etika tidak hanya sebatas moralitas individu tersebut dalam artian aparat birokrasi tetapi lebih dari itu menyangkut perilaku di tengah-tengah masyarakat dalam melayani masyarakat apakah sudah sesuai dengan aturan main atau tidak, apakah etis atau tidak.
Menurut Drs.Haryanto, MA. Bahwa Etika merupakan instrumen dalam masyarakat untuk menuntun tindakan (perilaku) agar mampu menjalankan fungsi dengan baik dan dapat lebih bermoral.3 Ini berarti Etika merupakan norma dan aturan yang turut mengatur perulaku seseorang dalam bertindak dan memainkan perannya sesuai dengan aturan main yang ada dalam masyarakat agar dapat dikatakan tindakannya bermoral.
Dari beberapa pendapat yang menegaskan tentang pengertian Etika di atas jelaslah bagi kita bahwa Etika terkait dengan moralitas dan sangat tergantung dari penilaian masyarakat setempat, jadi dapat dikatakan bahwa moral merupakan landasan normative yang didalamnya mengandung nilai-nilai moralitas itu sendiri dan landasan normative tersebut dapat pula dinyatakan sebagai Etika yang dalam Organisasi Birokrasi disebut sebagai Etika Birokrasi.
C. Alasan Pentingnya Etika Dalam Birokrasi.
Ketika kenyataan yang kita inginkan jauh dari harapakan kita, maka pasti akan timbul kekecewaan, begitulah yang terjadi ketiga kita mengharapkan agar para aparatur Birokrasi bekerja dengan penuh rasa tanggungjawab, kejujuran dan keadilan dijunjung, sementara yang kenyataan yang terjadi mereka sama sekali tidak bermoral atau beretika, maka disitulah kita mengharapkan adanya aturan yang dapat ditegakkan yang menjadi norma atau rambu-rambu dalam melaksanakan tugasnya. Sesuatu yang kita inginkan itu adalah Etika yang yang perlu diperhatikan oleh aparat Birokrasi tadi.
Ada beberapa alasan mengapa Etika Birokrasi penting diperhatikan dalam pengembangan pemerintahan yang efisien, tanggap dan akuntabel, menurut Agus Dwiyanto,4 bahwa :
pertama masalah – masalah yang dihadapi oleh birokrasi pemerintah dimasa mendatang akan semakin kompleks. Modernitas masyarakat yang semakin meningkat telah melahirkaan berbagai masalah – masalah publik yang semakin banyak dan komplek dan harus diselesaikan oleh birokrasi pemerintah. Dalam memecahkan masalh yang berkembang birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan – pilihan yang jelas seperti baik dan buruk. Para pejabat birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan yang sulit, antara baik dan baik, yang masing – masing memiliki implikasi yang saling berbenturan satu sama lain.
Dalam kasus pembebasan tanah, misalnya pilihan yang dihadapi oleh para pejabat birokrasi seringkaali bersifat dikotomis dan dilematis. Mereka harus memilih antara memperjuangkan program pemerintah dan memperhatikan kepentingan masyarakatnya. Masalah – masalah yang ada dalam “grey area “seperti ini akan menjadi semakin banyak dan kompleks seiring dengan meningkatnya modernitas masyarakat. Pengembangan etika birokrasi mungkin bisa fungsional terutama dalam memberi “ policy guidance” kepada para pejabat birokrat untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
Kedua, keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi. Dinamika yang terjadi dalam lingkungan tentunya menuntut kemampuan birokrasi untuk melakukan adjustments agar tetap tanggap terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Kemampuan untuk bisa melakukan adjustment itu menuntut discretionary power yang besar. Penggunaan kekuasaan direksi ini hanya akan dapat dilakukan dengan baik kalau birokrasi memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai besarnya kekuasaan yang dimiliki dan implikasi dari penggunaan kekuasaan itu bagi kepentingan masyarakatnya. Kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai kekuasaan dan implikasi penggunaan kekuasaan itu hanya dapat dilakukan melalui pengembangan etika birokrasi.
Walaupun pengembangan etika birokrasi sangat penting bagi pengembangan birokrasi namun belum banyak usaha dilakukan untuk mengembangkannya. Sejauh ini baru lembaga peradilan dan kesehatan yang telah maju dalam pengembangan etika ,seperti terefleksikan dalam etika kedokteran dan peradilan. Etika ini bisa jadi salah satu sumber tuntunan bagi para professional dalam pelaksanaan pekerjaan mereka. Pengembangan etika birokrasi ini tentunya menjadi satu tantangan bagi para sarjana dan praktisi administrasi publik dan semua pihak yang menginginkan perbaikan kualitas birokrasi dan pelayanan publik di Indonesia.
Dari alasan yang dikemukakan di atas ada sedikit gambaran bagi kita mengapa Etika Birokrasi menjadi suatu tuntutan yang harus sesegera mungkin dilakukan sekarang ini, hal tersebut sangat terkait dengan tuntutan tugas dari aparat birokrasi tiu sendiri yang seiring dengan semakin komplesnya permasalahan yang ada dalam masyarakat dan seiring dengan fungsi pelayanan dari Birokrat itu sendiri agar dapat diterima dan dipercaya oleh masyarakat yang dilayani, diatur dan diberdayakan.
Untuk itu para Birokrat harus merubah sikap perilaku agar dapat dikatakan lebih beretika atau bermoral di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, dengan demikian harus ada aturan main yang jelas dan tegas yang perlu ditaati yang menjadi landasan dalam bertindak dan berperilaku di tengah-tengah masyarakat.
D. Darimana Etika Birokrasi Dibentuk.
Terbentuknya Etika Birokrasi tidak terlepas dari kondisi yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan, sesuai dengan aturan, norma, kebiasaan atau budaya di tengah-tengah masyarakat dalam suatu komunitas tertentu. Nilai-nilai yang ada dan berkembang di dalam masyarakat mewarnai sikap dan perilaku yang nantinya dipandang etis atau tidak etis dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan yang merupakan bagian dari fungsi aparat birokrasi itu sendiri.
Di negara kita yang masih kental budaya paternalistik atau tunduk dan taat kepada Bapak atau pemimpin pemerintahan yang juga merupakan pemimpin birokrasi, sehingga sangat sulit bagi masyarakat untuk menegur para aparat Birokrasi bahwa yang dilakukannya itu tidak etis atau tidak bermoral, mereka lebih banyak diam dan malah manut saja melihat perilaku yang adan dalam jajaran aparat birokrasi.
Dalam kondisi seperti di atas, inisiatif penetapan Etika bagi aparat Birokrasi atau penyelenggara pemerintahan hampir sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Dimana pemerintah atau organisasi yang disebut birokrasi merasa paling berkuasa dan merasa dialah yang mempunyai kewengan untuk menentukan sesuatu itu etis atau tidak bagi dirinya menurut versi atau pandangannya sendiri, tanpa mempedulikan apa yang aturan main di dalam masyarakat. Permasalahan ini sangat rumit karena Etika Birokrasi cenderung diseragamkan melalui peraturan Kepegawaian yang telah diatur dari Birokrasi tingkat atas atau pemerintah pusat, sementara dalam pelaksanaan tugasnya dia berada di tengah-tengah masyarakat, yang jadi pertanyaan sekarang apakah yang dikatakan Etis menurut peraturan kepegawaian yang mengetur Aparat Birokrasi dapat dapat dikatakan Etis pula dalam masyarakat ataupun sebaliknya.
Menurut Drs. Haryanto,MA dalam makalahnya mengatakan bahwa : Adalah sulit untuk menyetujui atau tidak mengenai perlunya Etika tersebut diundangkan secara formal. Etika sebagaimana telah dikatakan sebelumnya sangat terkait dengan moralitas yang mana di dalamnya memiliki pertimbangan-pertimbangan yang jauh lebih tinggi tentang apa yang disebut sebagai ‘kebenaran dan ketidakbenaran’ dan ‘kepantasan dan ketidakpantasan’.5
Dalam menyikapi pelaksanaan Etika Birokrasi di Indonesia sering dikaitkan dengan Etika Pegawai Negeri yang telah diformalkan lewat ketentuan dan peraturan Kepegawaian di negara kita, sehingga terkadang tidak menyentuh permasalahan Etika dalam masyarakat yang lebih jauh lagi disebut moral. Di sini tidak akan dipermasalahkan Etika Birokrasi itu diformalkan atau tidak tetapi yang terpenting adalah bagaimana penerapannya serta sangsi yang jelas dan tegas, ini semua mambutuhkan kemauan baik dari Aparat Birokrasi itu sendiri untuk mentaatinya.
Pelaksanaan Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, sebagaimana telah disinggung di atas perlu diperhatikan perihal sangsi yang menyertainya, karena Etika pada umumnya tidak ada sangsi fisik atau hukuman tetapi berupa sangsi social dalam masyarakt, seperti dikucilkan, dihujat dan yang paling keras disingkirkan dari lingkukgan masyarakat tersebut, sementara bagi Aparat Birokrasi sangat sulit, karena masyarakat enggan dan sungkan (budaya Patron yang melekat).
Begitu rumit dan kompleksnya permasalahan pemerintahan dewasa ini membuat para aparat birokrasi mudaj tergelincir atau terjerumus kedadalam perilaku yang menyimpang belum lagi karenan tuntutan atau kebutuhan hidupnya sendiri, untuk itu perlu adanya penegasan paying hukum atau norma aturan yang perlu disepakati bersama untuk dilakukan dan diayomi dengan aturan hukum yang jelas dan sangsi yang tegas bagi siapa saja pelanggarnya tanpa pandang bulu di dalam jajaran Birokrasi di Indonesia, seiring dengan itu oleh Paul H. Douglas dalam bukunya “Ethics in Government” yang dikutip oleh Drs. Haryanto, MA,6 tentang tindakan-tindakan yang hendaknya dihindari oleh seorang pejabat pemerintah yang juga merupakan aparat Birokrasi, yaitu :
- Ikut serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan jabata kedinasan.
- Menerima segala sesuatu hadiah dari pihak swsta pada saat ia melaksanakan transaksi untuk kepentinagn dinas.
- Membicarakan masa depan peluang kerja diluar instansi pada saat it berada dalam tugas-tugas sebagai pejabat pemerintah.
- Membocornakan informasi komersial atau ekonomis yang bersifat rahasia kepada pihak-pihak yang tidak berhak.
- Terlalu erat berurusan dengan orang-orang diluar instansi pemerintah yang dalam menjalankan bisnis pokoknya tergantung dari izin pemerintah.
Dengan demikian jelas bahwa Etika Birokrasi sangat terkait dengan perilaku dan tindakan oleh aparat birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi dan kerjanya, apakah ia menyimpang dari aturan dan ketentuan atau tidak, untuk itu perlu aturan yang tegas dan nyata, sebab berbicara tentang Etika biasanya tidak tertulis dan sangsinya berupa sangsi social yang situasional dan kondisional tergantung tradisi dan kebiasaan masyarakat tersebut.
Untuk itu kami mencoba merekomendasikan mengenai Kode Etik Birokrasi mengacu kepada ketentuan Peraturan kepegawaian bagi Pegawai Negeri di Indonesia yang notabenen merupakan Aparat Birokrasi itu sendiri.
E. Peraturan Kepegawaian Sebagai Bagian Dari Penerapan Etika Birokrasi.
Berbicara tentang Etika Birokrasi tidak dapat dipisahkan dari Etika Aparatur Birokrasi itu sendiri karena ketika kita Etika Birokrasi didengungkan secara tertulis memang belum diuraikan dengan jelas namun secara eksplisit Etika Birokrasi telah termuat dalam peraturan Kepegawaian yang mengatur para aparat Birokrasi (Pegawai negeri) itu sendiri, yang mana kita tahu bahwa Birokrasi merupakan sebuah organisasi penyelenggara pemerintahan yang terstruktur dari pusat sampai kedaerah dan memiliki jenjang atau tingkatan yang disebut hirarki. Jadi Etika Birokrasi sangat terkait dengan tingkah laku para apata birokrasi itu sendiri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Aparat Birokrasi secara kongrit di negara kita yaitu Pegawai Negeri baik itu Sipil maupun Militer, yang secara Organisatoris dan hirarkis melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing sessuai aturan yang telah ditetakan.
Etika Birokrasi merupakan bagian dari aturan main dalam organisasi Birokrasi atau Pegawai Negeri yang secara structural telah diatur aturan mainnya, dimana kita kenal sebagai Kode Etik Pegawai Negeri, yang telah diatur lewat Undang-undang Kepegawaian. Kode Etik yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) disebut Sapta Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia ( Sapta Prasetya KORPRI) dan dikalangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) disebut Sapta Marga7.
Dengan sendirinya Kode Etik itu dibaca secara bersama – sama pada kesempatan tertentu yang kadang –kadang diikuti oleh suatau wejangan dari seorang pimpinanupacara disebut inspektur upacara ( IRUP ), maksudnya adalah untuk menciptakan kondisi – kondisi moril yang menguntungkan dalam organisasi yang berpengalaman dan mempertumbuhkan sikap mentalyang diperlukan, juga untuk menciptakan moral yang baik. Kode Etik tersebut biasanya dibaca dalam upacara bendera, upacara bulanan atau upacara ulang tahun organisasi yang bersangkutan, dan upacara – upacara nasional.
Setiap organisasi, misalnya PNS atau TNI dan lain-lain ada usaha untuk membentuk Kode Etik yang lebih mengikat atau mengatur anggotanya agar lebih beretika dan bermoral. Namun sampai sekarang belum diketahui sampai seberapa jauhnya dan juga belum dapat dipantau secara jelas dari perbuatan seseorang apakah yang bersangkutan melanggar Etika atau Kode Etik atau tidak, karena belum jelas batasannya dan apa sangsinya, sehingga benar-benar dapat dipergunakan sebagai ukuran atau criteria untuk menilai perilaku atau tingkah laku aparat Birokrasi sehingga disebut beretika atau tidak.
Tetapi apapun dan bagaimanapun maksud yang hendak dicapai dengan membentuk, menanamkan Kode Etik tersebut adalah demi terciptanya Aparat Birokrasi lebih jujur, lebih bertanggung jawab, lebih berdisiplin, dan lebih rajin serta yang terpenting lebih memiliki moral yang baik terhindar dari perbuatan tercela seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan lain-lain.
Agar tercipta Aparat Birokrasi yang lebih beretika sesuai harapan di atas, maka perlu usaha dan latihan ke arah itu serta penegakkan sangsi yang tegas dan jelas kepada mereka yang melanggar kode Etik atau aturan yang telah ditetapkan. Dalam hubungannya dengan Kode Etik Pegawai Negeri yaitu dengan betul-betul menjiwai, menghayati dan melaksanakan Sapta Pra Setya Korpri, serta aturan-aturan kepegawaian yang telah ditentukan atau ditetapkan sebagai aturan main para aparat Birokrasi.
Adapun aturan-aturan pokok yang melekat pada seorang Pegawai Negeri atau Aparat Birokrasi yang dapat dijadikan acuan Kode Etiknya dapat dilihat sebagai berikut :
Aturan mengenai Pembinaan Pegawai Negeri Sipil
Untuk menjamin terselenggaranya tugas-tugas umum pemerintahan secara berdayaguna dan berhasilguna dalam rangka usaha mewujutkan masyarakat adil dan makmur baik material maupun spiritual, dimana diperlukan adanya Pegawai Negeri sebagai unsure aparatur negara yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, bersih, berwibawa bermutu tinggi dan sadar akan tugas serta tanggungjawabnya. Dlam hubungan ini Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 telah meletakkan dasar yang kokoh untuk mewujutkan Aparat Birokrasi atau PNS seperti dimaksud di atas dengan cara mengatur kedudukan, kewajiban bagi Aparat Birokrasi sebagai salah satu kewajiban dan langkah usaha penyempurnaan aparatur negara di bidang kepegawaian.
Aturan menegnai kedudukan Pegawai Negeri sipil
Pegawai Negeri sipil adalah unsure aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang dengan kesetiaan dan ketaatan kepada pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah, menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, pelayanan kepada masyarakat, mengatur masyarakat atau regulasi dan memberdayakan masyarakat. Kesetiaan dan ketaatan penuh tersebut mengandung pengertian bahwa pegawai negeri berada sepenuhnya dibawah aturan yang telah ditentukan.
Penghargaan Pegawai Negeri sipil
Kepada Pegawai negeri dapat diberikan penghargaan apabila telah menunjukkan kesetiaan dan prestasi kerja dan memiliki etika kerja yang baik, dianggap berjasa bagi negara dan masyarakat perlu diberikan penghargaan kepada Pegawai Negeri yang bersangkutan berupa tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa yang secara otomatis kenaikkan gajinya sesuai pangkat, dengan harapan agar menjadi contoh kepada yang lain dalam melaksanakan tugas.
Keanggotaan Pegawai negeri dalam Partai Politik
Untuk menjaga netralitas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya agar lebih beretika dan bermoral, supaya terhindar dari kepentingan partai politik, maka sebaiknya Pegewai Negeri yang bersangkutan memundurkan diri demi menjaga moralitas yang merupakan etika aparat birokrasi.
Peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil
Ketentuan tentang Disiplin Pegawai Negeri sipil diatur dalam Peratuiran Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut antara lain diatur hal-hal sebagai berikut : Kewajiban, larangan, sangsi, tata cara pemeriksaan, tata cara pengajuan keberatan terhadap hukuman disiplin yang kesemuanya dapat menjadi acuan dalam beretika bagi seorang aparat Birokrasi atau Pegawai Negeri. Peraturan disiplin Pegawai Negeri yang menjadi kewajiban dan harus ditaati sesuai Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, antara lain mengatur tentang :
- Kesetiaan terhadap Pancasila dan UUD 1945, Negara dan Pemerintah.
- Mengangkat dan mentaati sumpah/ janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/ janji jabatan berdasarkan peraturan yang berlaku serta siap menerima sangsinya.
- Menyimpan rahasia negara dan atau rahasi jabatan dengan sebaik-baiknya.
- Bekerja dengan jujur, tertib, cermat, bersemangat untuk kepentingan negara.
- Segera melaporkan kepada atasannya, apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara/ pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan, dan material.
- Mentaati ketentuan jam kerja.
- Memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat.
- Bersikap adil dan bijaksana terhadaop bawahannya.
- Menjadi atau memberikan contoh teladan terhadap bawahannya.
- Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk meningkatkan kariernya.
- Berpakaian rapi dan sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat, sesama pegawai dan atasannya.
Sementara Larangan yang merupakan aturan main yang turut mengatur perilaku aparat Birokrasi atau pegawai Negeri menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun1980, yang juga dapat dijadikan sebagai Kode Etik Birokrasi, yaitu larangan seperti :
- Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat Negara, Pemerintah atau Pegawai Negeri sipil.
- Menyalahgunakan wewenangnya.
- Menyalahgunakan barang-barang, uang atau surat-surat berharga milik negara.
- Menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri yang bersangkutan.
- Memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat pegawai negeri sipil, kecuali kepentingan jabatan.
- Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya.
- Bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan untuk mendapat pekerjaan atau peranan dari kantor/ instansi pemerintah.
- Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain.
Semua kewajiban dan larangan yang diuraikan diatas kiranya dapat dipahami oleh pegawai negeri sipil selaku aparat birokrasi sebagai pagar atau norma dan aturan yang merupakan bagian dari Etika atau kode etik Pegawai Negeri yang notabenen merupakan aparat birokrasi.
Selain Kewajiban dan Larangan yang harus ditaati oleh Pegawai Negeri, juga yang tidak kalah penting dalam pembentukan Etika Birokrasi adalah sangsi atau hukuman yang setimpal dengan pelanggaran atas ketentuan tersebut di atas. Jenis sangsi atau hukuman yang dapat dijatuhkan kepada Pagawai Negeri sangatlah bervariasi sesuai tingkat pelanggaran, adapun jenis sangsi tersebut menurut Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 terdiri dari :
Hukuman disiplin ringan antara lain :
- teguran lisan
- teguran tertulis
- pernyataan tidak puas secara tertulis.
Jenis hukuman disiplin sedang, antara lain :
- penundaan kenaikkan gaji berkala untuk paling lama satu tahun
- penurunan gaji sebesar satu kali gaji berkala untuk paling lama satu tahun.
- Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama satu tahun.
Jenis hukuman disiplin berat, terdiri dari :
- penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah paling lama satu tahun.
- Pembebasan dari jabatan.
- Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri selaku pegawai negeri sipil.
- Pemberhentian dengan tidak hormat sebagai pegawai negeri sipil.
Dari sangsi hukuman yang diberikan dan patut diterima bagi siapa saja pelanggar Etika atau peraturan yang turut mengatur moralitas para aparat birokrasi di atas, jelaslah bagi kita beratnya sangsi atau hukuamn yang telah ditentukan, namun sekarang kembali lagi kepada penegakkan sangsi atas pelanggaran Etika tersebut, apa betul-betul dilaksanakan atau ditegakkan kepada mereka yang melanggar atau hanya sebatas retorika ataupun sangsi social saja, karena sangsi social hanya efektif apabila aparat Birokrasi itu berada di tengah-tengah masyarakat, sementara apabila dalam organisasi Birokrasi harus tegas berupa sangsi hukuman sesuai peraturan perundang-undangan tersebut di atas.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peraturan kepegawaian juga dapat dijadikan salah satu bagian dari kode Etik Birokrasi yang nantinya dapat mengatur segala bentuk tingkah laku dari Aparat Birokrasi dengan segala sangsi yang mengikat, sehingga diharapkan pelaksanannya dapat membuat aparat birokrasi lebih beretika. Jadi selain etika yang berlaku dalam masyarakat dimana aparat birokrasi merupakan bagian dalam masyarakat, maka secara otomatis dia harus terikat dengan aturan tersebut, sementara di satu sisi Aparat Birokrsi mempunyai aturan main sendiri yang secara Nasional di Seluruh Indonesia dapat diterapkan yaitu tercermin dalam Sapta Pra Setya Korpri bagi pegawai negeri dan Sapta Marga bagi TNI, serta aturan Kepegawaian yang berlaku dan juga ketentuan atau sangsi yang tegas dan nyata. Ini diharapkan dapat menjadi Kode Etik Birokrasi dan menjadi aturan main dalam dalam melaksanakan tugas dan fungsi Birokrasi agar dikatakan birokrasi lebih beretika dan bermoral.
F. P E N U T U P
Uraian-uraian dari makalah yang disajikan diatas, hanya merupakan konsep ideal yang diharapka dari aparat pelaksana pemerintahan di Indonesia yang merupakan aparat birokrasi di negara kita yang mempunyai tugas dan fungsi pokok untuk melayani masyarakat, mengatur masyarakat dan memberdayakan masyarakat. Fungsi-fungsi ini dapat dilaksanakn dengan baik apabila Aparat Birokrasi tersebut memiliki Etika dalam bekerja.
Etika Birokrasi bukan hanya sekedar retorika yang didengungkan baik lewat Sapta Pra Setya Korpri maupun Sapta Marga dan sederetan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Tentang kepegawaian, tetapi lebih dari itu bagaiaman ketentuan-ketentuan tersebut dapat dapat dihayati dan diamalkan dalam berepilaku sebagai Aparat Birokrasi dan yang tidak kalah penting yaitu bagaiman penegakkan hukum atau sangsi yang tegas bagi para pelanggar aturan yang telah disepakati dan ditentukan tersebut. Hukuman atau sangsi perlu ditegakkan secara merata tanpa pandang bulu apakah dia atasan atau bawahan semuanya harus sama di mata hukum.
Masyarakat juga berhak menentukan kode Etik atau aturan dalam masyarakat yang juga turut mengatur keberadaan seorang Aparat Birokrasi di lingkungannya, kalau memang melanggar harus ada komitmen bersama untuk mentaati aturan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Jadi yang disebut Etika Birokrasi merupakan norma aturan yang melekat pada anggota atau aparat Birokrasi itu sendiri di manapun dan kapan dia berada, baik di kantor maupun di tengah-tengah masyarakat dia teriakt dengan aturan kepegawaian dan aturan norma dalam masyarakat yang menjadi lansasan Etika dalam bertindak dan berperilaku dalam melaksanakan tugasnya.
DAFTAR PUSTAKA
1 Aristoteles dalam Prof. Drs.H.A.Widjaja, Etika Pemerintahan, Edisi kedua, Bumi Aksara, Jakarta, 1997.
2 widjaja, AW. Masyarakat dan Permasayarakatan Ideologi Pancasila, bandung, Cv Armico, 1985.
3 Drs. Haryanto, MA, Kuliah Birokrasi Indonesia, Politik Lokal Otonomi Daerah Program Pasca Sarjana UGM,Yogyakarta,2002.
4 Agus Dwiyanto, Pemerintah Yang Baik, Tanggap, Efisien, dan Akuntabel, Kontrol atau Etika, Seminar Forum Kebijakan Publik, Pasca Sarjana, UGM, Yogyakarta, 2000.
5 Drs. Haryanto, MA, Makalah Etika Pemerintahan, Staf Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL, UGM, Yogyakarta.hal.8,9.
6 Ibid,.. hal 15,16.
7 Prof. Drs. H.a. Widjaja, Etika Pemerintahan, Bumi Aksara, Jakarta, 1997. hal.23.
Maret 21, 2007 - Ditulis oleh lutfiwahyudi | Materi Kuliah | | & Komentar
A. PENDAHULUAN.
Berbicara tentang Etika Birokrasi dewasa ini menjadi topik yang sangat menarik dibahas, terutama dalam mewujudkan aparatur yang bersih dan berwibawa. Kecenderungan atau gejala yang timbul dewasa ini banyak aparat birokrasi dalam pelaksanaan tugasnya sering melanggar aturan main yang telah ditetapkan. Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan sangat terkait dengan moralitas dan mentalitas aparat birokrasi dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan itu sendiri yang tercermin lewat fungsi pokok pemerintahan , yaitu fungsi pelayanan, fungsi pengaturan atau regulasi dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Jadi berbicara tentang Etika Birokrasi berarti kita berbicara tentang bagaimana aparat Birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi tugasnya sesuai dengan ketentuan aturan yang seharusnya dan semestinya, yang pantas untuk dilakukan dan yang sewajarnya dimana telah ditentukan atau diatur untuk ditaati dilaksanakan.
Menjadi permasalahan sekarang ini bagaimana proses penentuan Etika dalam Birokrasi itu sendiri, siapa yang akan mengukur seberapa jauh etis atau tidak, bagaimana dengan kondisi saat itu dan tempat daerah tertentu yang mengatakan bahwa itu etis saja di daerah kami atau dapat dibenarkan, namun ditempat lain belum tentu. Dapat dikatakan bahwa Etika Birokrasi sangat terpergantung dari seberapa jauh melanggar di tempat atau daerah mana, kapan dilakukannya dan pada saat yang bagaimana, serta sangsi apa yang akan diterapkan sangsi social moral ataukah sangsi hukum, semua ini sangat temporer dan bervariasi di negara kita sebab terkait juga dengan aturan, norma, adat dan kebiasaan setempat.
Dalam penulisan ini kami akan mencoba membahas tentang apa yang dimaksudkan dengan Etika, mengapa kita memerlukan Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dari mana Etika Birokrasi dibentuk dan sejauhmana peraturan Kepegawaian dapat menjadi bagian dari penerapan Etika Birokrasi di negara kita.
B. Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ethes” berarti kesediaan jiwa akan kesusilaan, atau secara bebas dapat diartikan kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan. Dalam pengertian kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan sebetulnya tercakup juga adanya kesediaan karena kesusilaan dalam dirinya minta minta ditaati pula oleh orang lain.
Aristoteles juga memberikan istilah Ethica yang meliputi dua pengertian yaitu etika meliputi Kesediaan dan Kumpulan peraturan, yang mana dalam bahasa Latin dikenal dengan kata Mores yang berati kesusilaan, tingkat salah saru perbuatan (lahir, tingkah laku), Kemudian perkataan Mores tumbuh dan berkembang menjadi Moralitas yang mengandung arti kesediaan jiwa akan kesusilaan1. Dengan demikian maka Moralitas mempunyai pengertian yang sama dengan Etika atau sebaliknya, dimana kita berbicara tentang Etika Birokrasi tidak terlepas dari moralitas aparat Birokrasi penyelenggara pemerintahan itu sendiri.
Etika dan moralitas secara teoritis berawal dari pada ilmu pengetahuan (cognitive) bukan pada efektif. Moralitas berkaitan pula dengan jiwa dan seamangat kelompok masyarakat. Moral terjadi bila dikaitkan dengan masyarakat, tidak ada moral bila tidak ada masyarakat dan seyogyanya tidak ada masyarakat tanpa moral2, dan berkaitan dengan kesadaran kolektif dalam masyarakat. Immanuel Kant, teori moralitas tidak hanya mengenai hal yang baik dan yang buruk, tetapi menyangkut masalah yang ada dalam kontak social dengan masyarakat, ini berarti Etika tidak hanya sebatas moralitas individu tersebut dalam artian aparat birokrasi tetapi lebih dari itu menyangkut perilaku di tengah-tengah masyarakat dalam melayani masyarakat apakah sudah sesuai dengan aturan main atau tidak, apakah etis atau tidak.
Menurut Drs.Haryanto, MA. Bahwa Etika merupakan instrumen dalam masyarakat untuk menuntun tindakan (perilaku) agar mampu menjalankan fungsi dengan baik dan dapat lebih bermoral.3 Ini berarti Etika merupakan norma dan aturan yang turut mengatur perulaku seseorang dalam bertindak dan memainkan perannya sesuai dengan aturan main yang ada dalam masyarakat agar dapat dikatakan tindakannya bermoral.
Dari beberapa pendapat yang menegaskan tentang pengertian Etika di atas jelaslah bagi kita bahwa Etika terkait dengan moralitas dan sangat tergantung dari penilaian masyarakat setempat, jadi dapat dikatakan bahwa moral merupakan landasan normative yang didalamnya mengandung nilai-nilai moralitas itu sendiri dan landasan normative tersebut dapat pula dinyatakan sebagai Etika yang dalam Organisasi Birokrasi disebut sebagai Etika Birokrasi.
C. Alasan Pentingnya Etika Dalam Birokrasi.
Ketika kenyataan yang kita inginkan jauh dari harapakan kita, maka pasti akan timbul kekecewaan, begitulah yang terjadi ketiga kita mengharapkan agar para aparatur Birokrasi bekerja dengan penuh rasa tanggungjawab, kejujuran dan keadilan dijunjung, sementara yang kenyataan yang terjadi mereka sama sekali tidak bermoral atau beretika, maka disitulah kita mengharapkan adanya aturan yang dapat ditegakkan yang menjadi norma atau rambu-rambu dalam melaksanakan tugasnya. Sesuatu yang kita inginkan itu adalah Etika yang yang perlu diperhatikan oleh aparat Birokrasi tadi.
Ada beberapa alasan mengapa Etika Birokrasi penting diperhatikan dalam pengembangan pemerintahan yang efisien, tanggap dan akuntabel, menurut Agus Dwiyanto,4 bahwa :
pertama masalah – masalah yang dihadapi oleh birokrasi pemerintah dimasa mendatang akan semakin kompleks. Modernitas masyarakat yang semakin meningkat telah melahirkaan berbagai masalah – masalah publik yang semakin banyak dan komplek dan harus diselesaikan oleh birokrasi pemerintah. Dalam memecahkan masalh yang berkembang birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan – pilihan yang jelas seperti baik dan buruk. Para pejabat birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan yang sulit, antara baik dan baik, yang masing – masing memiliki implikasi yang saling berbenturan satu sama lain.
Dalam kasus pembebasan tanah, misalnya pilihan yang dihadapi oleh para pejabat birokrasi seringkaali bersifat dikotomis dan dilematis. Mereka harus memilih antara memperjuangkan program pemerintah dan memperhatikan kepentingan masyarakatnya. Masalah – masalah yang ada dalam “grey area “seperti ini akan menjadi semakin banyak dan kompleks seiring dengan meningkatnya modernitas masyarakat. Pengembangan etika birokrasi mungkin bisa fungsional terutama dalam memberi “ policy guidance” kepada para pejabat birokrat untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
Kedua, keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi. Dinamika yang terjadi dalam lingkungan tentunya menuntut kemampuan birokrasi untuk melakukan adjustments agar tetap tanggap terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Kemampuan untuk bisa melakukan adjustment itu menuntut discretionary power yang besar. Penggunaan kekuasaan direksi ini hanya akan dapat dilakukan dengan baik kalau birokrasi memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai besarnya kekuasaan yang dimiliki dan implikasi dari penggunaan kekuasaan itu bagi kepentingan masyarakatnya. Kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai kekuasaan dan implikasi penggunaan kekuasaan itu hanya dapat dilakukan melalui pengembangan etika birokrasi.
Walaupun pengembangan etika birokrasi sangat penting bagi pengembangan birokrasi namun belum banyak usaha dilakukan untuk mengembangkannya. Sejauh ini baru lembaga peradilan dan kesehatan yang telah maju dalam pengembangan etika ,seperti terefleksikan dalam etika kedokteran dan peradilan. Etika ini bisa jadi salah satu sumber tuntunan bagi para professional dalam pelaksanaan pekerjaan mereka. Pengembangan etika birokrasi ini tentunya menjadi satu tantangan bagi para sarjana dan praktisi administrasi publik dan semua pihak yang menginginkan perbaikan kualitas birokrasi dan pelayanan publik di Indonesia.
Dari alasan yang dikemukakan di atas ada sedikit gambaran bagi kita mengapa Etika Birokrasi menjadi suatu tuntutan yang harus sesegera mungkin dilakukan sekarang ini, hal tersebut sangat terkait dengan tuntutan tugas dari aparat birokrasi tiu sendiri yang seiring dengan semakin komplesnya permasalahan yang ada dalam masyarakat dan seiring dengan fungsi pelayanan dari Birokrat itu sendiri agar dapat diterima dan dipercaya oleh masyarakat yang dilayani, diatur dan diberdayakan.
Untuk itu para Birokrat harus merubah sikap perilaku agar dapat dikatakan lebih beretika atau bermoral di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, dengan demikian harus ada aturan main yang jelas dan tegas yang perlu ditaati yang menjadi landasan dalam bertindak dan berperilaku di tengah-tengah masyarakat.
D. Darimana Etika Birokrasi Dibentuk.
Terbentuknya Etika Birokrasi tidak terlepas dari kondisi yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan, sesuai dengan aturan, norma, kebiasaan atau budaya di tengah-tengah masyarakat dalam suatu komunitas tertentu. Nilai-nilai yang ada dan berkembang di dalam masyarakat mewarnai sikap dan perilaku yang nantinya dipandang etis atau tidak etis dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan yang merupakan bagian dari fungsi aparat birokrasi itu sendiri.
Di negara kita yang masih kental budaya paternalistik atau tunduk dan taat kepada Bapak atau pemimpin pemerintahan yang juga merupakan pemimpin birokrasi, sehingga sangat sulit bagi masyarakat untuk menegur para aparat Birokrasi bahwa yang dilakukannya itu tidak etis atau tidak bermoral, mereka lebih banyak diam dan malah manut saja melihat perilaku yang adan dalam jajaran aparat birokrasi.
Dalam kondisi seperti di atas, inisiatif penetapan Etika bagi aparat Birokrasi atau penyelenggara pemerintahan hampir sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Dimana pemerintah atau organisasi yang disebut birokrasi merasa paling berkuasa dan merasa dialah yang mempunyai kewengan untuk menentukan sesuatu itu etis atau tidak bagi dirinya menurut versi atau pandangannya sendiri, tanpa mempedulikan apa yang aturan main di dalam masyarakat. Permasalahan ini sangat rumit karena Etika Birokrasi cenderung diseragamkan melalui peraturan Kepegawaian yang telah diatur dari Birokrasi tingkat atas atau pemerintah pusat, sementara dalam pelaksanaan tugasnya dia berada di tengah-tengah masyarakat, yang jadi pertanyaan sekarang apakah yang dikatakan Etis menurut peraturan kepegawaian yang mengetur Aparat Birokrasi dapat dapat dikatakan Etis pula dalam masyarakat ataupun sebaliknya.
Menurut Drs. Haryanto,MA dalam makalahnya mengatakan bahwa : Adalah sulit untuk menyetujui atau tidak mengenai perlunya Etika tersebut diundangkan secara formal. Etika sebagaimana telah dikatakan sebelumnya sangat terkait dengan moralitas yang mana di dalamnya memiliki pertimbangan-pertimbangan yang jauh lebih tinggi tentang apa yang disebut sebagai ‘kebenaran dan ketidakbenaran’ dan ‘kepantasan dan ketidakpantasan’.5
Dalam menyikapi pelaksanaan Etika Birokrasi di Indonesia sering dikaitkan dengan Etika Pegawai Negeri yang telah diformalkan lewat ketentuan dan peraturan Kepegawaian di negara kita, sehingga terkadang tidak menyentuh permasalahan Etika dalam masyarakat yang lebih jauh lagi disebut moral. Di sini tidak akan dipermasalahkan Etika Birokrasi itu diformalkan atau tidak tetapi yang terpenting adalah bagaimana penerapannya serta sangsi yang jelas dan tegas, ini semua mambutuhkan kemauan baik dari Aparat Birokrasi itu sendiri untuk mentaatinya.
Pelaksanaan Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, sebagaimana telah disinggung di atas perlu diperhatikan perihal sangsi yang menyertainya, karena Etika pada umumnya tidak ada sangsi fisik atau hukuman tetapi berupa sangsi social dalam masyarakt, seperti dikucilkan, dihujat dan yang paling keras disingkirkan dari lingkukgan masyarakat tersebut, sementara bagi Aparat Birokrasi sangat sulit, karena masyarakat enggan dan sungkan (budaya Patron yang melekat).
Begitu rumit dan kompleksnya permasalahan pemerintahan dewasa ini membuat para aparat birokrasi mudaj tergelincir atau terjerumus kedadalam perilaku yang menyimpang belum lagi karenan tuntutan atau kebutuhan hidupnya sendiri, untuk itu perlu adanya penegasan paying hukum atau norma aturan yang perlu disepakati bersama untuk dilakukan dan diayomi dengan aturan hukum yang jelas dan sangsi yang tegas bagi siapa saja pelanggarnya tanpa pandang bulu di dalam jajaran Birokrasi di Indonesia, seiring dengan itu oleh Paul H. Douglas dalam bukunya “Ethics in Government” yang dikutip oleh Drs. Haryanto, MA,6 tentang tindakan-tindakan yang hendaknya dihindari oleh seorang pejabat pemerintah yang juga merupakan aparat Birokrasi, yaitu :
- Ikut serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan jabata kedinasan.
- Menerima segala sesuatu hadiah dari pihak swsta pada saat ia melaksanakan transaksi untuk kepentinagn dinas.
- Membicarakan masa depan peluang kerja diluar instansi pada saat it berada dalam tugas-tugas sebagai pejabat pemerintah.
- Membocornakan informasi komersial atau ekonomis yang bersifat rahasia kepada pihak-pihak yang tidak berhak.
- Terlalu erat berurusan dengan orang-orang diluar instansi pemerintah yang dalam menjalankan bisnis pokoknya tergantung dari izin pemerintah.
Dengan demikian jelas bahwa Etika Birokrasi sangat terkait dengan perilaku dan tindakan oleh aparat birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi dan kerjanya, apakah ia menyimpang dari aturan dan ketentuan atau tidak, untuk itu perlu aturan yang tegas dan nyata, sebab berbicara tentang Etika biasanya tidak tertulis dan sangsinya berupa sangsi social yang situasional dan kondisional tergantung tradisi dan kebiasaan masyarakat tersebut.
Untuk itu kami mencoba merekomendasikan mengenai Kode Etik Birokrasi mengacu kepada ketentuan Peraturan kepegawaian bagi Pegawai Negeri di Indonesia yang notabenen merupakan Aparat Birokrasi itu sendiri.
E. Peraturan Kepegawaian Sebagai Bagian Dari Penerapan Etika Birokrasi.
Berbicara tentang Etika Birokrasi tidak dapat dipisahkan dari Etika Aparatur Birokrasi itu sendiri karena ketika kita Etika Birokrasi didengungkan secara tertulis memang belum diuraikan dengan jelas namun secara eksplisit Etika Birokrasi telah termuat dalam peraturan Kepegawaian yang mengatur para aparat Birokrasi (Pegawai negeri) itu sendiri, yang mana kita tahu bahwa Birokrasi merupakan sebuah organisasi penyelenggara pemerintahan yang terstruktur dari pusat sampai kedaerah dan memiliki jenjang atau tingkatan yang disebut hirarki. Jadi Etika Birokrasi sangat terkait dengan tingkah laku para apata birokrasi itu sendiri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Aparat Birokrasi secara kongrit di negara kita yaitu Pegawai Negeri baik itu Sipil maupun Militer, yang secara Organisatoris dan hirarkis melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing sessuai aturan yang telah ditetakan.
Etika Birokrasi merupakan bagian dari aturan main dalam organisasi Birokrasi atau Pegawai Negeri yang secara structural telah diatur aturan mainnya, dimana kita kenal sebagai Kode Etik Pegawai Negeri, yang telah diatur lewat Undang-undang Kepegawaian. Kode Etik yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) disebut Sapta Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia ( Sapta Prasetya KORPRI) dan dikalangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) disebut Sapta Marga7.
Dengan sendirinya Kode Etik itu dibaca secara bersama – sama pada kesempatan tertentu yang kadang –kadang diikuti oleh suatau wejangan dari seorang pimpinanupacara disebut inspektur upacara ( IRUP ), maksudnya adalah untuk menciptakan kondisi – kondisi moril yang menguntungkan dalam organisasi yang berpengalaman dan mempertumbuhkan sikap mentalyang diperlukan, juga untuk menciptakan moral yang baik. Kode Etik tersebut biasanya dibaca dalam upacara bendera, upacara bulanan atau upacara ulang tahun organisasi yang bersangkutan, dan upacara – upacara nasional.
Setiap organisasi, misalnya PNS atau TNI dan lain-lain ada usaha untuk membentuk Kode Etik yang lebih mengikat atau mengatur anggotanya agar lebih beretika dan bermoral. Namun sampai sekarang belum diketahui sampai seberapa jauhnya dan juga belum dapat dipantau secara jelas dari perbuatan seseorang apakah yang bersangkutan melanggar Etika atau Kode Etik atau tidak, karena belum jelas batasannya dan apa sangsinya, sehingga benar-benar dapat dipergunakan sebagai ukuran atau criteria untuk menilai perilaku atau tingkah laku aparat Birokrasi sehingga disebut beretika atau tidak.
Tetapi apapun dan bagaimanapun maksud yang hendak dicapai dengan membentuk, menanamkan Kode Etik tersebut adalah demi terciptanya Aparat Birokrasi lebih jujur, lebih bertanggung jawab, lebih berdisiplin, dan lebih rajin serta yang terpenting lebih memiliki moral yang baik terhindar dari perbuatan tercela seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan lain-lain.
Agar tercipta Aparat Birokrasi yang lebih beretika sesuai harapan di atas, maka perlu usaha dan latihan ke arah itu serta penegakkan sangsi yang tegas dan jelas kepada mereka yang melanggar kode Etik atau aturan yang telah ditetapkan. Dalam hubungannya dengan Kode Etik Pegawai Negeri yaitu dengan betul-betul menjiwai, menghayati dan melaksanakan Sapta Pra Setya Korpri, serta aturan-aturan kepegawaian yang telah ditentukan atau ditetapkan sebagai aturan main para aparat Birokrasi.
Adapun aturan-aturan pokok yang melekat pada seorang Pegawai Negeri atau Aparat Birokrasi yang dapat dijadikan acuan Kode Etiknya dapat dilihat sebagai berikut :
Aturan mengenai Pembinaan Pegawai Negeri Sipil
Untuk menjamin terselenggaranya tugas-tugas umum pemerintahan secara berdayaguna dan berhasilguna dalam rangka usaha mewujutkan masyarakat adil dan makmur baik material maupun spiritual, dimana diperlukan adanya Pegawai Negeri sebagai unsure aparatur negara yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, bersih, berwibawa bermutu tinggi dan sadar akan tugas serta tanggungjawabnya. Dlam hubungan ini Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 telah meletakkan dasar yang kokoh untuk mewujutkan Aparat Birokrasi atau PNS seperti dimaksud di atas dengan cara mengatur kedudukan, kewajiban bagi Aparat Birokrasi sebagai salah satu kewajiban dan langkah usaha penyempurnaan aparatur negara di bidang kepegawaian.
Aturan menegnai kedudukan Pegawai Negeri sipil
Pegawai Negeri sipil adalah unsure aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang dengan kesetiaan dan ketaatan kepada pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah, menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, pelayanan kepada masyarakat, mengatur masyarakat atau regulasi dan memberdayakan masyarakat. Kesetiaan dan ketaatan penuh tersebut mengandung pengertian bahwa pegawai negeri berada sepenuhnya dibawah aturan yang telah ditentukan.
Penghargaan Pegawai Negeri sipil
Kepada Pegawai negeri dapat diberikan penghargaan apabila telah menunjukkan kesetiaan dan prestasi kerja dan memiliki etika kerja yang baik, dianggap berjasa bagi negara dan masyarakat perlu diberikan penghargaan kepada Pegawai Negeri yang bersangkutan berupa tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa yang secara otomatis kenaikkan gajinya sesuai pangkat, dengan harapan agar menjadi contoh kepada yang lain dalam melaksanakan tugas.
Keanggotaan Pegawai negeri dalam Partai Politik
Untuk menjaga netralitas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya agar lebih beretika dan bermoral, supaya terhindar dari kepentingan partai politik, maka sebaiknya Pegewai Negeri yang bersangkutan memundurkan diri demi menjaga moralitas yang merupakan etika aparat birokrasi.
Peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil
Ketentuan tentang Disiplin Pegawai Negeri sipil diatur dalam Peratuiran Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut antara lain diatur hal-hal sebagai berikut : Kewajiban, larangan, sangsi, tata cara pemeriksaan, tata cara pengajuan keberatan terhadap hukuman disiplin yang kesemuanya dapat menjadi acuan dalam beretika bagi seorang aparat Birokrasi atau Pegawai Negeri. Peraturan disiplin Pegawai Negeri yang menjadi kewajiban dan harus ditaati sesuai Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, antara lain mengatur tentang :
- Kesetiaan terhadap Pancasila dan UUD 1945, Negara dan Pemerintah.
- Mengangkat dan mentaati sumpah/ janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/ janji jabatan berdasarkan peraturan yang berlaku serta siap menerima sangsinya.
- Menyimpan rahasia negara dan atau rahasi jabatan dengan sebaik-baiknya.
- Bekerja dengan jujur, tertib, cermat, bersemangat untuk kepentingan negara.
- Segera melaporkan kepada atasannya, apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara/ pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan, dan material.
- Mentaati ketentuan jam kerja.
- Memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat.
- Bersikap adil dan bijaksana terhadaop bawahannya.
- Menjadi atau memberikan contoh teladan terhadap bawahannya.
- Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk meningkatkan kariernya.
- Berpakaian rapi dan sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat, sesama pegawai dan atasannya.
Sementara Larangan yang merupakan aturan main yang turut mengatur perilaku aparat Birokrasi atau pegawai Negeri menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun1980, yang juga dapat dijadikan sebagai Kode Etik Birokrasi, yaitu larangan seperti :
- Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat Negara, Pemerintah atau Pegawai Negeri sipil.
- Menyalahgunakan wewenangnya.
- Menyalahgunakan barang-barang, uang atau surat-surat berharga milik negara.
- Menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri yang bersangkutan.
- Memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat pegawai negeri sipil, kecuali kepentingan jabatan.
- Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya.
- Bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan untuk mendapat pekerjaan atau peranan dari kantor/ instansi pemerintah.
- Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain.
Semua kewajiban dan larangan yang diuraikan diatas kiranya dapat dipahami oleh pegawai negeri sipil selaku aparat birokrasi sebagai pagar atau norma dan aturan yang merupakan bagian dari Etika atau kode etik Pegawai Negeri yang notabenen merupakan aparat birokrasi.
Selain Kewajiban dan Larangan yang harus ditaati oleh Pegawai Negeri, juga yang tidak kalah penting dalam pembentukan Etika Birokrasi adalah sangsi atau hukuman yang setimpal dengan pelanggaran atas ketentuan tersebut di atas. Jenis sangsi atau hukuman yang dapat dijatuhkan kepada Pagawai Negeri sangatlah bervariasi sesuai tingkat pelanggaran, adapun jenis sangsi tersebut menurut Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 terdiri dari :
Hukuman disiplin ringan antara lain :
- teguran lisan
- teguran tertulis
- pernyataan tidak puas secara tertulis.
Jenis hukuman disiplin sedang, antara lain :
- penundaan kenaikkan gaji berkala untuk paling lama satu tahun
- penurunan gaji sebesar satu kali gaji berkala untuk paling lama satu tahun.
- Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama satu tahun.
Jenis hukuman disiplin berat, terdiri dari :
- penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah paling lama satu tahun.
- Pembebasan dari jabatan.
- Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri selaku pegawai negeri sipil.
- Pemberhentian dengan tidak hormat sebagai pegawai negeri sipil.
Dari sangsi hukuman yang diberikan dan patut diterima bagi siapa saja pelanggar Etika atau peraturan yang turut mengatur moralitas para aparat birokrasi di atas, jelaslah bagi kita beratnya sangsi atau hukuamn yang telah ditentukan, namun sekarang kembali lagi kepada penegakkan sangsi atas pelanggaran Etika tersebut, apa betul-betul dilaksanakan atau ditegakkan kepada mereka yang melanggar atau hanya sebatas retorika ataupun sangsi social saja, karena sangsi social hanya efektif apabila aparat Birokrasi itu berada di tengah-tengah masyarakat, sementara apabila dalam organisasi Birokrasi harus tegas berupa sangsi hukuman sesuai peraturan perundang-undangan tersebut di atas.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peraturan kepegawaian juga dapat dijadikan salah satu bagian dari kode Etik Birokrasi yang nantinya dapat mengatur segala bentuk tingkah laku dari Aparat Birokrasi dengan segala sangsi yang mengikat, sehingga diharapkan pelaksanannya dapat membuat aparat birokrasi lebih beretika. Jadi selain etika yang berlaku dalam masyarakat dimana aparat birokrasi merupakan bagian dalam masyarakat, maka secara otomatis dia harus terikat dengan aturan tersebut, sementara di satu sisi Aparat Birokrsi mempunyai aturan main sendiri yang secara Nasional di Seluruh Indonesia dapat diterapkan yaitu tercermin dalam Sapta Pra Setya Korpri bagi pegawai negeri dan Sapta Marga bagi TNI, serta aturan Kepegawaian yang berlaku dan juga ketentuan atau sangsi yang tegas dan nyata. Ini diharapkan dapat menjadi Kode Etik Birokrasi dan menjadi aturan main dalam dalam melaksanakan tugas dan fungsi Birokrasi agar dikatakan birokrasi lebih beretika dan bermoral.
F. P E N U T U P
Uraian-uraian dari makalah yang disajikan diatas, hanya merupakan konsep ideal yang diharapka dari aparat pelaksana pemerintahan di Indonesia yang merupakan aparat birokrasi di negara kita yang mempunyai tugas dan fungsi pokok untuk melayani masyarakat, mengatur masyarakat dan memberdayakan masyarakat. Fungsi-fungsi ini dapat dilaksanakn dengan baik apabila Aparat Birokrasi tersebut memiliki Etika dalam bekerja.
Etika Birokrasi bukan hanya sekedar retorika yang didengungkan baik lewat Sapta Pra Setya Korpri maupun Sapta Marga dan sederetan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Tentang kepegawaian, tetapi lebih dari itu bagaiaman ketentuan-ketentuan tersebut dapat dapat dihayati dan diamalkan dalam berepilaku sebagai Aparat Birokrasi dan yang tidak kalah penting yaitu bagaiman penegakkan hukum atau sangsi yang tegas bagi para pelanggar aturan yang telah disepakati dan ditentukan tersebut. Hukuman atau sangsi perlu ditegakkan secara merata tanpa pandang bulu apakah dia atasan atau bawahan semuanya harus sama di mata hukum.
Masyarakat juga berhak menentukan kode Etik atau aturan dalam masyarakat yang juga turut mengatur keberadaan seorang Aparat Birokrasi di lingkungannya, kalau memang melanggar harus ada komitmen bersama untuk mentaati aturan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Jadi yang disebut Etika Birokrasi merupakan norma aturan yang melekat pada anggota atau aparat Birokrasi itu sendiri di manapun dan kapan dia berada, baik di kantor maupun di tengah-tengah masyarakat dia teriakt dengan aturan kepegawaian dan aturan norma dalam masyarakat yang menjadi lansasan Etika dalam bertindak dan berperilaku dalam melaksanakan tugasnya.
DAFTAR PUSTAKA
1 Aristoteles dalam Prof. Drs.H.A.Widjaja, Etika Pemerintahan, Edisi kedua, Bumi Aksara, Jakarta, 1997.
2 widjaja, AW. Masyarakat dan Permasayarakatan Ideologi Pancasila, bandung, Cv Armico, 1985.
3 Drs. Haryanto, MA, Kuliah Birokrasi Indonesia, Politik Lokal Otonomi Daerah Program Pasca Sarjana UGM,Yogyakarta,2002.
4 Agus Dwiyanto, Pemerintah Yang Baik, Tanggap, Efisien, dan Akuntabel, Kontrol atau Etika, Seminar Forum Kebijakan Publik, Pasca Sarjana, UGM, Yogyakarta, 2000.
5 Drs. Haryanto, MA, Makalah Etika Pemerintahan, Staf Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL, UGM, Yogyakarta.hal.8,9.
6 Ibid,.. hal 15,16.
7 Prof. Drs. H.a. Widjaja, Etika Pemerintahan, Bumi Aksara, Jakarta, 1997. hal.23.
Maret 21, 2007 - Ditulis oleh lutfiwahyudi | Materi Kuliah | | & Komentar
Sejarah Perkembangan Pemerintahan Desa di Indonesia
1. Masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda
Sebagaimana telah dimaklumi bahwa bangsa Indonesia telah mengalami pasang surut dalam perjalanan sejarah politik san kehidupan sosial ekonominya, sejak Kerajaan-Kerajaan Mataram, Banten, Cirebon, Aceh, Deli, Kutai, Pontianak, Goa, Bone, Ternate, Klungkung, Karangasem, Badung, Bima dan lain-lainnya kehilangan kedaulatannya dan kemerdekaannya.
Kerajaan-kerajaan itu satu persatu menyerahkan kedaulatan politiknya kepada V.O.C mulai tahun 1602 sampai terbentuknya Pemerintah Hindia Belanda, masih berlangsung terus menerima penyerahan-penyerahan kedaulatan kerjaan-kerajaan tersebut.
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang berkuasa dari tahun 1798 sampai Maret 1942, telah mengatur sebagian besar aspek kehidupan politik, ekonomi dan sosial bangsa Indonesia, melalui berbagai cara dengan gaya dan nafas khas kolonialis.
Berbagai peratuan perundang-undangan baik yang bersifat untuk sementara waktu, maupun yang dipersiapkan untuk jangka waktu yang cukup lama, yang telah dapat dipastikan akan menguntungkan Pemerintah Hindia Belanda, telah dikeluarkan dan harus ditaati sepenuhnya oleh bangsa Indonesia yang saat itu sebagai hamba-hamba Raja atau Ratu Belanda.
Tidak sedikit pula peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur Desa-desa atau yang semacam dengan Desa; sekalipun secara formal dan politis pemerintah kolonial Hindia Belanda menghormati dan mengakui serta “mempersilahkan” Adat dan Hukum Adat berlaku dan dapat digunakan sebagai landasan hukum bagi berbagai kegiatan Hukum “Golongan Pribumi” dan sebagai hukum dasar bagi desa-desa, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan politik dan sistem kolonialisme.
Peraturan perundang-undangan yang cukup penting dan sebagai pedoman pokok bagi desa-desa antara lain adalah :
1. Indische Staatsregeling pasal 128 ayat 1 sampai 6. (mulai berlaku 2 september 1854, Stb 1854.2.)
2. Inlandsche Gemeente Ordonanntie Java en Modoera, disingkat dengan nama I.G.O (Stb.1906-83) dengan segala perubahannya.
3. Inlandsche Gemeente Ordonanntie Buitengewesten, disingkat dengan nama I.G.O.B (Stb. 1938-490 yo.681) dengan segala perubahannya.
4. Reglement op de verkiezing, de schorsing en het onslag van de hoofden der Inlandsche Gemeenten op Java en Madoera (Stb. 1907-212) dengan segala perubahannya.
5. Nieuwe regelen omtrent de splitsing en samenvoeging van desa op Java en Madoera met uitzondering van de Vorstenlanden (Bijblad 9308).
6. Herziene Indonesische Reglement, disingkat H.I.R atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui, disingkat R.I.B (Stb 1848-16 yo Stb.1941-44).
Berdasarkan kepada ketata negaraan Hindia Belanda, sebagaimana tersurat dalam Indische Staatsrwgwling, maka ppemerintah kolonial Hindia Belanda memberikan hak untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri kepada Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum “Pribumi” dengan sebutan Inlandsche gemeente yang terdiri dari dua bentuk, yaitu Swapraja dan Desa atau yang dipersamakan dengan Desa.
Bagi Swapraja-Swapraja yaitu bekas-bekas kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan tetapi masih diberi kelonggaran yaitu berupa hak menyelenggarakan pemerintahan sendiri (self bestuur) berdasarkan Hukum Adatnya dengan pengawasan penguasa-penguasa Belanda dan dengan pembatasan-pembatasan atas hal-hal tertentu, disebut dengan nama Landschap.
Selanjutnya bagi Desa-desa atau yang dipersamakan dengan Desa (Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum di luar Jawa, Madura dan Bali) mendapat sebutan Inlandsche Gemeente dan Dorp dalam H.I.R.
Untuk kepentingan pelaksanaan pemerintahan dan kemantapan sistem kolonialisme maka para pejabat pemerintah Belanda telah memberikan sekedar perumusan tentang sebutan Inladsche Gemeente sebagai berikut :
Suatu kesatuan masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, yang memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan kepada Hukum Adat dan peratuaran perundang-undangan Hindia Belanda untuk hal-hal tertentu, dan pemerintahannya merupakan bagian terbawah dari susunan pemerintah Kabupaten dan Swapraja.
Pengertian tentang Inlandsche Gemeente tersebut di atas tidak lai wujudnya adalah Desa-desa, tidak secara tegas dan terperinci dicantumkan dalam I.G.O dan I.G.O.B. uraian pengertian tersebut disampaikan antara lain dalam rangkaian penyusunan I.G.O di Volksraad tahun 1906.
2. Masa Pemerintah Pendudukan Balatentara Jepang
Telah dikemukakan di atas bahwa pada bulan Maret 1942 seluruh wilayah jajahan Hindia Belanda jatuh ke dalam kekuasaan militer Jepang di mana penyerahan kekuasaannya ditanda tangani di Lembang Jawa Barat. Dengan sendirinya Jepang berkuasa atas segala sesuatunya di wilayah bekas jajahan Belanda itu yaitu Indonesia Tercinta ini.
Pemerintah militer Jepang tidak banyak merubah peratuaran perundang-undangan yang dibuat Belanda sepanjang tidak merugikan trategi “Perang Asia Timur Raya” yang harus dimenangkan oleh Jepang. Demikian pula Hukum Adat tidak diganggu apalagi dihapuskan. Masih tetap dapat digunakan oleh bangsa Indonesia, sepanjang tidak merugikan Jepang.
Selama Jepang menjajah 3 ½ tahunm I.G.O dan I.G.O.B. secara formal terus berlaku, hanya sebutan-sebutan kepala Desa diseragamkan yaitu dengan sebutan Kuco; demikian juga cara pemilihan dan pemberhentiannya diatur oleh osamu Seirei No. 7 tahun 2604(1944).
Dengan demikian sekaligus pula nama Desa berganti/ berubah menjadi “Ku”. Perubahan ini selaras dengan perubahansebutan-sebutan bagi satuan pemerintahan lebih atasnya.
Untuk sekedar melengkapi hal di atas, maka sebagaimana dimaklumi berdasarkan Osamu Seirei No. 27 tahun 1942, maka susunan pemerintahan untuk di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Pucuk pimpinan pemerintahan militer Jepang ada di tangan Panglima Tentara ke 16 khusus untuk pulau jawa yaitu Gunsyireikan atau Panglima Tentara, kemudian disebut Saikosikikan.
2. Di bawah Panglima ada Kepala Pemerintahan militer disebut Gunseikan.
3. Di bawah Gunseikan ada koordinator pemerintahan militer untuk Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan sebutan Gunseibu.
4. Gunseibu-gunseibu ini dijabat oleh orang-orang Jepang, tetapi wakil Gunseibu diambil dari bangsa Indonesia.
5. Gunseibu membawahi Residen-Residen yang disebut Syucokan. Pada masa Jepang Keresidenan (Syu) merupakan Pemerintah Daerah Tertinggi. Para Syucokan semuanya terdiri dari orang-orang Jepang.
6. Daerah Syu terbagi atas Kotamadya (Si) dan Kabupaten (Ken).
7. Ken, terbagi lagi atas beberapa Gun (Kewedanan).
8. Gun terbagi lagi atas beberapa Son (Kecamatan).
9. Son Terbagi atas beberapa Ku (Desa).
10. Ku terbagi lagi atas beberapa Usa (Kampung).
Sekalipun menurut susunan pemerintahan Keresidenan menurut Pemerintah Daerah yang tertinggi, berarti juga termasuk kategori penting bagi strategi militer, namun ternyata Jepang mempunyai perhatian yang cukup besar terhadap Desa-desa.
Desa-desa oleh Jepang dinilai sebagai bagian yang cukup vital bagi strategi memenangkan “Perang Asia Timur Raya”. Oleh karenanya Desa-desa dijadikan basis logistik perang. Kewajiban Desa-desa semakin bertambah banyak dan bebannya semakin bertambah berat. Desa-desa harus menyediakan pangan dan tenaga manusia yang disebut Romusya untuk keperluan pertahanan militer Jepang.
Dengan demikian bagi Jepang pengertian Ku (Desa) adalah Suatu Kesatuan Masyarakat berdasarkan Adat dan peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda serta pemerintah Militer Jepang, yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri, merupakan kesatuan ketata negaraan terkecil dalam daerah Syu, yang kepalanya dipilih oleh rakyatnya dan disebut Kuco, dan merupakan bagian dari sistem pertahanan militer.
Sudah barang tentu pengertian yang terurai di atas itu tidak dapat dianggap sesuai lagi ketika Tentara Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu pada tanggan 14 Agustus 1945.
3. Sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga Lahirnya Orde Baru
Pada tanggal 17 Agustus 1945 bersamaan waktunya dengan diproklamasikannya kemerdekaan, berakhirlah sudah lembaran buku sejarah kehidupan bangsa Indonesia yang penuh dengan penderitaan dan kenistaan sejak awal penjajahan oleh Belanda dan berakhir oleh militer Jepang.
Kemerdekaan membawa perubahan di segala bidang kehidupan menuju ke arah kemajuan yang telah sekian lama didambakan.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang mengandung prinsip kejiwaan bertentangan dengan martabat bangsa yang merdeka, secara bertahap dihapuskan, dan diganti dengan yang selaras dan serasi sebagaimana layaknya di alam kemerdekaan, walaupun dengan berbagai kesulitan karena situasi pilitik dan keamanan pada awal Indonesia merdeka belum stabil.
Barulah pada atahun-tahun setelah pemulihan kedaulatan, mulai banyak terlihat berbagai kegiatan untuk menyiapkan Undang-Undangyang mengatur pemerintahan Desa sebagai pengganti I.G.O dan I.G.O.B. pun mengalami hambatan yang tidak kecil.
Akibatnya maka hal-hal yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman yang terdapat dalam I.G.O. dan I.G.O.B. diatasi oleh berbagai peraturan yang derajatnya di bawah undang-undang.
Dengan ssendirinya pengertian tentang Desa atau yang semacam dengan Desa masih tetap seperti pada masa dahulu, dengan sedikit penambahan di sana-sini.
Barulah kemudian setelah keluar Undang-Undang Desapraja (sebagai pengganti I.G.O. dan I.G.O.B) pada tahun 1965, didapatlah pengertian resmi tentanf desa berdasarkan undang-undang Republik Indonesia.
Pada pasal 1 Undang-Undang Desapraja (No. 19 Tahun 1965) dijelaskan apa yang dimaksud dengan Desapraja yaitu :
Desapraja adalah Kesatuan Masyarakat Hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri.
Jadi Desapraja pada undang-undang tersebut di atas itu hanyalah nama baru bagi Desa yang sudah ada sejak berabad-abad yang lampau, yang memiliki pengertian sama seperti di atas.
Undang-Undang Desapraja tidak berumur lama,sebab ketika Orde Baru lahir, undang-undang yang jiwanya dan sistem pengaturannya akan dapat membawa ke arah ketidakstabilan politik di Desa-desa, dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-Undang No. 6 Tahun 1969.
4. Sejak Lahirnya Orde Baru hingga Sekarang
Sejak Undang-Undang Desapraja dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-Undang No. 6 tahun 1969, sampai saat lahir dan berlakunya Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa (Undang-Undang No. 5 Tahun 1979) maka selama 10 tahun Desa-desa di seluruh Indonesia tidak memiliki landasan hukum berupa undang-undang. Selama 10 tahun itu pengertian tentang Desa diambi dari berbagai sumber baik dari peraturan-peraturan maupun dari pendapat para ahli.
Pengertian Desa yang didasarkan kepada undang-undang yang dapat dipergunakan sebagai pegangan atau patokan bagi berbagai kepentingan baik bagi kalangan masyarakat maupun aparatur pemerintah terdapat pada pasal 1 huruf a dari Undang-undang tentang Pemerintahan Desa (Undang-Undang No 5 Tahun 1979) yaitu :
Suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat, termasuk di dalamnya esatuan Masyarakat Hukum, yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan urusan rumahtangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan adanya secara resmi pengertian tentang Desa sebagaimana tersebut di atas, maka pengertian atau batasan-batasan tentang Desa tidak perlu lagi dirumuskan oleh berbagai pihak maupun dalam berbagai peraturan yang derajatnya di bawah undang-undang.
Sebagai akibat logis adanya pengertian atau batasan Desa secara resmi sebagaimana tersebut di atas, maka sekaligus terjadi pula keseragaman sebutan atau nama yaitu Desa bagi bermacam bentuk atau corak Kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum yang memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri dengan sebutan atau nama setempat seperti Marga, Nagari, Kuria, Nagorey dan lain-lainnya, yang tersebar di seluruh Indonesia.
Sekalipun demikian masih harus dimaklumi bilamana masyarakat awam yang berada di luar Jawa, Madura dan Bali masih menyebut Desanya dengan nama atau sebutan yang dahulu, karena setiap perubahan sekalipun hanya perubahan sebutan memerlukan waktu untuk bisa diterima sehingga membudaya.
Telah dimaklumi bahwa Desa dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami perubahan baik yang menyangkut aspek yuridis formal maupun yang berkaitan dengan luas wilayah, sistem dan pola ketahanan masyarakat, prasarana dan sarana, sumber-sumber penghasilan, sistem administrasi pemerintahan, lembaga-lembaga kemasyarakatanm susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa dan lain-lainnya, namun pada hakikatnya ada anasir penting yang melekat pada setiap Desa yang tidak mungkin mudah berubah karena perubahan zaman yaitu :
1. Pada zaman atau masa manapun Desa merupakan satuan organisasi ketatanegaraan (sekalipun terkecil dan paling sederhana) dalam suatu negara (Kerajaan atau Republik).
2. Pemerintah Desa merupakan pemerintahan terendah dalam susunan pemerintahan negara (Kerajaan atau Republik).
3. Adanya hak untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri.
4. Berada dalam suatu wilayah yang batas-batasnya jelas dan tertentu.
5. Ada penduduknya atau masyarakat dalam jumlah yang cukup besar sesuai persyaratan, yang hidup secara tertib dan bertempat tinggal pada lokasi-lokasi yang sudah tetap.
6. Kepalanya dipilih secara langsung, bebas dan rahasia oleh penduduk Desa yang berhak.
7. Memiliki kekayaan sendiri (fisik ekonomis dan non fisik ekonomis).
8. Ada Landasan Hukum (tertulis dan tidak tertulis) yang ditaati oleh masyarakatnya bersama aparatur Pemerintah Desa.
9. Mempunyai nama, yang tetap dan lestari serta mengandung makna tertentu bagi masyarakatnya.
Menurut Undand-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan menguruskepentingan msyarakat setempat berdasarkan asal usuk dan adapt istiadat setempat yang diakui dalam sistim pemerintahan nasional dan berada didalan daerah kabupaten. Sedangkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pengertian desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat .
Sebagaimana telah dimaklumi bahwa bangsa Indonesia telah mengalami pasang surut dalam perjalanan sejarah politik san kehidupan sosial ekonominya, sejak Kerajaan-Kerajaan Mataram, Banten, Cirebon, Aceh, Deli, Kutai, Pontianak, Goa, Bone, Ternate, Klungkung, Karangasem, Badung, Bima dan lain-lainnya kehilangan kedaulatannya dan kemerdekaannya.
Kerajaan-kerajaan itu satu persatu menyerahkan kedaulatan politiknya kepada V.O.C mulai tahun 1602 sampai terbentuknya Pemerintah Hindia Belanda, masih berlangsung terus menerima penyerahan-penyerahan kedaulatan kerjaan-kerajaan tersebut.
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang berkuasa dari tahun 1798 sampai Maret 1942, telah mengatur sebagian besar aspek kehidupan politik, ekonomi dan sosial bangsa Indonesia, melalui berbagai cara dengan gaya dan nafas khas kolonialis.
Berbagai peratuan perundang-undangan baik yang bersifat untuk sementara waktu, maupun yang dipersiapkan untuk jangka waktu yang cukup lama, yang telah dapat dipastikan akan menguntungkan Pemerintah Hindia Belanda, telah dikeluarkan dan harus ditaati sepenuhnya oleh bangsa Indonesia yang saat itu sebagai hamba-hamba Raja atau Ratu Belanda.
Tidak sedikit pula peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur Desa-desa atau yang semacam dengan Desa; sekalipun secara formal dan politis pemerintah kolonial Hindia Belanda menghormati dan mengakui serta “mempersilahkan” Adat dan Hukum Adat berlaku dan dapat digunakan sebagai landasan hukum bagi berbagai kegiatan Hukum “Golongan Pribumi” dan sebagai hukum dasar bagi desa-desa, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan politik dan sistem kolonialisme.
Peraturan perundang-undangan yang cukup penting dan sebagai pedoman pokok bagi desa-desa antara lain adalah :
1. Indische Staatsregeling pasal 128 ayat 1 sampai 6. (mulai berlaku 2 september 1854, Stb 1854.2.)
2. Inlandsche Gemeente Ordonanntie Java en Modoera, disingkat dengan nama I.G.O (Stb.1906-83) dengan segala perubahannya.
3. Inlandsche Gemeente Ordonanntie Buitengewesten, disingkat dengan nama I.G.O.B (Stb. 1938-490 yo.681) dengan segala perubahannya.
4. Reglement op de verkiezing, de schorsing en het onslag van de hoofden der Inlandsche Gemeenten op Java en Madoera (Stb. 1907-212) dengan segala perubahannya.
5. Nieuwe regelen omtrent de splitsing en samenvoeging van desa op Java en Madoera met uitzondering van de Vorstenlanden (Bijblad 9308).
6. Herziene Indonesische Reglement, disingkat H.I.R atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui, disingkat R.I.B (Stb 1848-16 yo Stb.1941-44).
Berdasarkan kepada ketata negaraan Hindia Belanda, sebagaimana tersurat dalam Indische Staatsrwgwling, maka ppemerintah kolonial Hindia Belanda memberikan hak untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri kepada Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum “Pribumi” dengan sebutan Inlandsche gemeente yang terdiri dari dua bentuk, yaitu Swapraja dan Desa atau yang dipersamakan dengan Desa.
Bagi Swapraja-Swapraja yaitu bekas-bekas kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan tetapi masih diberi kelonggaran yaitu berupa hak menyelenggarakan pemerintahan sendiri (self bestuur) berdasarkan Hukum Adatnya dengan pengawasan penguasa-penguasa Belanda dan dengan pembatasan-pembatasan atas hal-hal tertentu, disebut dengan nama Landschap.
Selanjutnya bagi Desa-desa atau yang dipersamakan dengan Desa (Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum di luar Jawa, Madura dan Bali) mendapat sebutan Inlandsche Gemeente dan Dorp dalam H.I.R.
Untuk kepentingan pelaksanaan pemerintahan dan kemantapan sistem kolonialisme maka para pejabat pemerintah Belanda telah memberikan sekedar perumusan tentang sebutan Inladsche Gemeente sebagai berikut :
Suatu kesatuan masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, yang memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan kepada Hukum Adat dan peratuaran perundang-undangan Hindia Belanda untuk hal-hal tertentu, dan pemerintahannya merupakan bagian terbawah dari susunan pemerintah Kabupaten dan Swapraja.
Pengertian tentang Inlandsche Gemeente tersebut di atas tidak lai wujudnya adalah Desa-desa, tidak secara tegas dan terperinci dicantumkan dalam I.G.O dan I.G.O.B. uraian pengertian tersebut disampaikan antara lain dalam rangkaian penyusunan I.G.O di Volksraad tahun 1906.
2. Masa Pemerintah Pendudukan Balatentara Jepang
Telah dikemukakan di atas bahwa pada bulan Maret 1942 seluruh wilayah jajahan Hindia Belanda jatuh ke dalam kekuasaan militer Jepang di mana penyerahan kekuasaannya ditanda tangani di Lembang Jawa Barat. Dengan sendirinya Jepang berkuasa atas segala sesuatunya di wilayah bekas jajahan Belanda itu yaitu Indonesia Tercinta ini.
Pemerintah militer Jepang tidak banyak merubah peratuaran perundang-undangan yang dibuat Belanda sepanjang tidak merugikan trategi “Perang Asia Timur Raya” yang harus dimenangkan oleh Jepang. Demikian pula Hukum Adat tidak diganggu apalagi dihapuskan. Masih tetap dapat digunakan oleh bangsa Indonesia, sepanjang tidak merugikan Jepang.
Selama Jepang menjajah 3 ½ tahunm I.G.O dan I.G.O.B. secara formal terus berlaku, hanya sebutan-sebutan kepala Desa diseragamkan yaitu dengan sebutan Kuco; demikian juga cara pemilihan dan pemberhentiannya diatur oleh osamu Seirei No. 7 tahun 2604(1944).
Dengan demikian sekaligus pula nama Desa berganti/ berubah menjadi “Ku”. Perubahan ini selaras dengan perubahansebutan-sebutan bagi satuan pemerintahan lebih atasnya.
Untuk sekedar melengkapi hal di atas, maka sebagaimana dimaklumi berdasarkan Osamu Seirei No. 27 tahun 1942, maka susunan pemerintahan untuk di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Pucuk pimpinan pemerintahan militer Jepang ada di tangan Panglima Tentara ke 16 khusus untuk pulau jawa yaitu Gunsyireikan atau Panglima Tentara, kemudian disebut Saikosikikan.
2. Di bawah Panglima ada Kepala Pemerintahan militer disebut Gunseikan.
3. Di bawah Gunseikan ada koordinator pemerintahan militer untuk Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan sebutan Gunseibu.
4. Gunseibu-gunseibu ini dijabat oleh orang-orang Jepang, tetapi wakil Gunseibu diambil dari bangsa Indonesia.
5. Gunseibu membawahi Residen-Residen yang disebut Syucokan. Pada masa Jepang Keresidenan (Syu) merupakan Pemerintah Daerah Tertinggi. Para Syucokan semuanya terdiri dari orang-orang Jepang.
6. Daerah Syu terbagi atas Kotamadya (Si) dan Kabupaten (Ken).
7. Ken, terbagi lagi atas beberapa Gun (Kewedanan).
8. Gun terbagi lagi atas beberapa Son (Kecamatan).
9. Son Terbagi atas beberapa Ku (Desa).
10. Ku terbagi lagi atas beberapa Usa (Kampung).
Sekalipun menurut susunan pemerintahan Keresidenan menurut Pemerintah Daerah yang tertinggi, berarti juga termasuk kategori penting bagi strategi militer, namun ternyata Jepang mempunyai perhatian yang cukup besar terhadap Desa-desa.
Desa-desa oleh Jepang dinilai sebagai bagian yang cukup vital bagi strategi memenangkan “Perang Asia Timur Raya”. Oleh karenanya Desa-desa dijadikan basis logistik perang. Kewajiban Desa-desa semakin bertambah banyak dan bebannya semakin bertambah berat. Desa-desa harus menyediakan pangan dan tenaga manusia yang disebut Romusya untuk keperluan pertahanan militer Jepang.
Dengan demikian bagi Jepang pengertian Ku (Desa) adalah Suatu Kesatuan Masyarakat berdasarkan Adat dan peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda serta pemerintah Militer Jepang, yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri, merupakan kesatuan ketata negaraan terkecil dalam daerah Syu, yang kepalanya dipilih oleh rakyatnya dan disebut Kuco, dan merupakan bagian dari sistem pertahanan militer.
Sudah barang tentu pengertian yang terurai di atas itu tidak dapat dianggap sesuai lagi ketika Tentara Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu pada tanggan 14 Agustus 1945.
3. Sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga Lahirnya Orde Baru
Pada tanggal 17 Agustus 1945 bersamaan waktunya dengan diproklamasikannya kemerdekaan, berakhirlah sudah lembaran buku sejarah kehidupan bangsa Indonesia yang penuh dengan penderitaan dan kenistaan sejak awal penjajahan oleh Belanda dan berakhir oleh militer Jepang.
Kemerdekaan membawa perubahan di segala bidang kehidupan menuju ke arah kemajuan yang telah sekian lama didambakan.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang mengandung prinsip kejiwaan bertentangan dengan martabat bangsa yang merdeka, secara bertahap dihapuskan, dan diganti dengan yang selaras dan serasi sebagaimana layaknya di alam kemerdekaan, walaupun dengan berbagai kesulitan karena situasi pilitik dan keamanan pada awal Indonesia merdeka belum stabil.
Barulah pada atahun-tahun setelah pemulihan kedaulatan, mulai banyak terlihat berbagai kegiatan untuk menyiapkan Undang-Undangyang mengatur pemerintahan Desa sebagai pengganti I.G.O dan I.G.O.B. pun mengalami hambatan yang tidak kecil.
Akibatnya maka hal-hal yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman yang terdapat dalam I.G.O. dan I.G.O.B. diatasi oleh berbagai peraturan yang derajatnya di bawah undang-undang.
Dengan ssendirinya pengertian tentang Desa atau yang semacam dengan Desa masih tetap seperti pada masa dahulu, dengan sedikit penambahan di sana-sini.
Barulah kemudian setelah keluar Undang-Undang Desapraja (sebagai pengganti I.G.O. dan I.G.O.B) pada tahun 1965, didapatlah pengertian resmi tentanf desa berdasarkan undang-undang Republik Indonesia.
Pada pasal 1 Undang-Undang Desapraja (No. 19 Tahun 1965) dijelaskan apa yang dimaksud dengan Desapraja yaitu :
Desapraja adalah Kesatuan Masyarakat Hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri.
Jadi Desapraja pada undang-undang tersebut di atas itu hanyalah nama baru bagi Desa yang sudah ada sejak berabad-abad yang lampau, yang memiliki pengertian sama seperti di atas.
Undang-Undang Desapraja tidak berumur lama,sebab ketika Orde Baru lahir, undang-undang yang jiwanya dan sistem pengaturannya akan dapat membawa ke arah ketidakstabilan politik di Desa-desa, dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-Undang No. 6 Tahun 1969.
4. Sejak Lahirnya Orde Baru hingga Sekarang
Sejak Undang-Undang Desapraja dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-Undang No. 6 tahun 1969, sampai saat lahir dan berlakunya Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa (Undang-Undang No. 5 Tahun 1979) maka selama 10 tahun Desa-desa di seluruh Indonesia tidak memiliki landasan hukum berupa undang-undang. Selama 10 tahun itu pengertian tentang Desa diambi dari berbagai sumber baik dari peraturan-peraturan maupun dari pendapat para ahli.
Pengertian Desa yang didasarkan kepada undang-undang yang dapat dipergunakan sebagai pegangan atau patokan bagi berbagai kepentingan baik bagi kalangan masyarakat maupun aparatur pemerintah terdapat pada pasal 1 huruf a dari Undang-undang tentang Pemerintahan Desa (Undang-Undang No 5 Tahun 1979) yaitu :
Suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat, termasuk di dalamnya esatuan Masyarakat Hukum, yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan urusan rumahtangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan adanya secara resmi pengertian tentang Desa sebagaimana tersebut di atas, maka pengertian atau batasan-batasan tentang Desa tidak perlu lagi dirumuskan oleh berbagai pihak maupun dalam berbagai peraturan yang derajatnya di bawah undang-undang.
Sebagai akibat logis adanya pengertian atau batasan Desa secara resmi sebagaimana tersebut di atas, maka sekaligus terjadi pula keseragaman sebutan atau nama yaitu Desa bagi bermacam bentuk atau corak Kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum yang memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri dengan sebutan atau nama setempat seperti Marga, Nagari, Kuria, Nagorey dan lain-lainnya, yang tersebar di seluruh Indonesia.
Sekalipun demikian masih harus dimaklumi bilamana masyarakat awam yang berada di luar Jawa, Madura dan Bali masih menyebut Desanya dengan nama atau sebutan yang dahulu, karena setiap perubahan sekalipun hanya perubahan sebutan memerlukan waktu untuk bisa diterima sehingga membudaya.
Telah dimaklumi bahwa Desa dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami perubahan baik yang menyangkut aspek yuridis formal maupun yang berkaitan dengan luas wilayah, sistem dan pola ketahanan masyarakat, prasarana dan sarana, sumber-sumber penghasilan, sistem administrasi pemerintahan, lembaga-lembaga kemasyarakatanm susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa dan lain-lainnya, namun pada hakikatnya ada anasir penting yang melekat pada setiap Desa yang tidak mungkin mudah berubah karena perubahan zaman yaitu :
1. Pada zaman atau masa manapun Desa merupakan satuan organisasi ketatanegaraan (sekalipun terkecil dan paling sederhana) dalam suatu negara (Kerajaan atau Republik).
2. Pemerintah Desa merupakan pemerintahan terendah dalam susunan pemerintahan negara (Kerajaan atau Republik).
3. Adanya hak untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri.
4. Berada dalam suatu wilayah yang batas-batasnya jelas dan tertentu.
5. Ada penduduknya atau masyarakat dalam jumlah yang cukup besar sesuai persyaratan, yang hidup secara tertib dan bertempat tinggal pada lokasi-lokasi yang sudah tetap.
6. Kepalanya dipilih secara langsung, bebas dan rahasia oleh penduduk Desa yang berhak.
7. Memiliki kekayaan sendiri (fisik ekonomis dan non fisik ekonomis).
8. Ada Landasan Hukum (tertulis dan tidak tertulis) yang ditaati oleh masyarakatnya bersama aparatur Pemerintah Desa.
9. Mempunyai nama, yang tetap dan lestari serta mengandung makna tertentu bagi masyarakatnya.
Menurut Undand-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan menguruskepentingan msyarakat setempat berdasarkan asal usuk dan adapt istiadat setempat yang diakui dalam sistim pemerintahan nasional dan berada didalan daerah kabupaten. Sedangkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pengertian desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat .
Pengertian Otonomi, Sistem Otonomi, dan Sistem Pemerintahan Daerah Menurut Ahli
Beberapa Pengertian Otonomi, Sistem Otonomi dan Sistem Pemerintahan Daerah Menurut Prof.Dr.Ateng Syafrudin, S.H. dalam bukunya yang berjudul “Titik Berat Otonomi Daerah Pada Daerah Tingkat II Dan Pembangunannya”, Prof.Dr.H.Bagir Manan, SH.,M.CL. dalam bukunya menyongsong Fajar Otonomi Daerah”, dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah oleh MP. Kristoporus Dawi (Fak. Polpem-IPDN 2010)
Pengertian menurut Prof.Dr.Ateng Syafrudin, S.H. dalam bukunya yang berjudul “Titik Berat Otonomi Daerah Pada Daerah Tingkat II Dan Pembangunannya”
1. Otonomi mengandung arti jumlah atau besarnya tugas, kewajiban, hak dan wewenang serta tanggung jawab urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah otonomi untuk menjadi isi rumah tangga Daerah. Otonomi daerah terkandung unsur kemampuan untuk mewujudkan apa-apa yang menjadi tugas, hak dan wewenang serta tanggung jawabnya memperhatikan, mengurus dan mengatur rumah tangga daerah sendiri. Dalam bagian terdahulu telah dikemukakan beberapa cara untuk mengukur kemampuan termaksud. Otonomi daerah itu juga merupakan bagian dari pembagian tugas penyelenggaraan kepentingan umum antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.Dilihat dari segi ini unsur kemampuan harus ada pada pihak yang membagi dan yang menerima bagian tugas, artinya kemampuan jajaran pemerintah pusat juga harus turut diperhitungkan karena akan mempengaruhi pelaksanaannya.( Prof.Dr.Ateng Syafrudin, S.H.,1991:40)
2. Sistem Otonomi daerah adalah totalitas dari bagian-bagian yang saling ketergantungan dan saling berhubungan yang terkandung unsur kemampuan untuk mewujudkan apa-apa yang menjadi tugas, hak dan wewenang serta tanggung jawabnya memperhatikan, mengurus dan mengatur rumah tangga daerah sendiri. Dalam bagian terdahulu telah dikemukakan beberapa cara untuk mengukur kemampuan termaksud. Otonomi daerah itu juga merupakan bagian dari pembagian tugas penyelenggaraan kepentingan umum antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.Dilihat dari segi ini unsur kemampuan harus ada pada pihak yang membagi dan yang menerima bagian tugas, artinya kemampuan jajaran pemerintah pusat juga harus turut diperhitungkan karena akan mempengaruhi pelaksanaannya. ( Prof.Dr.Ateng Syafrudin, S.H.,1991:61)
3. Sistem Pemerintah Daerah adalah totalitas dari bagian-bagian yang saling ketergantungan dan saling berhubungan yang unsur utamanya terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD yang secara formal mempunyai kewajiban dan hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya, sekaligus mempunyai kewajiban dan hak untuk menyerap dan merumuskan aspirasi rakyatnya dalam wujud berbagai upaya penyelenggaraan Pemerintahan.. Kewajiban ini pada dirinya mengandung sifat dan nilai politik karena anggota-anggota DPRD dipilih oleh rakyat melalui Pemilihan Umum secara nasional dan memang hal itu untuk mewujudkan prinsip yang ditegaskan dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945 bahwa” di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan Badan Perwakilan oleh karena di daerah pun, Pemerintah akan bersendi atas dasar permusyawaratan”. ( Prof.Dr.Ateng Syafrudin, S.H.,1991:40)
“Pengertian menurut Prof.Dr.H.Bagir Manan, SH.,M.CL. dalam bukunya menyongsong Fajar Otonomi Daerah”
1. Otonomi adalah sebuah tatanan ketatanegaraan (staatsrechtelijk), bukan hanya tatanan administrasi Negara (administratiefrechtelijk). Sebagaimana tatanan ketatanegaraan,otonomi berkaitan dengan dasar-dasar bernegara dan sususnan organisasi Negara.paling tidak, ada dua arahan dasar susunan ketatanegaraan dalam perumahan Indonesia merdeka yaitu demokrasi dan penyelenggaraan negara berdasarkan atas hukum.Otonomi bukan sekedar pemencaran penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai efesiensi dan efektivitas pemerintahan.(Prof.Dr.H.Bagir Manan, SH.,M.CL. ,2002:24-25)
2. Sistem Otonomi Daerah adalah totalitas dari bagian-bagian yang saling ketergantungan dan saling barhubungan dalam sebuah tatanan ketatanegaraan (staatsrechtelijk), bukan hanya tatanan administrasi Negara (administratiefrechtelijk). Sebagaimana tatanan ketatanegaraan,otonomi berkaitan dengan dasar-dasar bernegara dan sususnan organisasi Negara.paling tidak, ada dua arahan dasar susunan ketatanegaraan dalam perumahan Indonesia merdeka yaitu demokrasi dan penyelenggaraan negara berdasarkan atas hokum. Otonomi bukan sekedar pemencaran penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai efesiensi dan efektivitas pemerintahan.(Prof.Dr.H.Bagir Manan, SH.,M.CL. ,2002:24-25)
3. Sistem Pemerintahan Daerah adalah totalitas dari bagian-bagian yang saling ketergantungan dan saling barhubungan dalam satuan pemerintahan territorial tingkat lbh rendah dalam daerah Negara kesatuan Republik Indonesia yang berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan tertentu di bidang administrasi Negara sebagai urusan rumah tangganya.Satuan pemerintahan territorial ini lazim disebut daerah otonom, sedangkan hak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang administrasi Negara yang merupakan urusan rumah tangga daerah disebut otonomi. Jauh sebelum merdeka ,cita-cita membentuk satuan pemerintahan tingkat daerah yang otonom telah dikumandangkan oleh para pejuang kemerdekaan, baik dalam tulisan maupun sebagai garis politik gerakan kepartaian dan lain-lain badan.karena itu tidak mengherankan apabila cita-cita itu kemudian tertuang secara mantap dalam UUD,baik dalam UUD1945 maupun UUDS 1950.Dalam Konstitusi RIS(1949) cita-cita daerah otonom terintegrasi dengan faham federasi, baik dalam bentuk Negara bagian atau satuan-satuan pemerintahan yang tegak sendiri. Pada masing-masing Negara bagian, cita-cita otonomi tetap dilaksanakan secara kukuh.(Prof.Dr.H.Bagir Manan, SH.,M.CL. ,2002:67-68)
“Pengertian menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah”
1. Otonomi Daerah adalah wewenang Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Daerah Otonom, sebagai sebutan umum bagi Provinsi, Kabupaten dan Kota, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Sistem Otonomi Daerah adalah totalitas dari bagian-bagian yang saling ketergantungan dan saling barhubungan dalam wewenang Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Daerah Otonom, sebagai sebutan umum bagi Provinsi, Kabupaten dan Kota, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Sistem Pemerintahan Daerah adalah totalitas dari bagian-bagian yang saling ketergantungan dan saling barhubungan dalam penyelenggaraan urusan Pemerintah yang diserahkan kepadaDaerah sebagai fungsi-fungsi pemerintahan daerah otonom yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang merupakan lembaga pemerintahan daerah menurut asas desentralisasi. Pemerintah Daerah adalah unsur lembaga pemerintahan daerah yang terdiri dari Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain, yang berfungsi sebagai lembaga eksekutif daerah.Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah unsur lembaga pemerintahan daerah yang berfungsi sebagai lembaga legislatif Daerah.
Pengertian menurut Prof.Dr.Ateng Syafrudin, S.H. dalam bukunya yang berjudul “Titik Berat Otonomi Daerah Pada Daerah Tingkat II Dan Pembangunannya”
1. Otonomi mengandung arti jumlah atau besarnya tugas, kewajiban, hak dan wewenang serta tanggung jawab urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah otonomi untuk menjadi isi rumah tangga Daerah. Otonomi daerah terkandung unsur kemampuan untuk mewujudkan apa-apa yang menjadi tugas, hak dan wewenang serta tanggung jawabnya memperhatikan, mengurus dan mengatur rumah tangga daerah sendiri. Dalam bagian terdahulu telah dikemukakan beberapa cara untuk mengukur kemampuan termaksud. Otonomi daerah itu juga merupakan bagian dari pembagian tugas penyelenggaraan kepentingan umum antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.Dilihat dari segi ini unsur kemampuan harus ada pada pihak yang membagi dan yang menerima bagian tugas, artinya kemampuan jajaran pemerintah pusat juga harus turut diperhitungkan karena akan mempengaruhi pelaksanaannya.( Prof.Dr.Ateng Syafrudin, S.H.,1991:40)
2. Sistem Otonomi daerah adalah totalitas dari bagian-bagian yang saling ketergantungan dan saling berhubungan yang terkandung unsur kemampuan untuk mewujudkan apa-apa yang menjadi tugas, hak dan wewenang serta tanggung jawabnya memperhatikan, mengurus dan mengatur rumah tangga daerah sendiri. Dalam bagian terdahulu telah dikemukakan beberapa cara untuk mengukur kemampuan termaksud. Otonomi daerah itu juga merupakan bagian dari pembagian tugas penyelenggaraan kepentingan umum antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.Dilihat dari segi ini unsur kemampuan harus ada pada pihak yang membagi dan yang menerima bagian tugas, artinya kemampuan jajaran pemerintah pusat juga harus turut diperhitungkan karena akan mempengaruhi pelaksanaannya. ( Prof.Dr.Ateng Syafrudin, S.H.,1991:61)
3. Sistem Pemerintah Daerah adalah totalitas dari bagian-bagian yang saling ketergantungan dan saling berhubungan yang unsur utamanya terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD yang secara formal mempunyai kewajiban dan hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya, sekaligus mempunyai kewajiban dan hak untuk menyerap dan merumuskan aspirasi rakyatnya dalam wujud berbagai upaya penyelenggaraan Pemerintahan.. Kewajiban ini pada dirinya mengandung sifat dan nilai politik karena anggota-anggota DPRD dipilih oleh rakyat melalui Pemilihan Umum secara nasional dan memang hal itu untuk mewujudkan prinsip yang ditegaskan dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945 bahwa” di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan Badan Perwakilan oleh karena di daerah pun, Pemerintah akan bersendi atas dasar permusyawaratan”. ( Prof.Dr.Ateng Syafrudin, S.H.,1991:40)
“Pengertian menurut Prof.Dr.H.Bagir Manan, SH.,M.CL. dalam bukunya menyongsong Fajar Otonomi Daerah”
1. Otonomi adalah sebuah tatanan ketatanegaraan (staatsrechtelijk), bukan hanya tatanan administrasi Negara (administratiefrechtelijk). Sebagaimana tatanan ketatanegaraan,otonomi berkaitan dengan dasar-dasar bernegara dan sususnan organisasi Negara.paling tidak, ada dua arahan dasar susunan ketatanegaraan dalam perumahan Indonesia merdeka yaitu demokrasi dan penyelenggaraan negara berdasarkan atas hukum.Otonomi bukan sekedar pemencaran penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai efesiensi dan efektivitas pemerintahan.(Prof.Dr.H.Bagir Manan, SH.,M.CL. ,2002:24-25)
2. Sistem Otonomi Daerah adalah totalitas dari bagian-bagian yang saling ketergantungan dan saling barhubungan dalam sebuah tatanan ketatanegaraan (staatsrechtelijk), bukan hanya tatanan administrasi Negara (administratiefrechtelijk). Sebagaimana tatanan ketatanegaraan,otonomi berkaitan dengan dasar-dasar bernegara dan sususnan organisasi Negara.paling tidak, ada dua arahan dasar susunan ketatanegaraan dalam perumahan Indonesia merdeka yaitu demokrasi dan penyelenggaraan negara berdasarkan atas hokum. Otonomi bukan sekedar pemencaran penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai efesiensi dan efektivitas pemerintahan.(Prof.Dr.H.Bagir Manan, SH.,M.CL. ,2002:24-25)
3. Sistem Pemerintahan Daerah adalah totalitas dari bagian-bagian yang saling ketergantungan dan saling barhubungan dalam satuan pemerintahan territorial tingkat lbh rendah dalam daerah Negara kesatuan Republik Indonesia yang berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan tertentu di bidang administrasi Negara sebagai urusan rumah tangganya.Satuan pemerintahan territorial ini lazim disebut daerah otonom, sedangkan hak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang administrasi Negara yang merupakan urusan rumah tangga daerah disebut otonomi. Jauh sebelum merdeka ,cita-cita membentuk satuan pemerintahan tingkat daerah yang otonom telah dikumandangkan oleh para pejuang kemerdekaan, baik dalam tulisan maupun sebagai garis politik gerakan kepartaian dan lain-lain badan.karena itu tidak mengherankan apabila cita-cita itu kemudian tertuang secara mantap dalam UUD,baik dalam UUD1945 maupun UUDS 1950.Dalam Konstitusi RIS(1949) cita-cita daerah otonom terintegrasi dengan faham federasi, baik dalam bentuk Negara bagian atau satuan-satuan pemerintahan yang tegak sendiri. Pada masing-masing Negara bagian, cita-cita otonomi tetap dilaksanakan secara kukuh.(Prof.Dr.H.Bagir Manan, SH.,M.CL. ,2002:67-68)
“Pengertian menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah”
1. Otonomi Daerah adalah wewenang Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Daerah Otonom, sebagai sebutan umum bagi Provinsi, Kabupaten dan Kota, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Sistem Otonomi Daerah adalah totalitas dari bagian-bagian yang saling ketergantungan dan saling barhubungan dalam wewenang Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Daerah Otonom, sebagai sebutan umum bagi Provinsi, Kabupaten dan Kota, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Sistem Pemerintahan Daerah adalah totalitas dari bagian-bagian yang saling ketergantungan dan saling barhubungan dalam penyelenggaraan urusan Pemerintah yang diserahkan kepadaDaerah sebagai fungsi-fungsi pemerintahan daerah otonom yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang merupakan lembaga pemerintahan daerah menurut asas desentralisasi. Pemerintah Daerah adalah unsur lembaga pemerintahan daerah yang terdiri dari Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain, yang berfungsi sebagai lembaga eksekutif daerah.Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah unsur lembaga pemerintahan daerah yang berfungsi sebagai lembaga legislatif Daerah.
Langganan:
Postingan (Atom)