Sudah menjadi kepuasan senior, apabila junior tunduk terhadap rentetan sanksi yang diada-adakan oleh mereka. Rasa bangga apanya??? Merasa disegani oleh yunior??? Mungkin sekilas junior tersebut terlihat segan dengan senior yang bersangkutan. Secara tidak langsung juga telah menumbuhkan pola pikir baru dalam pikiran mereka. Seolah-olah senior tersebut telah menjadi investor bagi tumbuh kembangnya mental bobrok yang membawa malapetaka bagi lembaga. Tapinya lagi, yakin mereka benar-benar segan???
Memberikan cap haram hukuman fisik. Iya, memang kalau hukuman fisik tersebut diforsir hingga menimbulkan keluhan-keluhan yang manusiawi yang kemungkinan terburuk adalah dapat menimbulkan potensi . . . junior melambung. Sudah saatnya senior yang kena. Hanya menghasilkan kemudharatan bagi semua pihak, berarti apalagi namanya kalau bukan salah???
Ada yang lain nggak, selain fisik? Selain membuat junior memendam dendam mereka lalu melakukan hal yang sama ketika mereka jadi senior nanti. Tragis sangat. Sanksi fisik memang cukup mendidik. Tapi sanksi fisik yang seperti apa? Yang tanggalkan seluruh sisi kemanusiaan? Yang maksud baik agar junior bisa lebih baik dan respek pada lingkungannya? Jika memang sanksi fisik tidak akan mengacaukan saraf mereka tentang hal-hal yang bersifat kemanusiaan, oke. Tapi kelayakan sanksi fisik yang berlebihan dan menekan essensi dari pembelajaran tapi malah memadatkan kekerasan . . . sebaiknya mencari solusi lain yang mampu bangkitkan semangat perbaikan, bukan semangat balas dendam.
Suatu pernyataan hukuman fisik akan membuat senior disegani oleh juniornya, harus dicermati lagi bahwa tidak semua junior memiliki filter. Kebanyakan junior menelan bulat-bulat apa yang diperbuat oleh seniornya. Lalu timbul niat untuk melakukan hal yang sama dengan juniornya nanti. Artinya, mata rantai kekerasan kecil kemungkinan untuk putus. Masalah segan atau tidak segan, respek atau tidak respeknya junior terhadap senior ketika senior menjatuhkan hukuman fisik barangkali tidak bisa seutuhnya dibenarkan.
Ada satu output yang timbul. Akan terjadi perubahan sikap pada junior. Junior tersebut akan segan terhadap seniornya yang sudah memberi hukuman fisik karena sering sekali ada pernyataan bahwa segan itu tidak akan muncul tanpa adanya hal-hal yang bersangkutan dengan fisik yang intinya adalah perubahan sikap. Sikapnya di depan senior. Sekali lagi . . . hanya di depan senior. Mana kita tahu, junior yang selama ini diberi hukuman fisik dan didoktrin sampai overload oleh seniornya dan yang biasanya di depan senior selalu nampak segan dan respek . . . tapi di belakang senior tersebut, junior yang bersangkutan sudah memasukkan seniornya ke dalam daftar hitam mereka, yang artinya membangun rasa segan dalam diri junior dengan sanksi fisik dari senior tidak akan membuahkan apa-apa, kecuali keseganan imitasi dan pewarisan input negatif.
Bila senior ingin dihormati dan disegani oleh junior adalah manusiawi. Kultur yang ada di IPDN memang demikian adanya. Hukuman fisik . . . statement yang berkembang adalah, tanpa satu hal ini maka senior tidak akan dihormati. Pernyataan yang cukup bodoh. Seperti tidak ada alternatif lain jika memang senior ingin dihormati juniornya. Sementara itu junior belum tentu segan dan hormat di depan maupun belakang. Bisa saja junior itu hanya segan di depan tapi mulut dan hatinya penuh dengan makian bila sudah ada di belakang. Bayarannya adalah senior itu tidak memiliki harga diri lagi di depan juniornya.
Rasa hormat tumbuh secara alami
Keteladanan mampu menumbuhkan rasa hormat secara alami. Walaupun keteladanan itu penampakannya tidak begitu terasa jika dibandingkan dengan hukuman fisik. Kendati demikian, jika saja seseorang bisa melihat dengan hati nurani letak keteladanan itu dan merasakan manfaatnya maka cukup dengan itu saja merubah rasa hormat junior. Barangkali cara ini sudah digunakan, tapi junior belum mau menerima. Selanjutnya, senior akan berkesimpulan bahwa junior ini perlu dikerasi. Jadi peran serta junior dalam meneladani senior-senior mereka juga masuk hitungan. Karena dalam membangun almamater ini bukan dengan ayunan tangan tapi dengan keteladanan. Ayunan tangan hingga sekarang masih bergerilya tapi keteladanan tetap yang utama.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar